Powered By Blogger

Kamis, 31 Mei 2012

Bisikan


Hidupi aku selayaknya kewajibanmu
Perlihatkan tentang kegelapan
Jejali kedalam otak ini sejak dini
Hingga terbiasa
Menganggap biasa
Acuhku, apatisku baik untukmu
Siapkan aku untuk lembah kegelapan
Lembah gelap yang bisa kau tambang rupiah kelak.
Bunyi tulisan dari secarik kertas penuh garis – garis kerutan seperti kulit wajah yang sudah keriput menua. Dia meninggalkan begitu saja di lantai bus kota, seperti tak berharga. Padahal setiap imajinasi yang keluar dari kepala manusia berharga.
Gadis muda−belasan umurnya, mungkin tiga atau lima belas. Dia membacakan potongan puisi sepenuh hati. Mimik muka dan sorot mata seperti telah diatur sedemikian rupa, selaras dengan tulisan dalam sobekan kertas lusuh di tangannya. Ditengah panggung kabin bus kota dengan penumpang yang terpaksa menjadi penonton si gadis penyair itu.
Beberapa panumpang memerhatikannya, sisanya sibuk dengan kegiatan masing – masing. Aku termasuk yang memerhatikannya. Sesekali sairnya terpotong jeda batuk, ketika asap lalu lintas kota menyusup masuk ke panggungnya. Tangannya mencengkeram pundak bangku penumpang saat supir menginjak pedal rem, untuk menyambut calon penumpang yang melambaikan tangan di tepi jalan. Tubuh kecilnya goyah tersenggol penumpang yang baru masuk dari pintu depan, yang berjarak beberapa langkah dari tempat gadis penyair itu pentas.
Gadis penyair itu menyodorkan topi yang tadinya bertengger dikepala, mendekat kearah penumpang yang secara terpaksa menjadi penontonnya. Sebagian besar membalasnya dengan lambaian tangan kosong, memalingkan wajah dan hanya beberapa yang mengisi topinya dengan koin receh dan pecahan seribu rupiah. Aku meraih koin receh dari kantong seragam kondekturku, memindahkan ke topi gadis penyair itu. Dia melangkah turun dari panggungnya.
Salahkan dia atau penciptanya sekalian
Tinggalkan dalam kegelapan ditengah dingin malam
Meninggalkan mu, bergelut dengan raungan nafsu alamiah
Lelaki tanpa daya bagi ribuan pasang mata wanita
Tak mampu pula meraih yang murahan yang dijajakan tiap malam
Hanya aku yang mampu diraihnya.
Gadis penyair itu muncul lagi dipanggungnya, bus kota yang menjadi alatku menghasilkan rupiah. Secarik kertas lusuh selalu ditinggalkannya, untuk kedua kalinya aku memungutnya. Masih berisi kemuraman seperti sobekan kertas sebelumnya. Kemuraman yang cocok ditulis diatas kertas lusuh penuh garis – garis bekas lipatan. Kemuraman yang sepertinya sambungan dari sobekan kertas sebelumnya.
Suara sumbang dipaksakan mengikuti irama, diiringi jeritan senar gitar berkarat yang sudah pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Pengamen dengan perawakan dekil menawarkan hiburan bagi penumpang bus, mereka menganggap lebih seperti gangguan−polusi suara.
“Permisi, selamat sore. Mohon perhatiannya,” suara perempuan menyeruak diantara suara sumbang pengamen pria, menyerobot begitu saja. Seperti menegaskan, “ini panggungku!”
Ekspresi muka kecut terlempar dari wajah pengamen kearah gadis penyair itu. Pengamen menyudahi aksi panggungnya, bergegas untuk menarik receh dari penumpang bus. Dia tidak mau jatahnya diambil oleh gadis penyair. Gadis penyair menghiraukannya−mengambil nafas dalam bersiap menghamburkan suara. Seperti biasa, syair muram.
“Biasakan ini
Hujami, tancapkan belati nafsu itu ditubuhku
Lukai, hancurkan hati ini hingga terbiasa
Apatisku, acuhku bagus untukmu
Biasakan tubuh ini
Biasakan beramah tamah dengan tubuh lainnya
Seperti denganmu
Darah yang sama, asalku.”
Nafasnya agak terengah – engah setelah orasi singkatnya. Sebagian besar penumpang tercuri perhatiannya, dia membacakan syairnya dengan baik atau isi syairnya? Keduanya menurutku.
Gadis penyair itu bergegas menuju kepintu belakang bus, melewati penumpang begitu saja. Tanpa menyodorkan topi kosongnya. Dia turun dari panggungnya begitu saja, tanpa tepuk tangan penonton, tanpa apresiasi penonton dan tanpa sepeserpun rupiah.
Sobekan kertas lusuh bekas remasan tangan ditinggalkan begitu saja dilantai bus. Aku meraihnya seperti sebelumnya, menjajarkan dengan sobekan syair sebelumnya. Ini potongan yang ketiga.
 Gadis penyair itu muncul lagi, apa ini akan jadi sobekan yang keempat? Atau dia akan membuka judul baru.
“Aku kebal,
Hati ini? Dendam membara
Malam ini, malam kemarin aku tak berdaya
Tubuh ini terlalu kecil, ringkih
Aku tak mau mengikuti permainanmu kelak
Mengais rupiah dari menampung nafsu
Apa aku akan teriak minta tolong?
Aku akan berbisik saja pada mereka yang peka, yang mau mendengar, yang berhati.”
Gadis penyair itu menghempaskan sobekan kertas yang digenggamnya kelantai, dia mengeluarkan kertas lainnya dari saku celananya. Di akan membacakan bagian selanjutnya sekaligus.
Bus kota semakin dipadati penumpang yang baru naik.  Mata ini sudah tak mampu menjangkau penampakan gadis penyair itu, dia terhalang penumpang yang berjejal memenuhi bus. Suaranya tetap menggema menyaingi deru mesin bus dan lalulintas kota.
“Jika tembok yang membatasi hati ini runtuh
Kupastikan runtuhannya akan menimpamu
Menguburmu
Tangan kecil ini yang akan melakukannya
Membawamu menghadap Nya
Aku sudah menyiapkan pembelaan jika Dia mencap durhaka
Kau sendiri yang jadi alibiku
Aku tak takut dengan hukum dunia yang tak pernah adil.
Jika aku sudah membisikan hal ini
Maka akan terjadi
Jangan salahkan aku, jangan salahkan mereka yang tak mendengar
Karena aku hanya berbisik”.
Suara gadis penyair itu tak terdengar lagi, aku melihatnya turun dari bus. Dia turun dari panggungnya begitu saja, mengejutkan pengendara lain yang secara spontan membunyikan klakson. Semua mata melihat kearahnya, dia tak peduli−terus melangkah kemudian menghilang ditengah padatnya lalulintas kota meningalkan pesan dibalik syair-nya yang kelam.
****
Bus tidak terlalu ramai siang ini, penumpang hanya memenuhi kursi−tak ada yang berdiri. Sudah dua hari gadis penyair itu tidak tampil di panggung ini.
Aku mencuri baca sebuah artikel di koran yang dipegang penumpang, berita tentang “Pembunuhan seorang bapak oleh putrinya sendiri yang masih berusia lima belas tahun.” Aku jadi tahu dimana keberadaan gadis penyair itu sekarang, aku tahu arti bisikannya dalam syair yang beberapa hari belakangan dibacakannya. Dia sudah menutup tirai panggungnya.

Jumat, 25 Mei 2012

Benih Dalam Alkohol


Alkohol sebenarnya bukan sesuatu yang akrab dengan lidah Sarah, dia hanya berspekulasi dari apa yang dia lihat di televisi−alkohol bisa menenangkan pikiran, melupakan masalah, tertawa lepas sambil meneteskan air mata. Menangis bersamaan. Bagaimana bisa? Tentu saja, Sarah sudah membuktikannya mengenai hal itu−tertawa sambil menangis. Tapi sama sekali dia bukan orang gila yang cengeng. Belakangan ini dia sering menghabiskan waktu bersama beberapa gelas anggur merah dan berbagai merk bir. Tentu saja hal itu membuat kepala menjadi berat, apa lagi peminum amatiran seperti dia.
Kelopak matanya terbuka tak terlalu lebar, lebih rendah dari biasanya. Tangannya masih cukup kuat untuk mengusir hidung belang yang menggoda, mencoba meraba−menjauh meninggalkannya, minimal mereka mendapat bekas merah dipipi.
Dia tak ingat berapa gelas alkohol yang ditenggaknya. Yang dia tahu dia harus membayar tagihannya belakangan.
Dengan tingkat kesadaran seadanya, Sarah merasakan seseorang duduk disebelahnya, meja yang sama−bangku yang berbeda. Diletakannya gelas yang masih kental aroma alkohol, posisi tangannya yang tadi mengenggam gelas berganti mengepal. Tinjunya siap melayang dipipi lelaki disebelah kanannya.
Sarah menoleh kesebelah kanannya, kelopak matanya terangkat merespon keterkejutannya. Dia kenal lelaki itu, tidak bukan begitu−dia hanya tahu lelaki itu. Sarah tahu benar rambut ikal, sorotan mata tajam dan kulit putihnya. Dari artikel yang pernah dibacanya di internet, dia tahu benar kalau lelaki ini sudah seharusnya terbakar bersama api neraka sejak tahun 1971.
Jim, apa dia baru naik dari neraka? Tentu saja. Sarah bisa melihat bara api kecil dari celana kulitnya. Sarah berpikir Jim lolos dari api neraka yang seharusnya meleburkan tulang – tulangnya. Kulit di bagian dadanya masih putih bersih selayaknya ras kulit putih biasanya. Badannya tak terbungkus sehelai benangpun, seperti yang biasa Sarah lihat di foto.
“Jim, apa yang kau lakukan disini?” Bau alkohol menghambur dari mulut, bersamaan dengan pertanyaan Sarah kepada lelaki yang dipanggilnya “Jim”.
Lelaki itu tak merespons pertanyaan Sarah, sepertinya dia menganggap Sarah dalam kendali alkohol. Meracau tak keruan sampai salah terka terhadap dirinya. Wanita pemabuk yang malang.
“Jim, bagaimana kau bisa sampai disini. Apa kau telah bertemu tuhan, bagaimana rupaNya?” Sarah masih saja melontarkan pertanyaan aneh. Alkohol memegang kendali otaknya.
“Aku sudah lama mengagumi parasmu. Aku bahkan pernah berfantasi dengan mu.” Kali ini ucapan Sarah yang dibawah kendali alkohol menarik perhatian lelaki itu.
“Kau panggil aku apa, dan yang kau bilang?”
“Jim. Jim Morrison kan? Aku bilang, aku mengagumi parasmu. Beberapa lagumu juga aku suka.” Lelaki itu tahu mengenai nama yang disebut Sarah. Dia berpikir wanita gila ini yang memulainya. Rasanya tak apa kalau dia mengambil sedikit keuntungan.
“Ya, tentu saja. Aku naik dari neraka yang panas, mencari tempat yang lebih hangat...” Lelaki itu memang berbicara ngalor – ngidul, seperti mengarang bebas. Tapi yang sampai ditelinga Sarah, lantunan tembang “hello i love you” dari The Doors. Dinyanyikan langsung oleh Jim Morrison yang bangkit dari neraka dan bersandar di pundaknya. Dengan kehangatan dan sisa – sisa panas api neraka yang menguap habis di udara. Di langit – langit bar yang kini telah berubah menjadi langit – langit hotel kelas melati yang berjajar disebelah bar.
Sarah tidak memegang kendali apapun, alkohol menguasai kepalanya dan lelaki yang dipanggilnya “Jim” menguasai birahinya. Buih bir yang menyatu dengan keringat lelaki itu menyatu dan bercampur dengan keringat rasa anggur merah sarah. Sampai klimaksnya, buih – buih bir dalam tubuh lelaki itu mengalir ke dalam tubuh Sarah. Menuju rahimnya.
Sarah berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi kemarin dan siapa lelaki itu? Apa dia benar pendosa yang naik dari panasnya neraka untuk mencari kehangatan−ya, kehangatan yang dengan mudah diberikan oleh Sarah, ditukar dengan benih alkohol yang mendekam dirahimnya. Atau lelaki itu tak lebih dari bajingan yang memanfaatkan kebodohan Sarah. Kebodohan akan kekagumannya dengan paras rupawan bajingan kulit putih yang jadi idolanya. Ditambah kebodohannya dalam menakar kadar alkohol yang mampu diterima otaknya.
Sarah menatap layar ponsel yang menampilkan gambar Jim Morrison, sambil sesekali menyebarkan pandangannya melihat lelaki yang hilir mudik di dalam bar. Dia belum menemukan wajah yang persis seperti dilayar ponselnya.
Semakin lama Sarah tak menemukan lelaki yang dicarinya. Dia menurunkan standar syarat kemiripan lelaki yang dicarinya dengan lelaki yang ada di layar ponselnya. Saat ini dia sedang sadar−tidak dibawah pengaruh alkohol, mana mungkin ada lelaki disini yang identik dengan lelaki yang ada di ponselnya. Minimal rambut ikalnya sama, maka dia akan langsung menghampiri lelaki itu, dia tidak berminat menuntut apapun. Dia hanya ingin memastikan makhluk yang dia panggil “Jim” itu nyata adanya−bukan iblis yang naik dari neraka atau fatamorgana yang diproyeksikan alkohol dalam otaknya saat itu. Begitulah yang ada dibenaknya.
Sarah sebenarnya sudah mulai melupakan tentang kejadiannya di bar bertahun – tahun lalu, sampai pada akhirnya anaknya yang kini berusia lima belas tahun mulai cerewet menanyai tentang sosok ayah yang darahnya mengaliri tubuhnya.
“Aku tidak tahu pasti keberadaan ayahmu sekarang.” Sarah memberi penjelasan yang sama sekali tidak memuaskan bagi putranya.
Bukan salahku, alkohol menguasai kepalaku. Cairan haram itu menggantikan peran darahku mengaliri tubuh. Membanjiri otakku, semua jadi terlihat berlebihan. Aku mengimbangi adrenalin itu, dia seperti menantangku. Aku tak mau kalah. Kuikuti permainannya, bukan melawannya.
Lelaki yang kupanggil Jim, dia rupawan seperti malaikat yang sayapnya terbakar habis api neraka. Dia menguasai birahiku dan memanfaatkan tubuhku dengan baik. Buih alkohol yang ditenggaknya bergelas – gelas tercampur dengan janin yang membentuk dirimu, mengalir kerahimku. Kami bertiga dalam satu ruangan kamar yang pengap. Aku, lelaki yang ku panggil Jim dan alkohol yang merasuki kami.
Sarah hanya berani berucap dalam hati, sambil mengusap rambut ikal dan bertatapan dengan sorot mata tajam putranya. Dia menamai putranya Jim.
*****
Tingkat kesadaran Sarah dibawah lima puluh persen, sisanya diisi oleh adrenalin, fatamorgana dan segala macam ilusi yang berlebihan. Lambungnya terasa seperti gunung berapi aktif yang sudah memasuki kondisi siaga satu−siap meletus menyemburkan lava pijar dan abu vulkanik. Dia takluk oleh kadar alkohol tiga puluh lima persen yang ditenggaknya beberapa gelas.
“Kau rupanya,” ujar Sarah sambil menatap kearah air kuning emas di gelas yang ada dihadapannya. Dia menyapa lelaki yang duduk disebelahnya. Tanpa menatap kesebelah, dia bisa merasakan kehadiran seseorang yang menurutnya “Jim” si lelaki itu.
“Aku tidak akan menerima janin mengandung alkohol lagi. Beradu birahi dibawah alkohol, tidak memberi kenikmatan apapun.” Sarah berusaha memegang kendali, dari segala yang pernah menguasainya dimasa lalu. Yang mengalahkannya, yang membuatnya mengikuti permainan itu.
“Kembali saja kau ke neraka, tempat asalmu.”
Sarah beranjak dengan segenap kesadaran yang tersisa. Cairan itu terlanjur membanjiri otaknya, dipompa oleh jantung keseluruh tubuh. Adrenalin berdetak seiring detak jantungnya yang tak beraturan−adrenalin yang tak tersalurkan, memacu jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat merembes keluar dikeningnya.
“Anakmu menitipkan salam. Dia anak laki – laki, lima belas tahun usianya.” Ujar Sarah sambil menghentikan langkahnya sejenak.
Sarah terjatuh dilantai bar, mulutnya bergumam tak keruan. Jim−putranya, menatap penuh iba sekaligus jijik. Pertanyannya tentang asal – usul dirinya sedikit terjawab.





Kamis, 03 Mei 2012

Dialog



Angin hanya berhembus dari putaran kipas angin kamar, suasana tidak terlalu heningsuara detak jam dinding tak henti memainkan irama datar yang teratur. Jarumnya menunjukkan pukul dua dinihari. Terlihat, meskipun suasana ruangan kotak ini gelap tanpa cahaya. Tak ada alasan hanya terlihat begitu saja, atau tak lebih dari sekedar feeling? Terserah. Dari ruang gelap kita bisa melihat isi ruang terang, dari ruang terang kita tak bisa melihat isi ruang yang gelap. Selalu begitu.
Nunggu siapa?” suara seseorang atau makhluk apapun memecahkan kekhusyuk’an lamunan.
“Bukan siapa,” aku menjawab pertanyaannya. Tapi malah membuat dia makin bingung.
“Maksudnya bukan orang?” Tatapannya makin bingung. Rautnya menunjukan perasaan ganjil yang ditujukannya padaku.
Sebenarnya aku tidak melihat raut wajahnya, aku sendiri tidak yakin kalau lawan bicaraku ini punya wujud. Tapi kemungkinan dia menganggap ku gila, depresi atau suka berkhayal. Nah asumsi yang terakhir terdengar paling bagus.
“Tepat. Aku tidak menunggu seseorang.”
“Lantas apa?”
“Entahlah. Mungkin bisa disebut anugerah, ilham atau mukjizat.” Aku menjawab seadanya. Spontan yang ada dimulut. Entah harus menggambarkan sesuatu itu dengan apa. Mungkin; anugerah, ilham atau mukjizat bisa juga. Tapi mukjizat sepertinya berlebihan.
“Mukjizat, kau mengaku nabi sekarang?” aku tak menjawabnya.
Suasana hening, dia sudah pergi atau masih disebelahku? Persetan, ruangan ini gelap. Aku bahkan tidak bisa melihatnya dari tadi, hanya suara. Aku memilih melanjutkan saja dialog atau monolog ini. Yang jelas ada percakapan disini.
“Aku tidak mengaku nabi, Dia akan melaknatku nanti. Aku tidak seberani itu.”
Tak ada jawaban. Pikiranku bertanya, apa dia masih disini? Mendengar? Dan melanjutkan percakapan? Ahh aku tak peduli, aku terkadang berbicara sendiri. Itu cukup menyenangkan.
“Baik, mungkin menganggap itu sebagai mukjizatagak berlebihan.”
“Sebenarnya itu terserah pendapatmu saja. Aku bebas, tidak memeluk suatu agama. Tapi percaya akan adanya Tuhan. Dan sebisa mungkin menyembahnya.” Suaranya muncul kembali, melanjutkan percakapan.
“Emm, kedengarannya menarik. Bagaimana caranya?” Sekarang aku yang dibuat penasaran oleh ucapannya. Menarik juga dia.
“Tidak. Aku tidak akan memberitahu.”
“Kenapa?”
“Kau harus menyembah tuhan melalui agama, seperti yang selama ini kau lakukan.” Dia terdengar lebih bijak sekarang.
“Kenapa?”
“Kita berbeda. Maksudku, aku bukan makhluk sepertimu.” Dia benar – benar membuatku bingung sekarang. Baiklah, mungkin aku mengerti sedikit maksudnya. Tapi tentang dirinya, bukan tentang ucapannya mengenai Tuhan dan menyembah dengan agama.
“Bisa kau tarik kesimpulannya saja.” Ucapku agar perkataannya tak semakin membuatku menggaruk kepala.
“Aku bukan manusia. Aku tak perlu menghadap Tuhan dan tak perlu berakhir di surga atau bahkan hancur tersiksa dineraka. Kau akan kesulitan menyembah Tuhan tanpa melalui agama.”
“Perkataan mu masuk akal. Lanjutkan.” Aku menikmati kuliahnya. Hal yang tak pernah kurasakan diperkuliahan dunia nyata.
“Aku tidak mau melanjutkannya, aku takut salah ucap.” Dia terdengar semakin bijaksana sekarang. Mungkin aku bisa memintanya menemaniku tiap malam. Berdiskusi atau membicarakan apapun. Dia cukup menyenangkan sebagai lawan bicara.
“imagine there’s no heaven, it’s easy if you try, no hell below us, above us only sky.
Imagine all the people, living for today.” Potongan lagu imagine dari John Lennon, spontan keluar dari mulutku. Dengan irama. Seingatku aku tak pernah bernyanyi didepan orang. Aku pemalu. Tapi ini keadaannya lain, dia bukan orang dan aku tak tahu apa dia sebenarnya.
“Nyatanya itu tak akan pernah mudah. Seperti yang John katakan.” Dia menanggapi potongan lirik yang kunyanyikan.
“Ya, karena John hanya bermaksud menyinggung tentang perdamaian dunia. Bukan tentang surga, neraka, agama atau tuhan. Dia muak dengan peperangan yang diciptakan manusia, dengan berbagai alasan.” Ini hanya pandangan dan kesimpulanku dari lagu imagine.
“Hey, bagaimana dengan obrolan kita sebelumnya? Mengapa jadi melebar kesini? Mana dia tadi? Mana yang kau tunggu? Siapa atau apa itu yang kau tunggu?” Aku bisa merasakannya, banyak tanda tanya menghambur dari ucapannya. Aku tidak langsung menjawab peratanyaannya yang berderet itu. Aku tersenyum.
“Ayolah teruskan, kau membuatku penasaran.” Awalnya dia yang penasaran dengan ucapanku, lalu aku penasaran dengan ucapannya, kemudian dia kembali penasaran dengan ucapanku. Aku tersenyum. Ini agak lucu, menurutku.
“Aku menuggu, emm... akan terdengar agak lucu, kau boleh tertawa sesukamu nanti. Aku juga akan tertawa.”
“Emm, biarku dengar.” Dia terdengar tak sabar, tapi dia akan kecewa nanti. Rasa penasarannya tak akan setimpal dengan jawabanku.
“Aku menunggu imajinasi. Imajinasi Nya datang kepadaku dan memberi sesuatu. Apapun untuk kulihat dan ku olah jadi apapun.”
“Aku hampa tanpanya, imajinasi itu.” Tak ada suara tawa, dia tak tertawa. Kecewa mungkin.
“Emm, cukup menyentuh. Masuk akal. Tapi tak ada bagian lucunya.”
“Haha, maaf mengecewakan.”
“Nah itu baru ucapan yang lucu.” Dia sedikit tertawa sebelum berucap.
“Buka sekarang.” Aku bingung. Apa maksud ucapannya? Buka apa?
“Maksudnya?”
“Kau menungguku kan.” Menunggunya? Dia terlalu narsis atau apa? Atau dia..
“Aku apa yang kau sebut tadi. Sesuatu yang kau sebut seperti anugerah atau ilham. Itu sedikit membuatku kikuk. Itu termasuk pujian kan?” Aku mengerti ucapannya, sangat mengerti. Sebenarnya aku sempat berpikir dia hantu atau jin atau makhluk halus lainnya. Tapi untunglah dia bukan semua itu. Dia bisa membuatku histeris dengan penampakannya yang menyeramkan. Konyol.
“Hey, aku bisa mendengar pikiranmu. Kita sangat dekat sekarang.” Aku tidak terkejut lagi menanggapi ucapannya.
“Silahkan masuk. Aku siap kapanpun. Mahkluk atau sesuatu sepertimu memang selalu datang tiba – tiba kan? Tunjukan gambaran atau apapun itu sekarang.”
Aku melihat cahaya. Bukan. Bukan begitu, aku tak melihatnya, aku merasakannya. Pikiranku  akan bekerja seperti proyektor yang memproyeksikan segala apapun yang dia berikan. Memproses menjadi apapun nantinya, yang tak terencanakan.
Ruangan ini tetap gelap dan agak hening, hanya ada suara detak jam yang berdetak teratur. Tidak demikian didalam sinidipikiranku, banyak sekali proyeksi – proyeksi, suara – suara dan warna.
Aku mendengar suaranya lagi, tapi tidak melalui telingapikiranku. “Luar biasa,” aku menjawab pertanyaannya tentang perasaanku.
“Banyak,” kali ini dia bertanya tentang apa yang aku lihat, dengar dan rasakan.
Sepertinya dialog ini akan terus berlanjut. Meski dia tak mengeluarkan suara secara langsung, tapi aku bisa mendengarnya melalui pikiranku.
Dia meng-iyakan pendapatkudia menjelaskan, hal yang selama ini kuanggap diriku berbicara sendiri, ternyata aku sedang berdialog dengannya. Ternyata aku tidak berbicara sendiri, syukurlahaku pikir aku gila. Dia ada dalam kepalaku.
“Jadi kau teman imajinatif atau bagian dari diriku yang lain?” Aku bertanya tentang posisinya dalam diriku.
Dia menjelaskan agak panjang lebar dan tentunya hanya aku yang dengar. Kesimpulannya dia lebih suka dipanggil teman, karena kalau dia kuanggap bagian diriku yang lain, itu sama saja dengan aku bicara sendiri.