Tangannya dingin, tapi masih bernyawa,
Campur aduk rasa dalam genggaman Si Pria Hitam.
Segelas kopi hangat dimeja,
Gelas kopi hanya punya rasa, tak bernyawa, cuma sedikit gula,
Mereka sama – sama menghitam, larut dalam rasa masing –masing.
Segelas kopi hanya pelarian Si Pria Hitam,
Tak ditemukan hangat dalam tangan Si Kekasih,
Tak lagi manis kecup bibir Si Kekasih,
Segelas kopi hangat hanya pelarian.
Jadilah tiap sorenya dia ditemani segelas kopi hitam,
Si Pria Hitam yang larut dalam kopi hitam,
Si kopi hitam yang larut dalam Pria Hitam,
Mereka sama – sama larut dalam hitam,
Pahit – manis diaduk dalam satu pusaran.
Kamis, 19 Februari 2015
Senin, 16 Februari 2015
Hitamm..
Dia lupa cara melangkah,
kakinya turuti kepala yang kebingungan,
Beku, mati rasa,
Hanya ada hitam yang memutari kepala,
Andai ada yang bisa disalahkan,
Tangannya siap menghajar habis - habisan,
Tapi pada siapa?
Paling mudah menjangkau diri sendiri,
Kalau saja tak ada rasa sakit,
Takkan ragu dia menerjang peluru, bahkan maut.
Pintu beragam kelir,
Mereka ada dimana - mana,
Mengambang dalam gelap,
Dia benci memilih,
Kenapa Tuhan tak beri saja dua, Benar atau Salah,
Kakinya sudah hilang selera,
Semu, semua jadi semu,
Pintu - pintu itu, Ruang gelap, Kakinya bahkan Dirinya.
Dia memilih menunggu,
Membiarkan waktu gerogoti dirinya perlahan,
Detik demi detik..
Selasa, 10 Februari 2015
Misteri
Kamu bak misteri,
Cinta adalah
penasarannya,
Ada apa dibalik
gelapnya rambutmu?
Tirai hitam itu
menutupi sampai dada,
Jemariku layaknya arwah
penasaran,
Ingin menggerayangi
tanpa ketahuan.
Sayang, rasa yang
kumiliki takkan melukai,
Ini hanya hal gaib yang
bisa kau hiraukan,
Anggap saja mitos kalau
enggan percaya,
Tapi aku bisa merasa,
kau pun sanggup membaca.
Demi Masa
Sayang, dunia ini sementara,
Waktu kita sungguh ada
tepinya,
Kemarin sua, hari ini
bercinta, besok sampai jumpa,
Ahh, demi masa..
Kita mulai mencari
celah,
Salah ini milik siapa?
Ketimbang menangisi
rindu,
Mending benci dipicu,
Begitulah cara kita
melangkah pergi,
Demi masa,
Sampai jumpa.
Ritual Dusta
Tanganmu mengkilat bak
ujung mata kunci,
Wajahku melongo bodoh layaknya lubang gembok,
Kita tahu bagaimana
kisahnya,
Layaknya kunci yang
membuka misteri,
Tangan yang membatu
dikutuk amarah,
Membuka dusta yang
perlahan meluncur dari lidah,
Pakk! Pokk! Pakk!!..
Begitulah ritual kita..
Serigala II
Purnama seindah kuning
telur mata sapi,
Tubuhmu seharum wangi
anggur,
Aku lapar,
Cuma ada kamu yang
berbaring pasrah disisiku,
Memang, Cuma kamu yang
sudi.
Sayang, aku lapar,
Setan sudah menabuh
genderang,
Taring mengintip
perlahan,
Sayang, sudikah kamu...
Jumat, 06 Februari 2015
Serigala I
Kau datang dari arah
matahari terbit,
Menghalangi sinarku,
mengganti dengan sorotan mata.
Aku si serigala berbulu
domba,
Menunggu matahari
berganti purnama.
Jadilah kau disini,
Beranikan diri dekati
api,
Bermain dengan cakar
berkarat, meremehkan tajamnya taring,
Mengertilah sayang,
mataku sudah ceritakan semua,
Tak perlu kau
menungguku melolong,
Jangan sampai taringku
berkelir darah,
Tak perlu, sungguh
jangan sampai,
Kau kan tercabik,
tergigit,
Kau akan terluka.
Langganan:
Postingan (Atom)