Powered By Blogger

Sabtu, 10 November 2012

Menolak Apatis


Indonesia, iklim tropis yang sama seperti dahulu. Iklim politik yang semakin memanas, dengan demokrasi yang menjadi slogan. Ya, hanya slogan−tapi tidak juga, mungkin lebih tepatnya basa – basi. Seperti itukah? Selalu membingungkan membicarakan politik bagi saya, karena saya tidak pernah mempelajari itu, hanya menyerap beberapa tentang praktek perpolitikan dari media – media. Tapi saya selalu menolak untuk apatis untuk yang satu ini, minimal mengetahui apa yang terjadi dinegeri ini, apa yang dilakukan mereka terhadap negeri ini? Ya, mereka, para pejabat politik negeri ini, dari senayan sampai kantor – kantor dinas pemerintahan di pedesaan.
Kalau sudah menyangkut tingkah laku pejabat yang semakin aneh, kebijakan pejabat yang semakin aneh dan banyak lagi hal aneh kalau sudah menyangkut pola pikir pejabat yang seringnya tak bisa saya terima. Kebijakan yang mereka buat, sedikit – banyak berpengaruh dikehidupan saya atau kita. Itu pasti. Saya menolak apatis.
Mengapa saya katakan menolak apatis? Sekarang masih banyak juga rakyat negeri ini−terutama anak muda, generasi yang banyak disebut – sebut sebagai penerus bangsa (meskipun tidak disebut anak muda seperti apa yang akan menjadi generasi penerus), bersikap apatis. Mungkin mereka tidak merasakan dampak pemerintahan saat ini yang berefek pada kehidupan mereka. Apa bisa begitu? Padahal kita hidup di negeri yang sama. Mereka (pejabat negara) menghancurkan negeri ini, kehidupan kita juga yang hancur, nama Indonesia di dunia internasional akan jelek.
Mereka mengacaukan negeri ini? mengapa tidak. Kebijakan mereka banyak yang aneh (yang menguntungkan pribadi, golongan dan merugikan rakyat). Simpelnya, dari semua kebijakan yang mereka buat, ada yang mengganggu anda? Kalau iya, pasti ada alasan mengapa anda menentang dan mengapa mereka mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan pendapat anda. Alasan mana yang lebih mengarah pada kebaikan (kebaikan bersama, kebaikan kehidupan negeri ini), maka itu yang harus diutamakan untuk dijadikan suatu kebijakan di negeri ini.
Kalau anda atau kalian atau kita apatis, mereka akan semakin semaunya saja menjadikan negeri ini istana mereka. Karena banyak juga dari mereka yang menduduki kursi jabatan hanya mengincar pangkat dan uang. Meskipun masih ada yang benar – benar ingin membangun negeri ini. Kalian? Hanya seperti hewan ternaknya yang diambil daging, susu, telur bahkan dikuliti untuk dijadikan karpet atau mantel. Pajak yang kalian bayar, suara yang kalian berikan setiap pemilihan umum−tak kalian dapat timbal baliknya.
Seharusnya anda masih bersyukur ada demonstrasi mahasiswa atau buruh yang terkadang mengganggu perjalanan anda. Setidaknya mereka para demonstran masih peduli terhadap negeri ini, masih mau mengoreksi kebijakan aneh para pejabat negara. Tidak diam sambil asik dengan dunianya sendiri.
Hanya, kegiatan demonstrasi itu sebaiknya dijadikan gerakan jangka pendek saja bagi mahasiswa – mahasiswa. Gerakan jangka panjangnya? Para akademisi bisa bergerak dari dalam. Dari dalam pemerintahan yang korup ini, mereka harus bisa masuk ke pemerintahan dan mengubah segala birokrasi, konspirasi, politik busuk para pejabat. Hancurkan sendi – sendi korup pejabat negeri ini, dukung pemberantasan korupsi di negeri ini. Jangan terbawa arus korupsi.
Jadi, mengapa masih mau – maunya apatis terhadap negeri ini. Ketidak pedulian anda berkah mereka. Sangat disayangkan kalau masih banyak generasi muda yang belum terkontaminasi korupsi, yang anti korupsi hanya bersikap diam. Hanya asik dengan dunianya sendiri, dunia maya?

Kamis, 08 November 2012

Cinta?



Apa kau mencintaiku?

Kau pasti dengar pertanyaan ini,

Kau mau menjawab dengan apa?

Dengan yang kau beri selama ini?

Tafsirku masih bias dengan jawabanmu,

Saat kebaikan kau beri, ku anggap itu jawaban “Ya”,

Saat keburukan yang kutemukan, ragu yang ada dikepala.

Apa aku mencintaimu?

Seharusnya, “Ya”,

Tapi kau menyangsikan jika hanya lisan,

Kau minta lebih,

Kepercayaanku, waktu untuk memuja – memuji, minimal lima kali sehari untuk menjalin keintiman,

Sisanya tuntutan kebaikan, kebaikan, kebaikan,

Apa kau mencintaiku?

Aku tidak ingin hanya lisanmu, sama sepertimu,

Apa kau mencintaiku, TUHAN?..

Gema



Tengah malam,

Hening terpecah dikepala,

Aku berteriak, teriak, teriak,

Tak ada yang mendengar,

Semua terlelap dalam dekapan piyama, sibuk dengan mimpi,

Tak ada yang janggal,

Tak mungkin daun telinga menangkapnya,

Suara ini yang terdengar hanya didalam sini,

Berkecamuk, membentur dinding tengkorak sebelah kanan, balik menghantam sisi kiri, depan – belakang,

Ruang kepala penuh gema, gema yang terdengar sampai ke arasy,

Dia mendengar, hanya Dia...

Dua Sisi


Dinginnya angin malam tidak mengurungkan niat mereka, pakaian minim menjadi seragam dinas mereka tiap malam. Dandanan sensual mengaburkan temaram. Latar belakang tembok kusam semakin menegaskan tampilan mereka yang mencolok matamata pengguna jalan yang lalu lalang disepanjang jalan bekasi timur, seberang lembaga permasyarakatan cipinang lebih tepatnya.
“Lacur” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi. Arti kedua dari kata yang sama mempunyai arti kelakuan tidak baik. Dalam kata kerja, “melacur” mempunyai arti menjual diri. Dalam kata sifat, “pelacur” mempunyai arti sundal, wanita tuna susila.
Itulah mereka, wanita yang menjajakan dirinya sendiri. Menjajakan diri kepada nafsu syahwat pria – pria. Mereka membarter dengan uang dari setiap pria yang menumpahkan nafsu di tubuh mereka. Apakah uang yang mereka dapat sepadan dengan apa yang mereka sewakan? Itu menjadi urusan mereka pribadi dengan batinnya.
Sebenarnya kita tidak bisa hanya melihat semata – mata tentang pelacur yang mencari uang dan hidung belang yang butuh pelampiasan. Dari kaca mata imajinasi liar saya, hubungan antara uang dan nafsu dari kedua belah pihak antara pelacur dan hidung belang mempunyai sisi – sisi yang terselubung oleh tirai hitam perbuatan dosa mereka yang diekspose berlebihan luarnya saja. Menelanjangi semua keburukan profesi mereka. Hina, sundal, murahan, menjijikan, laknat, biadab, apalagi? Masih ada yang kurang?
Berita tentang kriminalisme semakin sering menghiasi program berita televisi. Pemerkosaan menjadi topik yang sering muncul. Sebagian besar pelaku dan korban adalah orang yang sudah saling mengenal, bahkan ada yang masih mempunyai ikatan kerabat. Nafsu memang datang kapan saja, jika tidak pintar – pintar mengendalikannya atau tidak puas dengan pelampiasan oleh diri sendiri, bahkan tak puas dengan pasangan, pemerkosaanlah yang terjadi dan berakhir di jeruji besi yang sebelumnya melewati lensa berita kriminal. Dan yang lebih parah lagi, bagaimana dengan nasib korban? Trauma, depresi, malu, terpukul. Meski tidak sedikit juga yang bisa bangkit dan menjalani hidup dengan normal.
Nafsu yang disalurkan pada tempatnya, tanpa merugikan orang lain. Terlalu polos jika menyarankan berhubungan saja dengan pasangan, dalam hal ini istri atau kekasih, atas dasar suka sama suka tentunya. Pelaku didominasi orang – orang yang kesepian karena belum punya pasangan atau terpisah oleh pasangannya. Motif lainnya dikarenakan terangsang karena melihat si korban. Mereka tak jarang cenderung menyalahkan pakaian si korban yang mengundang birahi. Mereka melupakan otak mereka yang sudah kotor dan banyak dihuni setan – setan.
Di kasus lainnya, pelaku terangsang setelah menonton “film biru”. Mereka latah dengan nafsunya, kemudian mencari pelampiasan. Dalam kasus ini, “film biru” selalu diperankan aktris dengan paras sempurna, mungkin bagi mereka yang sudah punya pasangan pun akan mencari pelampiasan lain, tergiur tubuh sang aktris. Secara fisik pasangan mereka terlalu jauh dengan para aktris film biru tersebut. Mereka cenderung mencari yang lebih segar, dalam arti sesuatu yang baru selain yang setiap malam mereka lihat diranjang. Yang mungkin tak sedikit dari mereka sudah melihat pasangannya seperti guling dan bantal, aksesoris pelengkap ranjang. Berlebihankah?
Dari sinilah imajinasi liar saya menyimpulkan tentang, sisi lain dari keberadaan pelacur yang seperti penadah nafsu yang harus disalurkan. Jika saja tidak ada profesi seperti pelacur, berapa banyak tingkat persentase angka pemerkosaan? Saya rasa lebih banyak lagi dari saat ini.
Menurut saya jangan terlalu menghujat profesi mereka jika anda tidak pernah dirugikan oleh keberadaan mereka. Memang benar tentang segala dosa mereka, resiko penyakit yang mereka bawa dan segala hal negatif dari keberadaan mereka. Tapi cobalah untuk melihat sesuatu dari dua mata. Jika disisi kiri sesuatu yang negatif, maka kita juga harus membuka mata sebelah kanan dimana terdapat sisi positifnya. Minimal sudut pandang lain dari yang biasa kita lihat.
Apa mereka menginginkan keadaan seperti itu? Menurut saya tidak. Apa mereka punya kesempatan untuk berubah? Tentu saja, hal itu selalu ada.
Saya tidak menyarankan untuk menghalakan pekerjaan mereka, itu urusan Tuhan. Tapi cara haram mereka dalam menghasilkan uang lebih baik dari pencuri, perampok terlebih lagi koruptor. Mungkin uang mereka sama haramnya, tapi mereka tidak merugikan korbannya. Perlu dipertanyakan yang disebut “korban” disini. Apakah lelaki hidung belang, pasangan para lelaki hidung belang atau bahkan pelacur itu sendiri?