Suara
itu mulai mengusikku. Entah mulai kapan aku merasa suara – suara itu mengganggu
telinga ini. Suara yang seakan menagih semua hal yang belum aku lakukan, suara
yang menyinggung tentang janji – janji yang kubuat, suara yang mengejarku saat
kaki ini berjalan pelan, suara yang mengingatkan sisa umurku. Suara yang
bernada datar dan konstan, tak pernah lebih cepat atau lambat. Detak jarum jam
dinding ditengah malam yang memekakan.
Jarum
yang selalu bergerak berputar, dengan dua belas sebagai titik tertingginya dan
enam sebagai titik terendahnya. Seperti matahari, bedanya matahari tidak
bergerak−bumi yang berotasi. Tetap saja kita melihatnya matahri yang bergeser,
seperti fatamorgana atau hanya gerak semu? Aku sudah melupakan pelajaran IPA
disekolah.
Suara
itu masih mengikuti, diruang tengah tentu saja ada jam dinding dan ditoilet
juga ada jam dinding. Gilakah aku? Atau aku yang sebenarnya ingin mengejar
waktu, sampai – sampai aku menggantungkan benda berdetak itu ditoilet. Apa
kepala ini sudah terpengaruh oleh orang – orang tamak yang menganggap waktu
adalah uang? Aku masih waras, aku tidak menyembah dan mendewakan uang, seperti
mereka yang sudah hidup berkecukupan tapi masih korupsi uang negara.
Aku
masih terjaga. Bertopang dagu ini pada lutut kaki yang melipat, seperti tripot
menyangga kamera. Menatap deretan angka satu sampai dua belas yang membentuk
formasi melingkar.
Terus
berputar berulang angka – angka di jam dinding itu. Pun dengan hari dan bulan.
Hanya tahun, yang mengiringi umur manusia bergerak maju tanpa berputar balik
atau berhenti sejenak menungguku yang kepayahan, tersandung, terengah – engah,
jatuh – bangun kemudian jatuh lagi saat mengikutinya. Terlelap, melamun−waktu
tetap berjalan menggerogoti angka – angka usiaku. Merajah tubuh dengan segala sketsa
penuaan. Beberapa orang mencoba bermain tuhan dengan hal yang satu ini.
Berbagai macam cara dilakukan untuk melawan proses penuaan fisik. Mereka bisa
saja memakai topeng, tapi mereka tidak bisa menghentikan angka yang terus
bertambah setiap tahun. Ironisnya mereka merayakannya, tapi menolaknya juga.
****
Aku
bertatapan dengan sosok lelaki di kaca spion tengah mobil. Masih cukup tampan
refleksi wajah yang sudah berkepala empat ini, rupanya hati ini sedang dalam
mood yang bagus untuk bisa diajak berkompromi.
Lima
menit pertama semenjak aku duduk berpasangan dengan kursi kosong di coffee shop ini, jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kiri yang bilang begitu. Aku sudah tak heran,
dia memang selalu begitu. Lebih suka ditunggu, dianggap lebih penting dari
lawan janjiannya. Sesuatu yang bisa menjadi penawar keterlambatannya adalah
tampilannya yang luar biasa, selalu begitu−penampilan nomor satu baginya.
“Memesan
milk tea di coffee shop? Kamu pasti jadi orang paling aneh diruangan ini,” alih
– alih meminta maaf atas keterlambatannya, dia malah meledek. Mencairkan balok
es dirongga hati ini.
Seperti
yang kuduga, penampilan masih nomor satu baginya. Angka yang tertulis di arsip
kehidupannya yang dipegang tuhan mungkin empat puluh lima tahun, tapi fisiknya
hanya separuhnya.
“Kamu
terlihat lebih muda dari umurmu. Empat puluh lima kan?”
“Aku
ingat lilin terakhir yang kutiup bulan maret kemarin, angka empat dan enam”
Sudah
beberapa kali ini dugaanku benar mengenai dia. Memang perasaan ini masih ada.
Sulit mengalahkan jika lawannya dia. Bahkan dengan bantuan istriku.
Aku
masih ingat, dia pernah bilang ingin cepat dewasa tapi tidak ingin cepat tua.
Aku hanya tertawa saat itu. Mungkin jika faktanya seperti yang dia harapkan,
dewasa saat itu−aku mungkin tidak bertemu istriku. Kata “Kami” akan
menggantikan “Aku dan Dia”.
“Bagaimana
kabar keluargamu, istri dan putrimu?”
Aku
sebenarnya tidak suka membahas hal itu saat bersamanya. Pertanyaan yang buruk
untuk memulai reuni.
“Baik,
kami semua hidup bahagia” aku membalasnya dengan nada datar sambil memainkan
sedotan dalam gelas milk tea. Memang aneh memesan milk tea di coffee shop,
tapi lambungku tidak mau berkompromi. Tidak ada tenggang rasa untuk kopi.
“Bagaimana
dengan pengusaha beruntung yang kamu nikahi?”
“Tidak
seberuntung itu, dia meninggal tiga tahun lalu” tidak ada sorot mata sedih yang
terpancar di kedua bola matanya.
“Maaf”
ucapku basa – basi.
Aku
melihat ke jari manis tangan kirinya, cincin emas masih melingkar. Dia masih
mengenang pengusaha yang sudah menjadi tulang belulang itu, atau dia hanya
menyukai cincin yang sudah pasti berharga mahal itu.
“Ini
dari suamiku yang sekarang,” dia menunjuk cincin di jari manis tangan kirinya.
Dia ternyata memerhatikan sorot mataku yang mencecar ke jari manisnya.
“Dia
sedang membusuk di penjara, sudah setahun. Membusuk meninggalkan uang kotornya
yang disita negara. Korupsi.” Mimik wajahnya menyimpan rasa marah dan malu
bersamaan.
“Maaf.”
Lagi – lagi basa – basi dari mulutku.
****
Detik
berputar beguitupun menit, jam, hari, bulan. Hanya tahun yang bergerak maju,
menambah umur manusia. Kami akan bertemu lagi setelah lima tahun yang lalu. Aku
masih menjadi pihak yang menunggu, dia yang ditunggu. Tak ada yang berubah
mengenai hal itu, tapi itu tak mengherankan. Kali ini dia terlihat lebih gila.
Alaminya, dia sudah memasuki kepala lima tahun ini. Tapi dia terlihat sepuluh
atau bahkan dua puluh tahun lebih muda. Kemana saja dia? Dia seperti membiarkan
waktu berjalan sendiri, sedangkan dia hanya terduduk melihat dari belakang.
Tidak mengikuti tahun berjalan yang merajah tubuh manusia dengan garis – garis
penuaan.
“Aku
sudah berhenti di tiga puluh dan tidak akan bertambah tua.” Penjelasan yang
irasional, seperti menentang hukum alam. Tentu saja dia tidak sungguh – sungguh.
Aku
tidak membantahnya secara terbuka, hanya sorot mataku yang berbicara. Mau
berdebat seperti apapun, dia mempunyai bukti. Bukti yang menegaskan usianya
berhenti di tiga puluh. Bukti itu dikuatkan dengan hidung belang yang duduk di
sebelah meja kami. Dia beberapa kali mencuri – curi pandang ke mata Sarah.
Aku
menerka – nerka apa yang dilakukannya dengan tubuhnya, dari mana dia mendapat
topeng itu. Berapa banyak uang yang dikeluarkannya untuk membeli tubuhnya. Tak
mungkin aku bertanya begitu saja. Sarah
sama seperti perempuan lainnya yang ingin tampil cantik, untuk membuat iri
sesama wanita dan yang terpenting untuk menarik perhatian pria. Memang semua
suka wanita cantik, terutama pria. Justru sesama wanita yang tidak ingin
saingannya terlihat lebih cantik.
Mereka
menjadi objek nafsu mata pria, objek intimidasi produk kecantikan, objek
kekerasan visual oleh cermin. Semua pria suka wanita cantik, memang apa yang
sedang ku lakuakan? Meninggalkan istri dan anak untuk menemuinya. Secara tidak
langsung aku sudah mengakui, kecantikan istriku sudah digerogoti usia. Itu yang
menjelaskan kenapa aku masih duduk disini menikmati kecantikan sarah. Dia
benar, tapi tidak semuanya−hanya beberapa bagian.
****
Jendela
kamar hotel kami buka lebar – lebar, menyingkirkan gorden yang menghalangi.
Malam terlihat tenang dengan bintang jarang – jarang. Berlawanan dengan diriku.
Degup jantung, deras aliran darah, rembesan keringat keluar dari pori – pori.
Melekatkan tubuh kami. Menyatu, menghiraukan pengapnya udara kamar yang
disesaki birahi.
Silau
matahari menembus kelopak mataku, merangsang untuk segera terbuka. Mata masih
berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Pandangan kusebar
kesekeliling kamar. Sosok wanita paruh baya lengkap dengan segala kerut
diwajah, uban rambut dan tubuh yang sudah mengendur−keluar dari pintu toilet.
Siapa dia? Tapi wajahnya terlihat tidak asing. Pakain kuraih dan memakainya
dengan tergesa. Aku menghambur keluar kamar meninggalkan sosok wanita paruh
baya yang masih terheran – heran dengan tingkahku. Suaranya memanggil namaku
beberapa kali, dia mengenalku dan aku juga mengenal suara itu. Aku
menghiraukannya.