Powered By Blogger

Sabtu, 30 Juni 2012

Reuni


Suara itu mulai mengusikku. Entah mulai kapan aku merasa suara – suara itu mengganggu telinga ini. Suara yang seakan menagih semua hal yang belum aku lakukan, suara yang menyinggung tentang janji – janji yang kubuat, suara yang mengejarku saat kaki ini berjalan pelan, suara yang mengingatkan sisa umurku. Suara yang bernada datar dan konstan, tak pernah lebih cepat atau lambat. Detak jarum jam dinding ditengah malam yang memekakan.
Jarum yang selalu bergerak berputar, dengan dua belas sebagai titik tertingginya dan enam sebagai titik terendahnya. Seperti matahari, bedanya matahari tidak bergerak−bumi yang berotasi. Tetap saja kita melihatnya matahri yang bergeser, seperti fatamorgana atau hanya gerak semu? Aku sudah melupakan pelajaran IPA disekolah.
Suara itu masih mengikuti, diruang tengah tentu saja ada jam dinding dan ditoilet juga ada jam dinding. Gilakah aku? Atau aku yang sebenarnya ingin mengejar waktu, sampai – sampai aku menggantungkan benda berdetak itu ditoilet. Apa kepala ini sudah terpengaruh oleh orang – orang tamak yang menganggap waktu adalah uang? Aku masih waras, aku tidak menyembah dan mendewakan uang, seperti mereka yang sudah hidup berkecukupan tapi masih korupsi uang negara.
Aku masih terjaga. Bertopang dagu ini pada lutut kaki yang melipat, seperti tripot menyangga kamera. Menatap deretan angka satu sampai dua belas yang membentuk formasi melingkar.
Terus berputar berulang angka – angka di jam dinding itu. Pun dengan hari dan bulan. Hanya tahun, yang mengiringi umur manusia bergerak maju tanpa berputar balik atau berhenti sejenak menungguku yang kepayahan, tersandung, terengah – engah, jatuh – bangun kemudian jatuh lagi saat mengikutinya. Terlelap, melamun−waktu tetap berjalan menggerogoti angka – angka usiaku. Merajah tubuh dengan segala sketsa penuaan. Beberapa orang mencoba bermain tuhan dengan hal yang satu ini. Berbagai macam cara dilakukan untuk melawan proses penuaan fisik. Mereka bisa saja memakai topeng, tapi mereka tidak bisa menghentikan angka yang terus bertambah setiap tahun. Ironisnya mereka merayakannya, tapi menolaknya juga.
****
Aku bertatapan dengan sosok lelaki di kaca spion tengah mobil. Masih cukup tampan refleksi wajah yang sudah berkepala empat ini, rupanya hati ini sedang dalam mood yang bagus untuk bisa diajak berkompromi.  
Lima menit pertama semenjak aku duduk berpasangan dengan kursi kosong di coffee shop ini, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri yang bilang begitu. Aku sudah tak heran, dia memang selalu begitu. Lebih suka ditunggu, dianggap lebih penting dari lawan janjiannya. Sesuatu yang bisa menjadi penawar keterlambatannya adalah tampilannya yang luar biasa, selalu begitu−penampilan nomor satu baginya.
“Memesan milk tea di coffee shop? Kamu pasti jadi orang paling aneh diruangan ini,” alih – alih meminta maaf atas keterlambatannya, dia malah meledek. Mencairkan balok es dirongga hati ini.
Seperti yang kuduga, penampilan masih nomor satu baginya. Angka yang tertulis di arsip kehidupannya yang dipegang tuhan mungkin empat puluh lima tahun, tapi fisiknya hanya separuhnya.
“Kamu terlihat lebih muda dari umurmu. Empat puluh lima kan?”
“Aku ingat lilin terakhir yang kutiup bulan maret kemarin, angka empat dan enam”
Sudah beberapa kali ini dugaanku benar mengenai dia. Memang perasaan ini masih ada. Sulit mengalahkan jika lawannya dia. Bahkan dengan bantuan istriku.
Aku masih ingat, dia pernah bilang ingin cepat dewasa tapi tidak ingin cepat tua. Aku hanya tertawa saat itu. Mungkin jika faktanya seperti yang dia harapkan, dewasa saat itu−aku mungkin tidak bertemu istriku. Kata “Kami” akan menggantikan “Aku dan Dia”.
“Bagaimana kabar keluargamu, istri dan putrimu?”
Aku sebenarnya tidak suka membahas hal itu saat bersamanya. Pertanyaan yang buruk untuk memulai reuni.
“Baik, kami semua hidup bahagia” aku membalasnya dengan nada datar sambil memainkan sedotan dalam gelas milk tea. Memang aneh memesan milk tea di coffee shop, tapi lambungku tidak mau berkompromi. Tidak ada tenggang rasa untuk kopi.
“Bagaimana dengan pengusaha beruntung yang kamu nikahi?”
“Tidak seberuntung itu, dia meninggal tiga tahun lalu” tidak ada sorot mata sedih yang terpancar di kedua bola matanya.
“Maaf” ucapku basa – basi.
Aku melihat ke jari manis tangan kirinya, cincin emas masih melingkar. Dia masih mengenang pengusaha yang sudah menjadi tulang belulang itu, atau dia hanya menyukai cincin yang sudah pasti berharga mahal itu.
“Ini dari suamiku yang sekarang,” dia menunjuk cincin di jari manis tangan kirinya. Dia ternyata memerhatikan sorot mataku yang mencecar ke jari manisnya.
“Dia sedang membusuk di penjara, sudah setahun. Membusuk meninggalkan uang kotornya yang disita negara. Korupsi.” Mimik wajahnya menyimpan rasa marah dan malu bersamaan.
“Maaf.” Lagi – lagi basa – basi dari mulutku.
****
Detik berputar beguitupun menit, jam, hari, bulan. Hanya tahun yang bergerak maju, menambah umur manusia. Kami akan bertemu lagi setelah lima tahun yang lalu. Aku masih menjadi pihak yang menunggu, dia yang ditunggu. Tak ada yang berubah mengenai hal itu, tapi itu tak mengherankan. Kali ini dia terlihat lebih gila. Alaminya, dia sudah memasuki kepala lima tahun ini. Tapi dia terlihat sepuluh atau bahkan dua puluh tahun lebih muda. Kemana saja dia? Dia seperti membiarkan waktu berjalan sendiri, sedangkan dia hanya terduduk melihat dari belakang. Tidak mengikuti tahun berjalan yang merajah tubuh manusia dengan garis – garis penuaan.
“Aku sudah berhenti di tiga puluh dan tidak akan bertambah tua.” Penjelasan yang irasional, seperti menentang hukum alam. Tentu saja dia tidak sungguh – sungguh.
Aku tidak membantahnya secara terbuka, hanya sorot mataku yang berbicara. Mau berdebat seperti apapun, dia mempunyai bukti. Bukti yang menegaskan usianya berhenti di tiga puluh. Bukti itu dikuatkan dengan hidung belang yang duduk di sebelah meja kami. Dia beberapa kali mencuri – curi pandang ke mata Sarah.
Aku menerka – nerka apa yang dilakukannya dengan tubuhnya, dari mana dia mendapat topeng itu. Berapa banyak uang yang dikeluarkannya untuk membeli tubuhnya. Tak mungkin aku bertanya begitu saja.  Sarah sama seperti perempuan lainnya yang ingin tampil cantik, untuk membuat iri sesama wanita dan yang terpenting untuk menarik perhatian pria. Memang semua suka wanita cantik, terutama pria. Justru sesama wanita yang tidak ingin saingannya terlihat lebih cantik.
Mereka menjadi objek nafsu mata pria, objek intimidasi produk kecantikan, objek kekerasan visual oleh cermin. Semua pria suka wanita cantik, memang apa yang sedang ku lakuakan? Meninggalkan istri dan anak untuk menemuinya. Secara tidak langsung aku sudah mengakui, kecantikan istriku sudah digerogoti usia. Itu yang menjelaskan kenapa aku masih duduk disini menikmati kecantikan sarah. Dia benar, tapi tidak semuanya−hanya beberapa bagian.
****
Jendela kamar hotel kami buka lebar – lebar, menyingkirkan gorden yang menghalangi. Malam terlihat tenang dengan bintang jarang – jarang. Berlawanan dengan diriku. Degup jantung, deras aliran darah, rembesan keringat keluar dari pori – pori. Melekatkan tubuh kami. Menyatu, menghiraukan pengapnya udara kamar yang disesaki birahi.
Silau matahari menembus kelopak mataku, merangsang untuk segera terbuka. Mata masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Pandangan kusebar kesekeliling kamar. Sosok wanita paruh baya lengkap dengan segala kerut diwajah, uban rambut dan tubuh yang sudah mengendur−keluar dari pintu toilet. Siapa dia? Tapi wajahnya terlihat tidak asing. Pakain kuraih dan memakainya dengan tergesa. Aku menghambur keluar kamar meninggalkan sosok wanita paruh baya yang masih terheran – heran dengan tingkahku. Suaranya memanggil namaku beberapa kali, dia mengenalku dan aku juga mengenal suara itu. Aku menghiraukannya.