Hidupi aku selayaknya kewajibanmu
Perlihatkan tentang kegelapan
Jejali kedalam otak ini sejak dini
Hingga terbiasa
Menganggap biasa
Acuhku, apatisku baik untukmu
Siapkan aku untuk lembah kegelapan
Lembah gelap yang bisa kau tambang
rupiah kelak.
Bunyi
tulisan dari secarik kertas penuh garis – garis kerutan seperti kulit wajah
yang sudah keriput menua. Dia meninggalkan begitu saja di lantai bus kota,
seperti tak berharga. Padahal setiap imajinasi yang keluar dari kepala manusia
berharga.
Gadis
muda−belasan umurnya, mungkin tiga atau lima belas. Dia membacakan potongan
puisi sepenuh hati. Mimik muka dan sorot mata seperti telah diatur sedemikian
rupa, selaras dengan tulisan dalam sobekan kertas lusuh di tangannya. Ditengah
panggung kabin bus kota dengan penumpang yang terpaksa menjadi penonton si
gadis penyair itu.
Beberapa
panumpang memerhatikannya, sisanya sibuk dengan kegiatan masing – masing. Aku
termasuk yang memerhatikannya. Sesekali sairnya terpotong jeda batuk, ketika
asap lalu lintas kota menyusup masuk ke panggungnya. Tangannya mencengkeram
pundak bangku penumpang saat supir menginjak pedal rem, untuk menyambut calon
penumpang yang melambaikan tangan di tepi jalan. Tubuh kecilnya goyah
tersenggol penumpang yang baru masuk dari pintu depan, yang berjarak beberapa
langkah dari tempat gadis penyair itu pentas.
Gadis
penyair itu menyodorkan topi yang tadinya bertengger dikepala, mendekat kearah
penumpang yang secara terpaksa menjadi penontonnya. Sebagian besar membalasnya
dengan lambaian tangan kosong, memalingkan wajah dan hanya beberapa yang
mengisi topinya dengan koin receh dan pecahan seribu rupiah. Aku meraih koin
receh dari kantong seragam kondekturku, memindahkan ke topi gadis penyair itu.
Dia melangkah turun dari panggungnya.
Salahkan dia atau penciptanya
sekalian
Tinggalkan dalam kegelapan ditengah
dingin malam
Meninggalkan mu, bergelut dengan
raungan nafsu alamiah
Lelaki tanpa daya bagi ribuan
pasang mata wanita
Tak mampu pula meraih yang murahan
yang dijajakan tiap malam
Hanya aku yang mampu diraihnya.
Gadis
penyair itu muncul lagi dipanggungnya, bus kota yang menjadi alatku
menghasilkan rupiah. Secarik kertas lusuh selalu ditinggalkannya, untuk kedua kalinya
aku memungutnya. Masih berisi kemuraman seperti sobekan kertas sebelumnya.
Kemuraman yang cocok ditulis diatas kertas lusuh penuh garis – garis bekas
lipatan. Kemuraman yang sepertinya sambungan dari sobekan kertas sebelumnya.
Suara
sumbang dipaksakan mengikuti irama, diiringi jeritan senar gitar berkarat yang
sudah pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Pengamen dengan perawakan dekil
menawarkan hiburan bagi penumpang bus, mereka menganggap lebih seperti
gangguan−polusi suara.
“Permisi,
selamat sore. Mohon perhatiannya,” suara perempuan menyeruak diantara suara
sumbang pengamen pria, menyerobot begitu saja. Seperti menegaskan, “ini
panggungku!”
Ekspresi
muka kecut terlempar dari wajah pengamen kearah gadis penyair itu. Pengamen
menyudahi aksi panggungnya, bergegas untuk menarik receh dari penumpang bus.
Dia tidak mau jatahnya diambil oleh gadis penyair. Gadis penyair menghiraukannya−mengambil
nafas dalam bersiap menghamburkan suara. Seperti biasa, syair muram.
“Biasakan ini
Hujami, tancapkan belati nafsu itu
ditubuhku
Lukai, hancurkan hati ini hingga
terbiasa
Apatisku, acuhku bagus untukmu
Biasakan tubuh ini
Biasakan beramah tamah dengan tubuh
lainnya
Seperti denganmu
Darah yang sama, asalku.”
Nafasnya
agak terengah – engah setelah orasi singkatnya. Sebagian besar penumpang
tercuri perhatiannya, dia membacakan syairnya dengan baik atau isi syairnya?
Keduanya menurutku.
Gadis
penyair itu bergegas menuju kepintu belakang bus, melewati penumpang begitu
saja. Tanpa menyodorkan topi kosongnya. Dia turun dari panggungnya begitu saja,
tanpa tepuk tangan penonton, tanpa apresiasi penonton dan tanpa sepeserpun
rupiah.
Sobekan
kertas lusuh bekas remasan tangan ditinggalkan begitu saja dilantai bus. Aku meraihnya
seperti sebelumnya, menjajarkan dengan sobekan syair sebelumnya. Ini potongan
yang ketiga.
Gadis penyair itu muncul lagi, apa ini akan
jadi sobekan yang keempat? Atau dia akan membuka judul baru.
“Aku kebal,
Hati ini? Dendam membara
Malam ini, malam kemarin aku tak
berdaya
Tubuh ini terlalu kecil, ringkih
Aku tak mau mengikuti permainanmu
kelak
Mengais rupiah dari menampung nafsu
Apa aku akan teriak minta tolong?
Aku akan berbisik saja pada mereka
yang peka, yang mau mendengar, yang berhati.”
Gadis
penyair itu menghempaskan sobekan kertas yang digenggamnya kelantai, dia
mengeluarkan kertas lainnya dari saku celananya. Di akan membacakan bagian
selanjutnya sekaligus.
Bus
kota semakin dipadati penumpang yang baru naik. Mata ini sudah tak mampu menjangkau penampakan
gadis penyair itu, dia terhalang penumpang yang berjejal memenuhi bus. Suaranya
tetap menggema menyaingi deru mesin bus dan lalulintas kota.
“Jika tembok yang membatasi hati
ini runtuh
Kupastikan runtuhannya akan
menimpamu
Menguburmu
Tangan kecil ini yang akan
melakukannya
Membawamu menghadap Nya
Aku sudah menyiapkan pembelaan jika
Dia mencap durhaka
Kau sendiri yang jadi alibiku
Aku tak takut dengan hukum dunia
yang tak pernah adil.
Jika aku sudah membisikan hal ini
Maka akan terjadi
Jangan salahkan aku, jangan
salahkan mereka yang tak mendengar
Karena aku hanya berbisik”.
Suara
gadis penyair itu tak terdengar lagi, aku melihatnya turun dari bus. Dia turun
dari panggungnya begitu saja, mengejutkan pengendara lain yang secara spontan
membunyikan klakson. Semua mata melihat kearahnya, dia tak peduli−terus
melangkah kemudian menghilang ditengah padatnya lalulintas kota meningalkan
pesan dibalik syair-nya yang kelam.
****
Bus
tidak terlalu ramai siang ini, penumpang hanya memenuhi kursi−tak ada yang
berdiri. Sudah dua hari gadis penyair itu tidak tampil di panggung ini.
Aku
mencuri baca sebuah artikel di koran yang dipegang penumpang, berita tentang “Pembunuhan
seorang bapak oleh putrinya sendiri yang masih berusia lima belas tahun.” Aku
jadi tahu dimana keberadaan gadis penyair itu sekarang, aku tahu arti
bisikannya dalam syair yang beberapa hari belakangan dibacakannya. Dia sudah
menutup tirai panggungnya.