Powered By Blogger

Jumat, 10 Agustus 2012

Eksekusi


Goresan diagonal melintang diantara empat goresan vertikal. Tembok lembab bercorak abstrak kusam yang lima hari telah kusandari. Kepala dingin tertular dinginnya tembok kusam, begitupun pundak hingga lengan. Bola mata meratapi goresan oranye dari sisa pecahan batu bata yang kubawa dari luar sel.
Dua goresan lagi, goresan sisa umurku. Aku mengetahui sisa umurku, begitu juga hakim, jaksa, sipir, dan juga ibuku yang beberapa hari ini sibuk dengan air matanya. Aku harap Tuhan memberinya cukup air mata untuk dua hari kedepan. Dan menggantikannya dengan do’a di hari – hari selanjutnya.
****
Tanah keluarga yang hijau meski tak seberapa luasnya. Kemarin kami semua masih hidup dengan damai di atas tanah yang subur. Perkebunan kelapa sawit hanya berada di ujung pinggiran desa kami−di perbatasan negeri.
Mobil dengan cat mengkilap menerjang diatas jalan tanah berdebu yang tak terjamah aspal. Beberapa orang keluar dari pintu yang ditutup dengan hati – hati. Menyebarkan pandangan ke perkebunan dan sawah penduduk desa. Mata mereka terpantul hijau dedaunan. Tapi mata yang hijau selalu identik dengan uang. Entah faktor yang mana yang membuat mata mereka jadi terlihat hijau.   
Seorang lelaki paruh baya yang terlihat paling jumawa, menatap hijau dari balik kaca mata hitamnya. Seseorang disebelahnya melebarkan gulungan kertas yang dibawanya, membentangkan didepan si jumawa. Seseorang lagi disisi lainnya si jumawa memainkan jarinya dengan gemulai. Sesekali menunjuk kearah kertas, sesekali menyebarkan telunjuknya ke arah Hamparan hijau perkebunan desa. Si jumawa mengangguk – anggukan kepala. Gerombolan si jumawa melesat dengan mobilnya meninggalkan Hamparan hijau, menyebrang gapura perbatasan ke negeri tetangga.
Sumpah serapah warga mengiringi kedatangan kepala desa beserta beberapa orang bersetelan necis. Sejauh ini aku belum tahu apa berita yang dibawa kepala desa−hingga membuat warga desa berserapah.
“Tanah perkebunan dan persawahan di Hamparan hijau masih secara sah milik pemerintah daerah. Kalian tidak perlu lagi menggarapnya.” Kepala desa memberi pengumuman di tepi tanah Hamparan hijau.
Warga menanggapinya dengan sumpah serapah, segala protes dan cacian menghujam kepala desa.
“Untuk kepentingan pendapatan devisa negara, maka Hamparan hijau akan diambil alih perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit negeri tetangga.” Kepala desa melanjutkan pengumumannya.
Demi devisa, negeri ini mengais – ngais uang yang berserakan dibawah kaki pengusaha negeri tetangga. Pejabat negeri ini sudah menjadi penyembah berhala. Berhala uang.
“Hamparan hijau milik kami, milik negeri ini.” Komar berteriak membalas ucapan kepala desa. Dia memang selalu berseberangan dengan pemerintah, dia mempunyai jiwa oposisi.
“Bagi yang merasa mempunyai hak atas tanah Hamparan hijau, silahkan tunjukan bukti sertifikat kepemilikannya. Jika tidak ada, hentikan semua aktifitas di Hamparan hijau mulai sekarang.” Kepala desa membalas teriakan Komar.
Pagar – pagar bambu berdiri angkuh menghalangi keindahan tanah Hamparan hijau. Esok harinya pagar – pagar bambu bertumbangan, pihak perusahaan sawit kembali menancapkan pasak – pasak pagar bambu. Esok harinya pagar bambu sudah kembali tumbang. Perwakilan pengusaha sawit yang datang meninjau lokasi−geram, di sisi lain Komar tertawa – tawa. Dia tidak menyadari beberapa pasang mata mengawasinya.
Esok harinya pagar bambu berdiri kokoh. Berita hilangnya Komar menyebar dari mulut kemulut. Komar seperti ditelan bumi. Istri dan anaknya hanya bisa menangis. Semua warga desa tidak tahu dimana keberadaan Komar dan bagaimana keadaannya.
Sejak saat itu tak ada yang berani mengusik kokohnya pohon sawit yang berdiri di tanah Hamparan hijau.
Gerombolan pengusaha sawit kembali meninjau tanah jajahannya. Si jumawa menatap permukiman warga dari balik kaca mata hitamnya. Sayup – sayup logat melayu yang terbawa angin, berhembus menembus daun telingaku. Aku tak terlalu mengerti bahasanya.
Seseorang bawahan si jumawa membuka gulungan kertas, seseorang lagi menunjuk – nunjuk pemukiman warga. Si jumawa mengangguk dan sesekali tertawa.
“Untuk kepentingan pendapatan devisa negara, maka pemukiman ilegal kalian, akan diambil alih perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit negeri tetangga.” Kepala desa kembali memberikan pengumuman di pinggir pagar bambu Hamparan hijau yang sebentar lagi beralih menjadi perkebunan sawit.
Untuk yang satu ini, kami bisa melawannya. Kami punya sertifikat sah kepemilikan tanah tempat tinggal kami.
Tengah malam yang seharusnya tenang berwarna gelap, berubah merah menyala. Kobaran api membakar ratusan pemukiman warga desa. Warga desa tak sempat menyelamatkan hartanya, bahkan beberapa tak sempat menyelamatkan nyawanya. Semuanya menjadi abu, termasuk sertifikat kepemilikan tanah tempat tinggal.
****
Corak hitam kusam tembok hotel prodeo mengingatkanku akan desa kami yang hangus terbakar. Lebih tepatnya dibakar. Aku melepaskan tinju kearah sketsa hitam di tembok. Darah merembes dari pori – pori kulit yang robek. Darah ini mengingatkanku pada si pengusaha jumawa.
****
Pagi hari yang sepi, sebagian besar warga desa telah meninggalkan desa mereka yang hangus. Aku masih disini−didepan gudang perkakas yang selamat dari kebakaran, menatapi perkebunan sawit yang sebelumnya Hamparan hijau.
Segerombolan orang turun dari mobil, begitu juga si pengusaha jumawa. Mereka menunjuk – nunjuk rongsokan desa kami yang hangus tebakar. Pandangannya bertemu sepasang mataku. Aku menghindar kedalam gudang perkakas. Parang yang beberapa bagiannya berkarat, tapi masih cukup kokoh untuk menebas batang leher seorang keparat.
Darah melumuri parang, membasuh bagian tubuhnya yang berkarat. Aku bertatapan dengan sepasang mata si jumawa. Sepasang mata dikepalanya, ya, hanya kepalanya. Parang ini masih kuat memutuskan batang leher seorang keparat dan lima orang budaknya.
****
Mereka menginginkan hukuman setimpal, tak ada perlawanan dari pihak manapun. Pimpinan negeri ini hanya prihatin sambil terus membungkuk dan menciumi tangan raja negeri tetangga.
Aku menerima saja. Apanya yang setimpal? Enam kepala dibalas satu kepala. Mereka  memang bodoh.