Powered By Blogger

Sabtu, 01 November 2014

Ohh Ibu Pertiwi

Ibu pertiwi menatap jijik,
Tubuhnya habis dijamahi ribuan tangan majikan raja,
Keringat kotor mereka melumuri tubuh sang Ibu,
Paman Sam yang maha kuasa,
Raja Singa Laut Asia tenggara,
Naga Pendekar kungfu sakti mandraguna.

Tuan – tuan para penguasa meneteskan liurnya,
Dolar masuk kantung babi – babi tua,
Ibu pertiwi tersedu hendak dibawa kemana,

Dia masih tak rela menyalahkan kebejatan anaknya.

Kembang Gula



Wajah kembang gula merah jambu,
Hati bocah ini terayu menjilatimu,
Berapa keping receh rayu tuk menebusmu?
Tak sekeping bujuk rayu kupunya,
Apa bisa berhutang untuk hatimu?

Aku pulang memanggil ibu,
Dia kan menebusmu untukku.
Ijab ku rapal berkali – kali sepanjang jalan,
Jabat tangan dan mahar penanda “Sah”,

Malam nanti tubuhku kan lengket oleh kembang gula merah jambu.

PANGGUNG PARA PION


Arena hitam putih digelar diatas meja,
Genderang perang dibunyikan,
Api disulut, bensin disiram,
Pemuda jelata terbakar didada,
Mesin mereka panas membara, siap memangsa.

Mereka meracau bahasa yunani yang tengah digandrungi,
Pekik racauan bagai gagak hitam hendak menjemput ajal,
Akan ada yang mati.

Ribuan jelata memagari istana,
Raja lemah gemulai bersembunyi dibalik meja, memeluk sang bunda.
Ratusan jelata sisa berdiri untuk tempurung raksasa,
Tentara tanpa tanda jasa kokoh menggenggam senjata,
Siapa yang butuh senjata?

Bakar! Bakar!
Mereka berbicara tentang keadilan,
Bakar! Bakar!
Mereka berbicara tentang kebenaran,
Bakar! Bakar!
Mereka pion belaka yang ditumbalkan penguasa,
Bakar! Bakar!
Semua hangus dengan warna yang sama.

Pion berubah jadi abu,
Abu kan mudah hilang dan terlupakan,

Tak pernah menyentuh buku sejarah.

Menunggu Malaikat



Mikail tak terasa kehadirannya,
Berharap dia datang membawa sesuatu,
Yang berupa titipan-NYA,
Berdoa’a tuk kehadirannya,
Kirim dia sesuai tugasnya ya Rabb.

Masih menunggu,
Semoga izrail tak mendahului datang,
Jangan dulu datang malaikatku,
Jangan dulu membawa kedinginan dan mengajak pulang,
Aku ingin berlama – lama,
Sampai diujung sana,
Mendengar Israfil meniup Sangkakala.

Apa yang kupunya sekarang?
Apa yang akan dilakukan Munkar – Nakir  nanti diruang gelap itu,
Disebelah kiri Atid lebih sering mencatat ketimbang Raqib,
Sepertinya aku kan bertemu Malik,
Sampai waktu yang sangat lama bersihkan dosa dalam panas.

Minggu, 19 Oktober 2014

Puisi Cinta Lagi


CINTA itu gulanya rasa,
Semua – semua yang memakai kata CINTA disemuti manusia.
Umpama mampu kujual CINTA, hingga ku kaya,
Kemudian aku hanya bisa berdusta, menyembah berhala,
Dan mati dilaknat dosa.

Semua  yang waras menyukai bau CINTA,
Sampah yang berbau CINTA pun akan terus dikenangnya,
Tak pernah dibuang apalagi hangus terbakar, kalau bisa didaur ulang.

Di ruangan ini banyak berserakan CINTA,
Berbagai macam rupa mereka melukis CINTA,
Berbagai macam suara mereka mengucap CINTA,
CINTA, CINTA, CINTA..
Semua punya rasa yang sama, hanya beda merah, biru, hitam, putih, kelabu atau jingga.

Mereka bilang CINTA itu gila, CINTA itu buta, CINTA ya CINTA,
Entahlah, aku bodoh dalam bercinta, nilaiku NOL BESAR,
Kekasihku bosan disudut ranjang.

Suatu hari, aku kan belajar tentang CINTA,
Aku jatuh, Kemudian bercinta,
Mungkin aku kan gila, mungkin juga buta, 
Seperti mereka, para pemuja berhal

Minggu, 21 September 2014

Dalam Pelukan Malam

Seberapa sadis hari menghajar diri,
Selalu ada malam yang memeluk,
Dia dengan lembut membuai tubuh lelah, sabar membasuh peluh,
Dia juga mendengar kisah yang tak sanggup dibagi dengan sesama,
Disimpannya dalam gelap nan sunyi.

Malam yang dingin,
Dengarkan marahku, katakan aku kan lupa panasnya matahari yang merajah sepanjang hari,
Aku lelah, aku payah,

Berikan pelukmu agar aku mimpi indah.

Balonku

Balonku ada tiga,
Kuberikan padamu yang merah,
Merah adalah warnamu,
Mainlah bersamanya,
Tertawalah bersamanya,
Terbanglah bersamanya,
Kulepas kau bersama rasa lupa,
Ku tak akan meminta kembali,
Aku tak suka warna merah.

Balon warna hitam kuberikan padanya,
Hitam adalah warnaku,
Kuberikan padanya aku,  lengkap dengan hati dan rasa,
 Genggam lah si hitam, genggamlah erat – erat,
Aku seperti awan mendungnya, mengambang disisinya,
Melindungi dari terik siang hari, menjaganya tetap aman.

Warna putih kugenggam, putih adalah warnanya,
Dia cantik, dia mengambang indah disisiku,
Balonku miliknya, balon putih dirinya,

Kupegang erat – erat.

Nama Ditembok




Cicak berkejaran di dinding,
Menginjak – injak coretan namamu, tanpa permisi,
Aku tak peduli,
Banyak garis retakan disana, membentang sepanjang namamu,
Huruf ‘S’ terlihat paling parah, huruf ‘Y’ diujung kanan hanya tersenggol sedikit,

Aku tak peduli coretan namamu,
Aku hanya takut tembok itu roboh besok pagi,
Aku benci debu dan reruntuhan puing yang berserakan,
Aku malas mengumpulkan namamu yang berserakan menjadi puing,
 Huruf demi huruf, setiap mereka yang menyimpan bayangmu.

Kubayangkan membuangnya diujung jalan buntu, meninggalkan begitu saja,
Kubanyangkan orang lain memungutnya, mngumpulkan, mengeja namamu,
Sesuatu didalam sini roboh, tak menjadi puing,
Hanya debu, terhirup menyesakan dada,
Membunuh perlahan.

Kamu Dibawah Hujan

Juli musim kemarau,

Hari ini Tuhan sedang baik,

Dia turunkan ribuan bidadari dalam tiap bulir air,

Bulir yang menghantam daratan,

Bulir yang membelai tubuhmu,

Bulir yang menarik senyumku.


Aku bersyukur pada-NYA untuk hujan ini,

Beruntungnya aku tak punya payung,

Aku bisa melihat versi tercantik dirimu dalam riasan hujan,

Kuharap Desember nanti kita masih begini,


Ada banyak hujan disana.

Bunga Tanpa Nama

Kusimpan bunga yang kau beri,
Didalam sini, di tempat yang aman,
Bunga yang mekar oleh senyummu,
Bunga yang kau hirup wanginya,
Bunga yang kaunamakan namamu.

Bunga itu, yang tak lagi terlihat seperti bunga,
Bunga yang mati saat kau petik,
Bunga yang berubah cokelat,
Mengering diselimuti debu,
Mati ditinggal langkahmu yang kian jauh,

Bunga yang tak kuingat lagi namanya.

Selasa, 19 Agustus 2014

Jalan Berputar


Apa yang kupikirkan?
Mengapa aku berjalan dengan sepasang sepatu renta ini?
Mengapa tak seperti mereka yang bisa terbang?
Aku takut terbang, tapi aku lebih takut mengakuinya.

Aku merunduk dibawah lampu jalan yang bersinar remang,
Menatapi jalan yang akan dilahap sepatu renta ini,
Berharap ada sekeping uang satu juta rupiah,
Mustahil,
Tuhan mendengar apa yang kita ucapkan, bahkan didalam hati,
Bisa saja ada sekeping satu juta rupiah yang berkilau tenang disini,
Aku tak mengharapkannya, hanya senang bila memang ada,
Aku tak bergantung pada keajaiban, hanya mempercayainya,
Percaya pada-NYA.

Jalan didepan sana masih panjang,
Mereka sudah bilang bumi itu bundar,
Akan ada letih yang menahan, dan semangat yang menggerakan,
Tak akan habis jalan ku lahap, sejauh apapun aku berjalan, aku kan kembali,

Kembali pada-NYA, Yang Maha Memiliki.

Lukisan-NYA


Matahari menyelam ditengah laut yang tenang,
Tadinya wujudnya hanya setengah, dihiasi sinar jingga,
Kemudian tenggelam, tapi banyak yang enggan membiarkan itu terjadi,
Membiarkan matahari tenggelam.
Pemandangan indah nan klise,
Beratus kali aku melihat yang seperti itu,
Dalam kertas gambarku, dan ratusan karya tangan teman kelas.

Kami sedang bermain Tuhan, kertas itu dunianya, duniaku, dunia kami,
Tuhan melukis semesta, kami juga,
Ingat lyric lagu pelangi,
Yang Maha Agung melukis pelangi,
Setidaknya kami juga Yang Maha Agung,
Aku mengatur warna yang akan terwujud dikertas putih yang membosankan ini,
DIA mungkin juga berkata demikian, mewarnai semesta putih yang membosankan,

Menjadi lebih... Tergantung anda yang melihatnya.

Rabu, 09 Juli 2014

Noda Jari Kelingking



Kubiarkan jari kelingking ini tetap bersih di bulan putih,
Ku tak mau ikut bertanggung jawab karena berdiri disisinya,
Mereka yang diduga menyembah berhala
Atau mereka yang diduga menyembunyikan senjata.

Selalu ada pilihan lain dari dua yang diberikan,
Kuhargai usaha kalian menjual diri,
Kuhormati mereka yang mendewakan idola,
Tapi Aku tidak sedang ada di arena panggung idola.

Selamat Malam


Izinkan tubuh ini mencumbu ranjang,
Hiraukan matahari yang sedang menjalankan tugasnya,
Aku memasuki pintu mimpi, semoga ada dia didalam.

Pagi itu cantik rupawan, tapi tak pernah semanis malam.
Aku berharap malam lebih lama memeluk semesta.

Selamat malam pagi, aku ingin kau temani tidurku.
Hari telah dipenghujung malam, mentari sudah berias cantik di ufuk,

Hariku selesai. 

Kamprett


Kami bertatapan, mata kami lurus beradu.
Wajahnya agak bergetar diantara air sungai yang mengalir lemas.

Aku sangat mengenalnya,
Luarnya, sampai yang disembunyikan dibalik bajunya.
Dia kamprett.
Kadang dia bertingkah normal, lebih sering menjadi kamprett.
Dia suka menjadi kamprett.

Aku memukul wajahnya, cipratan air memukul balas.
Wajahnya beriak tawa, sampai air kembali tenang.
Dia selalu berlindung dibalik sesuatu,

Dia pengecut, dia Kamprett.

Mabuk Anggur


Jangan mabuk dulu,
Kau bahkan belum meneguk setetes pun,
Anggur itu masih tersegel cantik dalam botol,
Cinta pandangan pertama tak selalu seindah film drama,
Dia juga sadar dengan hal itu.

Tebus dia,
Genggam dan alirkan kehangatan kelehernya,
Hirup aromanya, jangan mabuk dulu,
Kau bahkan belum tau lagu favoritnya.

Cicipi manisnya, pahitnya kemudian.
Lepaskan genggaman, letakan diatas meja beralas putih.
Tatap matanya, perhatikan warnanya,
Cumbu dan mabuklah bersamanya.
Anggur yang cantik lagi memabukan,
Kapan kubisa meminangmu? 

Sabtu, 14 Juni 2014

Yang Maha Cantik

Tahukah kau?
Iblis itu berparas cantik,
Dia selalu menawan,
Dalam gelap pun dia bersinar,
Dia selalu terlihat cantik,
Hingga kau bernafsu mencumbunya,

Bahkan ditengah api neraka.

Dalam Matamu

Hari ini kau anggap aku penjahat,
Kemarin pahlawan, kemarinnya badut penghibur,
Besok hanya figuran yang sekedar lewat.

Suatu hari, kisahkanlah pada mereka,
Tentang aku dari mata pisau bencimu,
Jarimu menunjuk – nunjuk wajahku dalam foto,
Kau berharap punya sihir dan telunjukmu adalah paku.

Aku akan menjerit dari kejauhan.

Jalang Ku Sayang

Bunuh saja aku jalang,
Agar kubisa menghantuimu,
Ku akan memelukmu,
Merasuki tubuh kecilmu,
Menyalakan kehangatan dari dalam.

Ku tau kau mampu,
Kau pernah melakukan yang lebih sadis,
Tanpa tatapan belas kasihan.
Tak perlu pisau,
Tak perlu senapan,
Pilih yang paling sedikit meninggalkan rasa.

Itukan lebih baik,
Aku sekarat,
Kalung anjng ini mencekik leherku,
Diujung tali tangan halusmu menggenggam erat,

Mencengkeram penuh kasih sayang.

Kepada Yang Maha

Ku tadah ribuan butir air hujan dengan kedua telapak tangan,

Begitu banyak yang kau beri,

Ku hanya meraih seluas setangkap tangan,

Itu kemampuanku,

Aku maha lemah.




Kau Maha Mengetahui dan Maha Pemberi,

Beri tahu aku apa yang mereka ingin,

Berilah pada mereka yang tak bisa kuberi,

Sesungguhnya mereka telah meminta pada MU,


Maka Kau beri mereka Aku.

Agak Sepi Disini

Agak sepi disini,

Aku seperti sibrengsek yang ditinggal tanpa ampun,

Terhukum tanpa maaf,

Dibiarkan melamun dipenuhi debu.


Semoga aku punya dosa masa lalu yang pantas kuterima,

Semoga kalian baik – baik saja disana.


Hanya agak sepi disini.

Rabu, 26 Maret 2014

Membenci Wajahmu



Wajahmu, ada sesuatu disana,
Terlalu banyak senyum bertaburan.
Aku tak terlalu menyukainya.
Dibawah gazebo teduh,
Warna - warni pelangi keluar dari mulutnya,
Membusur ke dadamu,
Pintu itu terbuka,
Ribuan bidadari menari di bawah pelangi.

Apa yang disuarakan pelangi itu?
Seberapa manis? Begitu indahkah MEJIKUHIBINIU itu?
Tak penting bagiku,
Tapi berati bagi senyummu.

Aku benci melihatnya,
Saat kau tersenyum menyambut pelangi dari bibirnya.
Mengapa pula kau memamerkan wajah itu?
Aku memilih kau tersedu, mengaduh,
Mencari pundakku, membasahinya,
Aku terasa lebih berguna,

Menjadi pahlawan kesiangan.

Hiperbolis



Aku tak butuh mawar,
Nafasmu mengembuskan wangi dalam ruang antara kita,
Kecupmu mungkin tak semanis coklat Belgia,
Tinggalkan saja semua pemanis buatan itu,
Kita bukan lagi sepasang anak kecil yang baru belajar berpegangan tangan.

Aku tak butuh purnama,
Sinar redup matamu menerangi jalanku,
Jalan mataku menemukan matamu.
Sepasang tangan menggenggam hangat,
Mengatakan "Kita akan baik - baik saja".
Kusingkirkan seluruh nafsu malam ini,

Agar besok pagi kita tetap baik - baik saja.

Mimpiku Mimpimu



Aku bermimpi menjadi dirimu,
Disana aku bahagia,
Ada tangan yang menggenggam,
Hangat memberi rasa aman,
Tapi itu wajah dia bukan aku.

Kau bermimpi menjadi diriku,
Kau biarkan dia memelukku,
"Aku ingin kau bahagia",
Kau pergi setelah mengatakannya.

Aku terbagun dari mimpi,
Kau sudah diujung pintu,
Melangkah pergi,
Menutup pintu perlahan, sangat erat,
Menyisakan ruang gelap.
Mimpi mimpi itu,

Mimpi kita.

Aku Angin



Aku pembawa sejukmu,
Tak perlu kau resahkan panas Jakarta,
Biar kutiup peluh gundahmu,
Keterbangkan dedaunan,
Kubuat mereka menari,
Tuk mengundang senyummu.

Aku angin mu,
Tak bisa kau peluk,
Tak mungkin kau genggam,
Rasakan saja aku,
Hembusan sayangku, Kesejukan cintaku,
Tak perlu kau balas semua itu
Takkan mampu angin kau peluk.

Sabtu, 11 Januari 2014

Hati Dalam Kulkas

Seperti yang pernah kubilang,
Aku kembali untuk mengambilnya,
Hatimu,
Yang berbulan – bulan kau simpan dalam kulkas.

Dingin membeku, Diam membisu,
Kau bergeming,
Tubuhmu enggan bergerak dari depan pintu kulkas,
Menghalangi sentuhan hangat yang sudah sejak pagi kusimpan ditangan.

Rasa itu telah samar tertutup kembang es,
Hangatnya sirna dihembus freon.

Benda itu bukan miliku lagi,
Bukan untukku,
Aku benci es.

Pesan Ditembok

Pesanmu datang melalui udara,
Bertanya kabar, usapan kata sayang, hangat peluk kata rindu.
Berjatuhan jarang – jarang seperti gerimis,
Kau bilang hatimu mendung.

Tiga hari,
Tulisan – tulisan itu hanya menempel ditembok kamar,
Kata – kata manis yang hanya jadi santapan semut hitam,
Tanpa balasan.

Rindumu bertanya,
Kali ini tajam, menyudutkan,
“Aku kangen, apa kamu enggak?”
Aku tidak berani membacanya lama – lama,
Huruf – huruf itu semakin menyudutkan,
Mereka membentuk wajahmu.
“Kamu enggak kangen?”
Pesannya menjurus jadi interogasi penyidik,
Aku terpojok disudut kamar,
Oleh rentetan pesan. Pertanyaan.

Aku tidak,
Rasa itu sudah untuk yang lain.
Aku hanya jawab dalam hati.
Kubiarkan ribuan pesan memenuhi kamar,
Memojokanku.
Tanpa balas.

Batu Dibawah Hujan


Kubiarkan hujan menempa diri,
Berharap batu di dada bolong, terkikis derasnya butiran air,
Sambil kuresapi dingin guyuran air.

Kau menarik lenganku,
Tubuhku tak bergerak,
Usapan air yang dingin membuatku beku.

Kau memeluk tubuhku,
Hati ini bergeming,
Air hujan belum melubangi batu ini,
Sekedar goresan halus yang merajah dada.

Dingin meresap dalam dada, memeluk mesra,
Mementahkan pelukmu yang hangat,
Hangat hatimu tak mampu melumerkan batu ini,
Dingin hujan lebih bisa kunikmati.

Aku lebih memilih dingin air hujan,
Aku bersamanya.
Sisakan hangat pelukmu untuk yang lain.

Kekasih Malam

Selamat tinggal sore, kau cantik hari ini,
Aku ingin berias menyambut malam,
Dia bilang dia akan datang dengan anggun,
Aku tak mau terlihat buruk dibawahnya, aku harus berias,
Aku tak ingin mengecewakannya.

Kami bertemu,
Dia pemalu, lebih banyak diam,
Angin jemarinya membelai lembut, sedikit geli,
Peluknya sejuk memancing birahi,
Aku menjaga nafsu,
Bintang sedang mengintip dari celah lubang langit,
Bulan menggantikan cahaya lilin,
Lolongan serigala mengalun lembut dari gramofon,
Romantis.
Kami akan bercinta, bukan mengadu nafsu.