Powered By Blogger

Senin, 15 April 2013

Mimpi Tentang Kematian

Apa yang paling ditakuti dari kematian? Takut meninggalkan dunia yang indah? Takut meninggalkan  orang - orang yang dicintai? Takut akan pembalasan dosa? Takut tidak ada seorangpun yang menangisi? Tak ada yang merasa kehilangan? Takut tak ada yang datang melawat?
****
Aku merasa lupa, aku melupakan berapa angka yang tertulis di dahiku. Berapa angka yang dilihatNya didahiku? Berapa angka tertinggi yangg ditulisNya dengan tinta merah sebagai penanda batas akhir? 70an, 60an, 50, 40, 30?
Kenapa banyak tanda tanya disini? Aku seprti linglung, tanda tanya muncul berderet menusuk dalam kepala. Dia seperti deretan rantai yg terangkai, tapi kokoh mantap seperti pedang. Menusuk dari belakang kepala, menyentuh batas tulang tengkorak bagian dlm, brhenti disitu. Di ujung satunya, ada tangan yang sibuk memainkan, memutar, menyodok, menarik dan mendorong. Otak ku berlubang ditengah.
****
Aku ingin bertmu dengannya. Aku ingin mengatakan sesuatu. Sedikit penyesalan, mengapa kita dipertemukan terlalu dini. Hnya ada main dan main dikepala saat itu.
Aku selalu menyimpanmu di antara rongga dada ini, fotomu di gallery ponselku selalu terlihat spesial.
Lihat ujung jari jemari tangan kiriku, mengeras dan berlapis – lapis kulit yang mengeras. Aku ingin mengiringimu yang suka bernyanyi sepotong lirik, dilanjutkan dengn gumam yang masih berirama.
"Ohh something in the way hmmm, attract me like no other lover hmmm...".
Terimakasih Mr. Harrison telah menciptakan lirik yang sama – sama bisa kita suka.
****
Dedaunan dipohon besar diseberang kursi kami duduk, gemetar dihembus angin. Aroma hujan mewangi dihidung, seperti aroma terapi. Rambut panjang beberapa perempuan berterbangan, tangan- tangan mereka sibuk mendekap dan merapihkan ribuan helai yang tertancap kuat dikepala.
Kau berbeda, tetap tenang menikmati hembusan angin. Balutan lembut hijab berwarna ungu memeluk hangat kepalamu, menenangkan rambut – rambut  yang tertidur pulas, menyejukan sorot mata dan senyum. Manis sekali.
Aku mengutuk musim dingin yang melanda hatiku. Membekukan kita tanpa kata. Aku menyebar pandangan mengelilingi taman. Taman di tengah kota metropolitan atau lebih tepatnya metropolutan yang dibangun seadanya, komposisi beton lebih dominan dari hijau tumbuhan.
"Aku bermimpi buruk semalam." Tiba - tiba mulutku memecah kesunyian, meluncurkan kata. "Seburuk apa?" Kau antusias bertnya, sepertinya itu yang kau harapkan selama lima belas menit kesunyian kita.
Aku masih terdiam tak melanjutkan kalimatku, tidak pula menjawab pertanyaanmu.
"Seburuk apa mimpimu?" Kau semakin penasaran dengan kediamanku.
Dalam hatiku berkata, ini akan menjadi buruk. Setidaknya bukan topik pembicaraan yang bagus. Sama sekali tidak bagus.
"Seburuk apa mimpimu?" kau tersenyum pnasaran, aku jd salah tingkah. Aku masih acuh.
"Kau meninggal." Butuh sepuluh menit mulutku untuk mengucapkannya.
Kau tidak langsung mmbalas, diam sebentar.
"Maka aku akan berumur panjang." Aku terdiam agak bingung.
"Mitos yang kudengar seperti itu."
Ah aku baru ingat mitos itu.
"Mmm ya, benar juga, kau akan panjang umur, bagus untukmu." Aku harap demikian.
"Meski hanya mitos." ucapanmu tak seceria sebelumnya.
"Kau bisa menanamnya sebagai sugesti positif." Aku berpikir sejenak sebelum mengucapkannya.
Kau menahan senyum dengan  pandangan penasaran, menunggu penjelasan lanjutan.
"Mitos mimpi itu, bisa kau gunakan jadi sugesti positif, Katakanlah kau percaya mitos itu, maka kau tak perlu repot - repot membebani pikiranmu dengan memikirkan apa kau masih hidup besok atau kau akan mati besok." Tiba - tiba aku berlagak bijak dengan semua kalimat itu. Berharap kau santai saja menanggapinya atau tertawa saja.
"Aku selalu suka udara desember yang sejuk ini." Aku berusaha mengalihkan topik.
"Kau selalu mengatakan itukan?"
"kau jg samakan?" kita berdua tersnyum.
Kalimat sederhana yang membawa senyum. Masih banyak kalimat sederhana yang bisa membuatmu tersnyum, seperti "aku cinta kamu", apa itu kalimat sederhana? Kalo aku yang mengucapkan untukmu, kalimat itu akan menjadi sederhana. Aku tidak pernah mengucapkan itu. Apa aku perlu mengucapkannya disaat kita sudah bisa saling membaca perasaan satu sama lain? Aku rasa tidak. Tapi terkadang pernyataan perlu untuk sekedar memamerkan perasaan atau sebagai penegasan perasaan.
"Aku cinta kamu, selalu begitu." Kau tak membalas dengan kata – kata, hanya senyuman manis. Itu sudah lebih dari kata.
Gerimis turun sedikit demi sedikit. Aku menengadahkan wajah menatap langit yang berwarna kelabu dengan motif  awan tebal. Kepala bersandar di kursi taman sampai mata bisa melihat kebelakang dengan pandangan terbalik. Aku merasa pusing, cahaya putih samar – samar. Aku melihat samar – samar cahaya putih, kemudian menghilang. Pandangan kabur. Sully menepuk pelan lenganku, suaranya tidak begitu terdengar. Tiba – tiba petikan gitar akustik Jimmy Page berganti dengan raungan gitar elektrik Danelectro hitam putih. Teknik slide dengan efek yang meraung – raung. Lagu “The Rain song” milik Led Zeppelin yang romantis seketika menjadi gelap oleh “in my time of dying” milik artis yang sama pula. Kaukah itu izrail, cahaya itu? Hembusan angin dingin menebas batang leherku, Seperti memotong nafasku. Raungan gitar Jimmy Page terus meliuk ditelingaku, menusuk.
" Jesus, gonna make up.. somebody, somebody...
Jesus gonna make up... Jesus gonna make you my dyin' bed,” jeritan Robert Plant seperti mengejekku.
"Well, well, well, so I can die easy." Jeritan merdunya semakin menjadi, seperti memamerkan kematian yang mudah nan menyenangkan. Tidak jangan sekarang.
Aku merasa dekapan hangat ditanganku yang tadinya sudah sedingin mayat. Petikan gitar dari ending lagu “The Rain Song” mengalun manis. Kedipan cahaya mulai terlihat. Semakin kubuka mata semakin jelas terlihat. Pemandangan taman kota yang lebih didominasi beton ketimbang tumbuhan hijau, dekapan tangan itu masih menempel hangat dipunggung tanganku. Aku ingat, aku tertidur untuk mencari mimpi kematianku. Aku tidak mendapatkannya, umurku tidak panjang. Aku hanya nyaris mati, entah mimpi atau secara harfiah.
***
Taman kota metropolitan yang komposisi betonnya lebih banyak dari hijaunya tumbuhan. Kursi besi yang dihinggapi motif karat dimana – dimana, seperti pulau, seperti Indonesia jika dilihat di peta atlas.
Enam bulan lalu kami duduk disini, di musim dingin. Aku selalu suka desember. Terasa cepat berlalu.
Kemarau dengan rasa gersang, hati retak – retak seperti tanah tandus. Menuggu dalam kekeringan, angin hanya menghembuskan hawa panas, tak ada aromanya, tak ada aroma hujan. Hanya debu sekelebat berterbangan. Aku masih tetap menunggunya.
Tak ada kabar, dia sudah berjanji. Ponsel hanya membisu di genggaman. Jika dia temukan aku mati, dia akan mnghubungiku. Dia sudah berjanji. Tentang mimpi itu, ya, mitos mimpi sialan yang bodohnya kupercaya. Itu hanya alasan yang kubuat agar dia punya alasan menghubungiku. Aku memintanya berjanji. Aku takut dia tak punya alasan untuk menghubungiku. Menghilang begitu saja seperti sebelumnya.
Beberapa hari ini aku sudah beberapa kali melihatnya mati. Bahkan ada yang terasa begitu nyata. Aku lupa kapan dan dimana itu terjadi. Aku sering tertidur kapanpun dan bermimpi dimanapun. Tempatku tertidur belum tentu sama dengan tempatku terbangun. Bahkan tak tahu  ini nyata atau mimpi. Kalau ini mimpi, kan ku bawa mobil ini terjun ke jurang, tepat di depan sana.