Powered By Blogger

Selasa, 17 Juli 2012

Tanah Surga


Bumi pertiwi. Begitulah rakyat negeri ini menyebut tanah tumpah darah mereka. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanaman yang menghijaukan, menghembuskan oksigen disiang hari, menepis semua terik matahari yang kaya ultraviolet yang membakar kulit. Bisa dibayangkan keajaiban itu. Tidak berhenti sampai disitu, tempat ini mempunyai kolam susu. Dengan hanya bermodal kail dan jala kau bisa hidup disini. Di tanah ini.
Surga duniawi. Mereka sedang menghayalkan surga duniawi. Aku duduk menatap pemandangan. Sejuk terasa disini. Kesejukan buatan, mereka datang dari sebuah mesin yang menempel di dinding. Mulut mesin itu menyemburkan kesejukan. Buatan manusia, karena tuhan tidak melimpahkan kesejukan diruang kotak bercat putih ini. Diluar sana? Lebih parah kurasa. Tapi bila kupecahkan kaca keparat ini, minimal ada hembusan angin alami dari ketinggian lantai lima ini. Tapi kuurungkan niat itu. Aku malas membaca detail surat pemecatan yang tanpa kubaca sudah kuketahui intinya.
Pemandangan metropolitan yang kaku. Begitu banyak kesombongan yang di elu – elukan gedung – gedung pencakar langit di luar sana, termasuk pijakan ku saat ini. Paling tidak pemandangan ini lebih bisa sedikit kunikmati dari pada pemandangan di meja kerja. Monitor komputer yang menyilaukan mata, kertas – kertas dengan bayangan stempel deadline, berkas – berkas menumpuk, kalender dengan coretan tulisan memo di bawah setiap angka tanggalan. Apa yang bagus dari pemandangan itu?
Ada apa dengan kota ini? Banyak hal salah terjadi disini. Mungkin karena banyak manusia yang salah tinggal disini. Siapa yang berpikir disini ada orang gila yang menyebar – nyebar uang di tengah jalan, siapa yang mengajarkan pola pikir seperti itu? Yang membuat mereka berduyun – duyun seperti arus air cokelat pekat yang berdatangan dari pintu air setiap musim hujan.  
Mungkin alam ditimur negeri ini lebih bersahabat, dengan segala pemandangan hijau yang ramah. Mungkin alam masih ramah disana. Hanya aparat bersenjata yang belum memanusiakan manusia. Mereka lebih suka mengobral timah panas sebagai ajang gagah – gagahan. Mungkin masih di pulau ini, hanya agak ketimur. Tapi ada lautan kesengsaraan disana. Lautan lumpur, uap – uap panas meletup – letup memecah gelembung. Tanah surga yang habis dirajah lumpur panas yang terus menyembur. Diiringi derasnya semburan anggaran dengan pemanis atas nama bantuan. Dari bencana alam yang dibuat – buat oleh kebodohan manusia ini kita bisa menilai, berapa banyak orang pintar di negeri ini. Orang pintar dalam arti harfiah, bukan orang yang pintar komat – kamit membaca mantra. Mengapa mereka tidak bisa menghentikan semburan kesengsaraan itu? alih – alih menghentikan, malah memanfatkan celah untuk membuka keran anggaran dengan dalih membangun tanggul dan berbagai macam kiasan bantuan. 
****
Semilir angin beraroma segar daun hijau. Cendrawasih yang anggun mengepakkan sayap di bumi nan kaya. Gugusan kepulauan yang dahulu terdapat empat kerajaan. Kini kerajaan disini pun tetap ada. Kerajaan bawah laut dengan istana terumbu karang. Pari manta berenang gemulai penuh keanggunan.
Aku melompat dari karang tepian laut. Memecah bulir – bulir air, menghempaskan keudara. Menari bagaikan melayang – layang dalam air. Seekor pari manta tiba – tiba sudah ada dihadapankudengan tatapan tajam sambil menyodorkan ekornya seraya menodongkan pedang yang siap  menghunus ke jantung.
“Pergi kau mahkluk perusak, enyahlah dari keperawanan perairan ini.” Dia berkata sambil membidikan pedangnya.
Tanpa pikir panjang aku melesat kepermukaan, dia membuntuti. Tangan menerobos air meraih karang – karang berlubang yang mulai hijau oleh lumut.
Bola mata mendelik hampir lepas dari kelopak. Kolam minyak dan bukit emas didepan mata. Tapi ada yang mengganjal di pemandangan indah yang menyilaukan mata ini. Ras kulit putih berenang – renang di kolam minyak dan mendaki sambil menggerogoti, menjilati bukit emas. Mereka di kelilingi anjing – anjing lokal penjaga, berseragam dan berkalung senjata yang penuh peluru. Disisi lain penduduk asli asik dengan kudapan sagu dan umbi – umbian.
Timah panas melesat dari corongnya, penduduk asli berhamburan ke dalam hutan. Sesosok mayat penduduk asli terkapar beberapa meter dari kolam minyak. Budak – budak ras kulit putih menyeka darah yang mulai mengalir ke kolam minyak. Ras kulit putih tertawa melihat penduduk asli lari pontang – panting. Mereka bagai menonton pertunjukan sirkus.
Beberapa budak menciduk minyak dari kolam, memecah bukit emas kemudian mengangkuti ke kapal hitam dengan kepulan asap dicerobongnya. Ditiang tertinggi melambai – lambai bendera bintang bergaris merah – putih. Negeri kedua sang pemimpin negeri.
Teriakan – teriakan  penduduk lokal beradu dengan gong – gongan anjing – anjing budak ras kulit putih. Desingan senjata semakin sering terdengar. Aku seperti berdiri ditengah medan perang atau lebih tepatnya di tengah jaman penjajahan. Tubuhku goyah tertabrak beberapa penduduk lokal yang lari pontang – panting di arena sirkus negara adidaya. Desingan senjata terdengar lagi, aku bisa merasakan timah panas bersarang di punggung. Apa aku akan mati ditanah surga? Kukira surga penuh dengan kekekalan
****
Aku ingat kemarin anak – anak itu masih bermain – main di lapangan sekolah. Kini yang ada dipantulan sepasang bola mata mereka hanyalah hamparan lautan coklat pekat berbuih dan mengeluarkan uap panas. Lautan lumpur panas.
Kota di sebelah timur ini lambat laun menjadi kota mati. Mati terkubur pekat. Mengubur semua milik mereka dan mengubur semua yang akan mereka miliki.
Malam hari yang terlihat lebih gelap. Semua pantulan cahaya bulan diserap habis lumpur pekat pencabut asa. Seorang gadis kecil menangis memanggil ibunya. Dia bediri dipinggir lautan pekat lumpur. Kemudian dia membungkuk, seperti mencari sesuatu didalam lumpur pekat. Dia mulai memanggil – manggil ibunya kembali. Aku melihat butiran – butiran jernih jatuh dari sudut matanya. Butiran yang sedikit memecah pekatnya kubangan lumpur sang pengusaha.
Gadis kecil itu duduk dipinggir kubangan lumpur, kepalanya disembunyikan diantara kedua dengkulnya. Dia berdiri kembali, kemudian tersenyum kearah kubangan lumpur−seperti melihat ibunya. Dia menjatuhkan dirinya kekubangan lumpur. Aku berlari mendekati kubangan lumpur. Tak kudapati gadis kecil itu, bahkan tak ada bekas riakan lumpur yang telah menelan tubuh seorang gadis. Permukaan kubangan lumpur tetap tenang, seperti tak punya dosa. Seperti tak bersalah telah menelan perkampungan ini bersama semua harapan penduduknya.
Sebulan berlalu semenjak desa ini diambil alih lumpur panas. Beberapa warga frustrasi. Mereka mendapat wejangan dari seorang dukun. Mereka akan mengadakan upacara larung sesaji di kubangan lumpur, dengan harapan semburan lumpur berhenti dan entah dengan cara apapun lumpur itu bisa lenyap. Mereka pesimis dengan metode pemerintah yang telah menyedot anggaran besar. Mereka seperti berpikir pemerintah hanya ingin terus mengalirkan anggaran seiring dengan semburan lumpur. Selama lumpur menyembur, anggaran tetap mengalir. Semburan lumpur bermuara dipenderitaan warga, aliran anggaran bermuara di kas mereka.
Kepala kerbau diatas tampah ditangan seorang perempuan perawan. Itu perintah sang dukun. Dua perawan lainnya menyebar kembang tujuh rupa dari pinggir tanggul lumpur. Kepala kerbau dilarung dari tepian kubangan lumpur. Semua mulai berharap kepala kerbau mampu meredam amukan gas alam yang menyembur lumpur. Tapi tak terpikirkan oleh mereka tentang kebodohan manusia dan keserakahan manusia yang memperkosa alam, sebagai penyebab bencana ditanah leluhur mereka.
Sebulan semenjak upacara larung kepala kerbau, tak ada perubahan. Lautan lumpur semakin meluas. Seluruh pasang mata menatap tajam ke arah sang dukun.
“Lemparkan seekor kerbau kelautan lumpur. Niscaya dewa akan meredakan amarahnya.” Ucap sang dukun menghindari dirinya dari kekesalan warga.
Upacara pengorbanan seekor kerbau dilangsungkan. Meski sebagian warga pesimis. Mereka kehilangan arah, mereka hanya ingin tanah kelahiran mereka kembali seperti semula. Mereka sudah kehilangan kesabaran. Entah telah berapa kali mereka meludahi tanggul – tanggul penahan lumpur buatan Badan akal – akalan pengeruk anggaran. Berapapun nominal pengganti yang dijanjikan sebagai pengganti tanah mereka, tidak akan cukup mengganti kehidupan mereka.
Burung bangkai mulai terbang mengitar di atas kerbau yang menggeliat kelojotan di kubangan lumpur panas.
Tulang belulang kerbau telah melebur dan mengendap didasar lumpur, keserakahan lumpur semakin menjadi – jadi melahap tanah warga. Merubah menjadi satu warna pekat. Tak ada yang bersalah dan tak ada yang merasa berdosa. Lumpur yang semula milik  penguasa menjadi tak bertuan di meja hijau. Palu sudah dihantamkan tiga kali.
Satu bulan semenjak upacara pengorbanan kerbau, tak ada tanda – tanda kerakusan lumpur akan berhenti melahap perkampungan. Semua mata mencari satu sosok yang sama. Sang dukun, seolah mereka meminta pertanggung jawaban atas kerakusan lumpur ini. Mereka menyeret sang dukun ke bibir tanggul penahan lumpur.
“Lempar dia.” Seorang memberi komando kepada beberapa pemuda yang telah membopong sang dukun.
Aku terkejut melihat ratusan warga yang penuh amarah. Di lain pihak, wajah sang dukun sangat memelas sambil meneteskan air mata. Tubuh ringkihnya meronta – ronta digenggaman beberapa tangan pemuda.
“Korbankan dia, lempar dia ke lautan lumpur,” warga terdiam mendengar teriakan sang sukun.
“Dia. Tuan sang lumpur panas.” Warga yang semula siap melempar, menurunkan sang dukun ke tanah.
Lima orang warga berlari telanjang kaki entah kemana. Mereka seperti mendapat petunjuk yang masuk akal dari sang dukun. Mereka terus berlari menjauh, hingga hilang dari pandangan mata.
Dua bulan semenjak kelima warga itu berlari, akhirnya mereka kembali menggotong sesuatu. Ternyata bukan sesuatu, tapi seseorang. Pakaiannya mewah meski tersamar debu. Mereka membawanya kepinggir tanggul. Mulut orang itu disumpal kain. Hanya erangan yang terdengar. Aku tahu siapa dia, sang tuan. Kelima orang itu berlari ke ibu kota menjemput sang tuan.
Aku berbalik arah tak peduli. Lembaran uang berterbangan dari saku sang tuan, menyeruak keudara, terhempas dikubangan lumpur, hansur tergerus panas lumpur. Suara warga bersorak – sorai seperti merayakan kemenangan. Sesungguhnya itu tidak berarti apa – apa atas penderitaan mereka akibat kerakusan lumpur panas.
“ Izinkan aku naik sebentar ke surga Mu, meminjam tongkat Musa. Ku belah lautan ini, mencari asa yang terkubur kubangan mati. “
****
Mimpi buruk telah berakhir. Mata terbuka, menyambut alam nyata−masih di tanah surga. Kali ini sedikit berbeda. Hembusan asap dari bokong kendaraan menjelma pelangi. Kerikil – kerikil yang berserakan menjelma berlian yang berkelip dibias cahaya. Hitamnya air sungai menjelma madu.  Sampah – sampah yang berserakah menjelma kelopak mawar, memerahkan sepanjang jalan. Monumen di pusat kota menjelma trambesi raksasa. Pucuknya tak lagi emas, berubah hijau. Bunga Raflesia mekar dipuncaknya.  
Emas, timah, batu bara, gas alam, minyak mentah−menyembur keluar dari perut bumi. Tanpa digali. Mata air menyemburkan beningnya ke udara.
Awan mendung bergeser gemulai, berkumpul menjadi satu. Mereka tidak lagi kelabu, merah muda kelirnya. Awan kembang gula. Gerimis mulai berjatuhan. Bukan air, lembaran – lembaran. Hujan mengguyur negeri tanah surga, tak satupun dari mereka yang berteduh, tak satupun dari mereka yang kuyup. Hujan di tanah surga bukan lagi air, mereka telah menjelma lembaran – lembaran uang kertas nominal seratus ribu.
Hujan uang berhamburan, warga berkerumun menadahi dan memunguti. Tak satupun dari mereka berpakaian dekil, lusuh, compang – camping. Semua rapih dengan jas dan dasi yang mengalungi leher masing – masing. Buntut mereka menjuntai saling bersenggolan, telinga besar mereka bergerak – gerak, hidung bulat di ujung moncong mereka terus mengendus – endus aroma wangi uang.