Powered By Blogger

Sabtu, 01 Desember 2012

Kembali



Gerimis turun dibawah sombongnya matahari jam duabelas siang,

Aku berjalan pelan, menjaga jarak denganmu yang ada dibelakang,

Agar tak jauh tertinggal,

Berharap kau memanggilku kembali,

Sebelum wujudku mengabur dari jangkauan matamu.

Sebelum DIA memanggilku lebih dulu,

Untuk kembali padaNYA, berpulang, berpulang.

Gerimis pudar dari pemandangan langit,

Aku tak melihat pelangi,

Aku harap dia ada, dari sorot matamu,

Melengkung dilangit, jatuh dipunggungku,

Membuat jembatan diantara kita, memberi jalanku kembali, memanggilku,

Sebelum DIA memanggilku kembali,

Berpulang, berpulang, berpulang

Sabtu, 10 November 2012

Menolak Apatis


Indonesia, iklim tropis yang sama seperti dahulu. Iklim politik yang semakin memanas, dengan demokrasi yang menjadi slogan. Ya, hanya slogan−tapi tidak juga, mungkin lebih tepatnya basa – basi. Seperti itukah? Selalu membingungkan membicarakan politik bagi saya, karena saya tidak pernah mempelajari itu, hanya menyerap beberapa tentang praktek perpolitikan dari media – media. Tapi saya selalu menolak untuk apatis untuk yang satu ini, minimal mengetahui apa yang terjadi dinegeri ini, apa yang dilakukan mereka terhadap negeri ini? Ya, mereka, para pejabat politik negeri ini, dari senayan sampai kantor – kantor dinas pemerintahan di pedesaan.
Kalau sudah menyangkut tingkah laku pejabat yang semakin aneh, kebijakan pejabat yang semakin aneh dan banyak lagi hal aneh kalau sudah menyangkut pola pikir pejabat yang seringnya tak bisa saya terima. Kebijakan yang mereka buat, sedikit – banyak berpengaruh dikehidupan saya atau kita. Itu pasti. Saya menolak apatis.
Mengapa saya katakan menolak apatis? Sekarang masih banyak juga rakyat negeri ini−terutama anak muda, generasi yang banyak disebut – sebut sebagai penerus bangsa (meskipun tidak disebut anak muda seperti apa yang akan menjadi generasi penerus), bersikap apatis. Mungkin mereka tidak merasakan dampak pemerintahan saat ini yang berefek pada kehidupan mereka. Apa bisa begitu? Padahal kita hidup di negeri yang sama. Mereka (pejabat negara) menghancurkan negeri ini, kehidupan kita juga yang hancur, nama Indonesia di dunia internasional akan jelek.
Mereka mengacaukan negeri ini? mengapa tidak. Kebijakan mereka banyak yang aneh (yang menguntungkan pribadi, golongan dan merugikan rakyat). Simpelnya, dari semua kebijakan yang mereka buat, ada yang mengganggu anda? Kalau iya, pasti ada alasan mengapa anda menentang dan mengapa mereka mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan pendapat anda. Alasan mana yang lebih mengarah pada kebaikan (kebaikan bersama, kebaikan kehidupan negeri ini), maka itu yang harus diutamakan untuk dijadikan suatu kebijakan di negeri ini.
Kalau anda atau kalian atau kita apatis, mereka akan semakin semaunya saja menjadikan negeri ini istana mereka. Karena banyak juga dari mereka yang menduduki kursi jabatan hanya mengincar pangkat dan uang. Meskipun masih ada yang benar – benar ingin membangun negeri ini. Kalian? Hanya seperti hewan ternaknya yang diambil daging, susu, telur bahkan dikuliti untuk dijadikan karpet atau mantel. Pajak yang kalian bayar, suara yang kalian berikan setiap pemilihan umum−tak kalian dapat timbal baliknya.
Seharusnya anda masih bersyukur ada demonstrasi mahasiswa atau buruh yang terkadang mengganggu perjalanan anda. Setidaknya mereka para demonstran masih peduli terhadap negeri ini, masih mau mengoreksi kebijakan aneh para pejabat negara. Tidak diam sambil asik dengan dunianya sendiri.
Hanya, kegiatan demonstrasi itu sebaiknya dijadikan gerakan jangka pendek saja bagi mahasiswa – mahasiswa. Gerakan jangka panjangnya? Para akademisi bisa bergerak dari dalam. Dari dalam pemerintahan yang korup ini, mereka harus bisa masuk ke pemerintahan dan mengubah segala birokrasi, konspirasi, politik busuk para pejabat. Hancurkan sendi – sendi korup pejabat negeri ini, dukung pemberantasan korupsi di negeri ini. Jangan terbawa arus korupsi.
Jadi, mengapa masih mau – maunya apatis terhadap negeri ini. Ketidak pedulian anda berkah mereka. Sangat disayangkan kalau masih banyak generasi muda yang belum terkontaminasi korupsi, yang anti korupsi hanya bersikap diam. Hanya asik dengan dunianya sendiri, dunia maya?

Kamis, 08 November 2012

Cinta?



Apa kau mencintaiku?

Kau pasti dengar pertanyaan ini,

Kau mau menjawab dengan apa?

Dengan yang kau beri selama ini?

Tafsirku masih bias dengan jawabanmu,

Saat kebaikan kau beri, ku anggap itu jawaban “Ya”,

Saat keburukan yang kutemukan, ragu yang ada dikepala.

Apa aku mencintaimu?

Seharusnya, “Ya”,

Tapi kau menyangsikan jika hanya lisan,

Kau minta lebih,

Kepercayaanku, waktu untuk memuja – memuji, minimal lima kali sehari untuk menjalin keintiman,

Sisanya tuntutan kebaikan, kebaikan, kebaikan,

Apa kau mencintaiku?

Aku tidak ingin hanya lisanmu, sama sepertimu,

Apa kau mencintaiku, TUHAN?..

Gema



Tengah malam,

Hening terpecah dikepala,

Aku berteriak, teriak, teriak,

Tak ada yang mendengar,

Semua terlelap dalam dekapan piyama, sibuk dengan mimpi,

Tak ada yang janggal,

Tak mungkin daun telinga menangkapnya,

Suara ini yang terdengar hanya didalam sini,

Berkecamuk, membentur dinding tengkorak sebelah kanan, balik menghantam sisi kiri, depan – belakang,

Ruang kepala penuh gema, gema yang terdengar sampai ke arasy,

Dia mendengar, hanya Dia...

Dua Sisi


Dinginnya angin malam tidak mengurungkan niat mereka, pakaian minim menjadi seragam dinas mereka tiap malam. Dandanan sensual mengaburkan temaram. Latar belakang tembok kusam semakin menegaskan tampilan mereka yang mencolok matamata pengguna jalan yang lalu lalang disepanjang jalan bekasi timur, seberang lembaga permasyarakatan cipinang lebih tepatnya.
“Lacur” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi. Arti kedua dari kata yang sama mempunyai arti kelakuan tidak baik. Dalam kata kerja, “melacur” mempunyai arti menjual diri. Dalam kata sifat, “pelacur” mempunyai arti sundal, wanita tuna susila.
Itulah mereka, wanita yang menjajakan dirinya sendiri. Menjajakan diri kepada nafsu syahwat pria – pria. Mereka membarter dengan uang dari setiap pria yang menumpahkan nafsu di tubuh mereka. Apakah uang yang mereka dapat sepadan dengan apa yang mereka sewakan? Itu menjadi urusan mereka pribadi dengan batinnya.
Sebenarnya kita tidak bisa hanya melihat semata – mata tentang pelacur yang mencari uang dan hidung belang yang butuh pelampiasan. Dari kaca mata imajinasi liar saya, hubungan antara uang dan nafsu dari kedua belah pihak antara pelacur dan hidung belang mempunyai sisi – sisi yang terselubung oleh tirai hitam perbuatan dosa mereka yang diekspose berlebihan luarnya saja. Menelanjangi semua keburukan profesi mereka. Hina, sundal, murahan, menjijikan, laknat, biadab, apalagi? Masih ada yang kurang?
Berita tentang kriminalisme semakin sering menghiasi program berita televisi. Pemerkosaan menjadi topik yang sering muncul. Sebagian besar pelaku dan korban adalah orang yang sudah saling mengenal, bahkan ada yang masih mempunyai ikatan kerabat. Nafsu memang datang kapan saja, jika tidak pintar – pintar mengendalikannya atau tidak puas dengan pelampiasan oleh diri sendiri, bahkan tak puas dengan pasangan, pemerkosaanlah yang terjadi dan berakhir di jeruji besi yang sebelumnya melewati lensa berita kriminal. Dan yang lebih parah lagi, bagaimana dengan nasib korban? Trauma, depresi, malu, terpukul. Meski tidak sedikit juga yang bisa bangkit dan menjalani hidup dengan normal.
Nafsu yang disalurkan pada tempatnya, tanpa merugikan orang lain. Terlalu polos jika menyarankan berhubungan saja dengan pasangan, dalam hal ini istri atau kekasih, atas dasar suka sama suka tentunya. Pelaku didominasi orang – orang yang kesepian karena belum punya pasangan atau terpisah oleh pasangannya. Motif lainnya dikarenakan terangsang karena melihat si korban. Mereka tak jarang cenderung menyalahkan pakaian si korban yang mengundang birahi. Mereka melupakan otak mereka yang sudah kotor dan banyak dihuni setan – setan.
Di kasus lainnya, pelaku terangsang setelah menonton “film biru”. Mereka latah dengan nafsunya, kemudian mencari pelampiasan. Dalam kasus ini, “film biru” selalu diperankan aktris dengan paras sempurna, mungkin bagi mereka yang sudah punya pasangan pun akan mencari pelampiasan lain, tergiur tubuh sang aktris. Secara fisik pasangan mereka terlalu jauh dengan para aktris film biru tersebut. Mereka cenderung mencari yang lebih segar, dalam arti sesuatu yang baru selain yang setiap malam mereka lihat diranjang. Yang mungkin tak sedikit dari mereka sudah melihat pasangannya seperti guling dan bantal, aksesoris pelengkap ranjang. Berlebihankah?
Dari sinilah imajinasi liar saya menyimpulkan tentang, sisi lain dari keberadaan pelacur yang seperti penadah nafsu yang harus disalurkan. Jika saja tidak ada profesi seperti pelacur, berapa banyak tingkat persentase angka pemerkosaan? Saya rasa lebih banyak lagi dari saat ini.
Menurut saya jangan terlalu menghujat profesi mereka jika anda tidak pernah dirugikan oleh keberadaan mereka. Memang benar tentang segala dosa mereka, resiko penyakit yang mereka bawa dan segala hal negatif dari keberadaan mereka. Tapi cobalah untuk melihat sesuatu dari dua mata. Jika disisi kiri sesuatu yang negatif, maka kita juga harus membuka mata sebelah kanan dimana terdapat sisi positifnya. Minimal sudut pandang lain dari yang biasa kita lihat.
Apa mereka menginginkan keadaan seperti itu? Menurut saya tidak. Apa mereka punya kesempatan untuk berubah? Tentu saja, hal itu selalu ada.
Saya tidak menyarankan untuk menghalakan pekerjaan mereka, itu urusan Tuhan. Tapi cara haram mereka dalam menghasilkan uang lebih baik dari pencuri, perampok terlebih lagi koruptor. Mungkin uang mereka sama haramnya, tapi mereka tidak merugikan korbannya. Perlu dipertanyakan yang disebut “korban” disini. Apakah lelaki hidung belang, pasangan para lelaki hidung belang atau bahkan pelacur itu sendiri?

Jumat, 10 Agustus 2012

Eksekusi


Goresan diagonal melintang diantara empat goresan vertikal. Tembok lembab bercorak abstrak kusam yang lima hari telah kusandari. Kepala dingin tertular dinginnya tembok kusam, begitupun pundak hingga lengan. Bola mata meratapi goresan oranye dari sisa pecahan batu bata yang kubawa dari luar sel.
Dua goresan lagi, goresan sisa umurku. Aku mengetahui sisa umurku, begitu juga hakim, jaksa, sipir, dan juga ibuku yang beberapa hari ini sibuk dengan air matanya. Aku harap Tuhan memberinya cukup air mata untuk dua hari kedepan. Dan menggantikannya dengan do’a di hari – hari selanjutnya.
****
Tanah keluarga yang hijau meski tak seberapa luasnya. Kemarin kami semua masih hidup dengan damai di atas tanah yang subur. Perkebunan kelapa sawit hanya berada di ujung pinggiran desa kami−di perbatasan negeri.
Mobil dengan cat mengkilap menerjang diatas jalan tanah berdebu yang tak terjamah aspal. Beberapa orang keluar dari pintu yang ditutup dengan hati – hati. Menyebarkan pandangan ke perkebunan dan sawah penduduk desa. Mata mereka terpantul hijau dedaunan. Tapi mata yang hijau selalu identik dengan uang. Entah faktor yang mana yang membuat mata mereka jadi terlihat hijau.   
Seorang lelaki paruh baya yang terlihat paling jumawa, menatap hijau dari balik kaca mata hitamnya. Seseorang disebelahnya melebarkan gulungan kertas yang dibawanya, membentangkan didepan si jumawa. Seseorang lagi disisi lainnya si jumawa memainkan jarinya dengan gemulai. Sesekali menunjuk kearah kertas, sesekali menyebarkan telunjuknya ke arah Hamparan hijau perkebunan desa. Si jumawa mengangguk – anggukan kepala. Gerombolan si jumawa melesat dengan mobilnya meninggalkan Hamparan hijau, menyebrang gapura perbatasan ke negeri tetangga.
Sumpah serapah warga mengiringi kedatangan kepala desa beserta beberapa orang bersetelan necis. Sejauh ini aku belum tahu apa berita yang dibawa kepala desa−hingga membuat warga desa berserapah.
“Tanah perkebunan dan persawahan di Hamparan hijau masih secara sah milik pemerintah daerah. Kalian tidak perlu lagi menggarapnya.” Kepala desa memberi pengumuman di tepi tanah Hamparan hijau.
Warga menanggapinya dengan sumpah serapah, segala protes dan cacian menghujam kepala desa.
“Untuk kepentingan pendapatan devisa negara, maka Hamparan hijau akan diambil alih perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit negeri tetangga.” Kepala desa melanjutkan pengumumannya.
Demi devisa, negeri ini mengais – ngais uang yang berserakan dibawah kaki pengusaha negeri tetangga. Pejabat negeri ini sudah menjadi penyembah berhala. Berhala uang.
“Hamparan hijau milik kami, milik negeri ini.” Komar berteriak membalas ucapan kepala desa. Dia memang selalu berseberangan dengan pemerintah, dia mempunyai jiwa oposisi.
“Bagi yang merasa mempunyai hak atas tanah Hamparan hijau, silahkan tunjukan bukti sertifikat kepemilikannya. Jika tidak ada, hentikan semua aktifitas di Hamparan hijau mulai sekarang.” Kepala desa membalas teriakan Komar.
Pagar – pagar bambu berdiri angkuh menghalangi keindahan tanah Hamparan hijau. Esok harinya pagar – pagar bambu bertumbangan, pihak perusahaan sawit kembali menancapkan pasak – pasak pagar bambu. Esok harinya pagar bambu sudah kembali tumbang. Perwakilan pengusaha sawit yang datang meninjau lokasi−geram, di sisi lain Komar tertawa – tawa. Dia tidak menyadari beberapa pasang mata mengawasinya.
Esok harinya pagar bambu berdiri kokoh. Berita hilangnya Komar menyebar dari mulut kemulut. Komar seperti ditelan bumi. Istri dan anaknya hanya bisa menangis. Semua warga desa tidak tahu dimana keberadaan Komar dan bagaimana keadaannya.
Sejak saat itu tak ada yang berani mengusik kokohnya pohon sawit yang berdiri di tanah Hamparan hijau.
Gerombolan pengusaha sawit kembali meninjau tanah jajahannya. Si jumawa menatap permukiman warga dari balik kaca mata hitamnya. Sayup – sayup logat melayu yang terbawa angin, berhembus menembus daun telingaku. Aku tak terlalu mengerti bahasanya.
Seseorang bawahan si jumawa membuka gulungan kertas, seseorang lagi menunjuk – nunjuk pemukiman warga. Si jumawa mengangguk dan sesekali tertawa.
“Untuk kepentingan pendapatan devisa negara, maka pemukiman ilegal kalian, akan diambil alih perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit negeri tetangga.” Kepala desa kembali memberikan pengumuman di pinggir pagar bambu Hamparan hijau yang sebentar lagi beralih menjadi perkebunan sawit.
Untuk yang satu ini, kami bisa melawannya. Kami punya sertifikat sah kepemilikan tanah tempat tinggal kami.
Tengah malam yang seharusnya tenang berwarna gelap, berubah merah menyala. Kobaran api membakar ratusan pemukiman warga desa. Warga desa tak sempat menyelamatkan hartanya, bahkan beberapa tak sempat menyelamatkan nyawanya. Semuanya menjadi abu, termasuk sertifikat kepemilikan tanah tempat tinggal.
****
Corak hitam kusam tembok hotel prodeo mengingatkanku akan desa kami yang hangus terbakar. Lebih tepatnya dibakar. Aku melepaskan tinju kearah sketsa hitam di tembok. Darah merembes dari pori – pori kulit yang robek. Darah ini mengingatkanku pada si pengusaha jumawa.
****
Pagi hari yang sepi, sebagian besar warga desa telah meninggalkan desa mereka yang hangus. Aku masih disini−didepan gudang perkakas yang selamat dari kebakaran, menatapi perkebunan sawit yang sebelumnya Hamparan hijau.
Segerombolan orang turun dari mobil, begitu juga si pengusaha jumawa. Mereka menunjuk – nunjuk rongsokan desa kami yang hangus tebakar. Pandangannya bertemu sepasang mataku. Aku menghindar kedalam gudang perkakas. Parang yang beberapa bagiannya berkarat, tapi masih cukup kokoh untuk menebas batang leher seorang keparat.
Darah melumuri parang, membasuh bagian tubuhnya yang berkarat. Aku bertatapan dengan sepasang mata si jumawa. Sepasang mata dikepalanya, ya, hanya kepalanya. Parang ini masih kuat memutuskan batang leher seorang keparat dan lima orang budaknya.
****
Mereka menginginkan hukuman setimpal, tak ada perlawanan dari pihak manapun. Pimpinan negeri ini hanya prihatin sambil terus membungkuk dan menciumi tangan raja negeri tetangga.
Aku menerima saja. Apanya yang setimpal? Enam kepala dibalas satu kepala. Mereka  memang bodoh.







Selasa, 17 Juli 2012

Tanah Surga


Bumi pertiwi. Begitulah rakyat negeri ini menyebut tanah tumpah darah mereka. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanaman yang menghijaukan, menghembuskan oksigen disiang hari, menepis semua terik matahari yang kaya ultraviolet yang membakar kulit. Bisa dibayangkan keajaiban itu. Tidak berhenti sampai disitu, tempat ini mempunyai kolam susu. Dengan hanya bermodal kail dan jala kau bisa hidup disini. Di tanah ini.
Surga duniawi. Mereka sedang menghayalkan surga duniawi. Aku duduk menatap pemandangan. Sejuk terasa disini. Kesejukan buatan, mereka datang dari sebuah mesin yang menempel di dinding. Mulut mesin itu menyemburkan kesejukan. Buatan manusia, karena tuhan tidak melimpahkan kesejukan diruang kotak bercat putih ini. Diluar sana? Lebih parah kurasa. Tapi bila kupecahkan kaca keparat ini, minimal ada hembusan angin alami dari ketinggian lantai lima ini. Tapi kuurungkan niat itu. Aku malas membaca detail surat pemecatan yang tanpa kubaca sudah kuketahui intinya.
Pemandangan metropolitan yang kaku. Begitu banyak kesombongan yang di elu – elukan gedung – gedung pencakar langit di luar sana, termasuk pijakan ku saat ini. Paling tidak pemandangan ini lebih bisa sedikit kunikmati dari pada pemandangan di meja kerja. Monitor komputer yang menyilaukan mata, kertas – kertas dengan bayangan stempel deadline, berkas – berkas menumpuk, kalender dengan coretan tulisan memo di bawah setiap angka tanggalan. Apa yang bagus dari pemandangan itu?
Ada apa dengan kota ini? Banyak hal salah terjadi disini. Mungkin karena banyak manusia yang salah tinggal disini. Siapa yang berpikir disini ada orang gila yang menyebar – nyebar uang di tengah jalan, siapa yang mengajarkan pola pikir seperti itu? Yang membuat mereka berduyun – duyun seperti arus air cokelat pekat yang berdatangan dari pintu air setiap musim hujan.  
Mungkin alam ditimur negeri ini lebih bersahabat, dengan segala pemandangan hijau yang ramah. Mungkin alam masih ramah disana. Hanya aparat bersenjata yang belum memanusiakan manusia. Mereka lebih suka mengobral timah panas sebagai ajang gagah – gagahan. Mungkin masih di pulau ini, hanya agak ketimur. Tapi ada lautan kesengsaraan disana. Lautan lumpur, uap – uap panas meletup – letup memecah gelembung. Tanah surga yang habis dirajah lumpur panas yang terus menyembur. Diiringi derasnya semburan anggaran dengan pemanis atas nama bantuan. Dari bencana alam yang dibuat – buat oleh kebodohan manusia ini kita bisa menilai, berapa banyak orang pintar di negeri ini. Orang pintar dalam arti harfiah, bukan orang yang pintar komat – kamit membaca mantra. Mengapa mereka tidak bisa menghentikan semburan kesengsaraan itu? alih – alih menghentikan, malah memanfatkan celah untuk membuka keran anggaran dengan dalih membangun tanggul dan berbagai macam kiasan bantuan. 
****
Semilir angin beraroma segar daun hijau. Cendrawasih yang anggun mengepakkan sayap di bumi nan kaya. Gugusan kepulauan yang dahulu terdapat empat kerajaan. Kini kerajaan disini pun tetap ada. Kerajaan bawah laut dengan istana terumbu karang. Pari manta berenang gemulai penuh keanggunan.
Aku melompat dari karang tepian laut. Memecah bulir – bulir air, menghempaskan keudara. Menari bagaikan melayang – layang dalam air. Seekor pari manta tiba – tiba sudah ada dihadapankudengan tatapan tajam sambil menyodorkan ekornya seraya menodongkan pedang yang siap  menghunus ke jantung.
“Pergi kau mahkluk perusak, enyahlah dari keperawanan perairan ini.” Dia berkata sambil membidikan pedangnya.
Tanpa pikir panjang aku melesat kepermukaan, dia membuntuti. Tangan menerobos air meraih karang – karang berlubang yang mulai hijau oleh lumut.
Bola mata mendelik hampir lepas dari kelopak. Kolam minyak dan bukit emas didepan mata. Tapi ada yang mengganjal di pemandangan indah yang menyilaukan mata ini. Ras kulit putih berenang – renang di kolam minyak dan mendaki sambil menggerogoti, menjilati bukit emas. Mereka di kelilingi anjing – anjing lokal penjaga, berseragam dan berkalung senjata yang penuh peluru. Disisi lain penduduk asli asik dengan kudapan sagu dan umbi – umbian.
Timah panas melesat dari corongnya, penduduk asli berhamburan ke dalam hutan. Sesosok mayat penduduk asli terkapar beberapa meter dari kolam minyak. Budak – budak ras kulit putih menyeka darah yang mulai mengalir ke kolam minyak. Ras kulit putih tertawa melihat penduduk asli lari pontang – panting. Mereka bagai menonton pertunjukan sirkus.
Beberapa budak menciduk minyak dari kolam, memecah bukit emas kemudian mengangkuti ke kapal hitam dengan kepulan asap dicerobongnya. Ditiang tertinggi melambai – lambai bendera bintang bergaris merah – putih. Negeri kedua sang pemimpin negeri.
Teriakan – teriakan  penduduk lokal beradu dengan gong – gongan anjing – anjing budak ras kulit putih. Desingan senjata semakin sering terdengar. Aku seperti berdiri ditengah medan perang atau lebih tepatnya di tengah jaman penjajahan. Tubuhku goyah tertabrak beberapa penduduk lokal yang lari pontang – panting di arena sirkus negara adidaya. Desingan senjata terdengar lagi, aku bisa merasakan timah panas bersarang di punggung. Apa aku akan mati ditanah surga? Kukira surga penuh dengan kekekalan
****
Aku ingat kemarin anak – anak itu masih bermain – main di lapangan sekolah. Kini yang ada dipantulan sepasang bola mata mereka hanyalah hamparan lautan coklat pekat berbuih dan mengeluarkan uap panas. Lautan lumpur panas.
Kota di sebelah timur ini lambat laun menjadi kota mati. Mati terkubur pekat. Mengubur semua milik mereka dan mengubur semua yang akan mereka miliki.
Malam hari yang terlihat lebih gelap. Semua pantulan cahaya bulan diserap habis lumpur pekat pencabut asa. Seorang gadis kecil menangis memanggil ibunya. Dia bediri dipinggir lautan pekat lumpur. Kemudian dia membungkuk, seperti mencari sesuatu didalam lumpur pekat. Dia mulai memanggil – manggil ibunya kembali. Aku melihat butiran – butiran jernih jatuh dari sudut matanya. Butiran yang sedikit memecah pekatnya kubangan lumpur sang pengusaha.
Gadis kecil itu duduk dipinggir kubangan lumpur, kepalanya disembunyikan diantara kedua dengkulnya. Dia berdiri kembali, kemudian tersenyum kearah kubangan lumpur−seperti melihat ibunya. Dia menjatuhkan dirinya kekubangan lumpur. Aku berlari mendekati kubangan lumpur. Tak kudapati gadis kecil itu, bahkan tak ada bekas riakan lumpur yang telah menelan tubuh seorang gadis. Permukaan kubangan lumpur tetap tenang, seperti tak punya dosa. Seperti tak bersalah telah menelan perkampungan ini bersama semua harapan penduduknya.
Sebulan berlalu semenjak desa ini diambil alih lumpur panas. Beberapa warga frustrasi. Mereka mendapat wejangan dari seorang dukun. Mereka akan mengadakan upacara larung sesaji di kubangan lumpur, dengan harapan semburan lumpur berhenti dan entah dengan cara apapun lumpur itu bisa lenyap. Mereka pesimis dengan metode pemerintah yang telah menyedot anggaran besar. Mereka seperti berpikir pemerintah hanya ingin terus mengalirkan anggaran seiring dengan semburan lumpur. Selama lumpur menyembur, anggaran tetap mengalir. Semburan lumpur bermuara dipenderitaan warga, aliran anggaran bermuara di kas mereka.
Kepala kerbau diatas tampah ditangan seorang perempuan perawan. Itu perintah sang dukun. Dua perawan lainnya menyebar kembang tujuh rupa dari pinggir tanggul lumpur. Kepala kerbau dilarung dari tepian kubangan lumpur. Semua mulai berharap kepala kerbau mampu meredam amukan gas alam yang menyembur lumpur. Tapi tak terpikirkan oleh mereka tentang kebodohan manusia dan keserakahan manusia yang memperkosa alam, sebagai penyebab bencana ditanah leluhur mereka.
Sebulan semenjak upacara larung kepala kerbau, tak ada perubahan. Lautan lumpur semakin meluas. Seluruh pasang mata menatap tajam ke arah sang dukun.
“Lemparkan seekor kerbau kelautan lumpur. Niscaya dewa akan meredakan amarahnya.” Ucap sang dukun menghindari dirinya dari kekesalan warga.
Upacara pengorbanan seekor kerbau dilangsungkan. Meski sebagian warga pesimis. Mereka kehilangan arah, mereka hanya ingin tanah kelahiran mereka kembali seperti semula. Mereka sudah kehilangan kesabaran. Entah telah berapa kali mereka meludahi tanggul – tanggul penahan lumpur buatan Badan akal – akalan pengeruk anggaran. Berapapun nominal pengganti yang dijanjikan sebagai pengganti tanah mereka, tidak akan cukup mengganti kehidupan mereka.
Burung bangkai mulai terbang mengitar di atas kerbau yang menggeliat kelojotan di kubangan lumpur panas.
Tulang belulang kerbau telah melebur dan mengendap didasar lumpur, keserakahan lumpur semakin menjadi – jadi melahap tanah warga. Merubah menjadi satu warna pekat. Tak ada yang bersalah dan tak ada yang merasa berdosa. Lumpur yang semula milik  penguasa menjadi tak bertuan di meja hijau. Palu sudah dihantamkan tiga kali.
Satu bulan semenjak upacara pengorbanan kerbau, tak ada tanda – tanda kerakusan lumpur akan berhenti melahap perkampungan. Semua mata mencari satu sosok yang sama. Sang dukun, seolah mereka meminta pertanggung jawaban atas kerakusan lumpur ini. Mereka menyeret sang dukun ke bibir tanggul penahan lumpur.
“Lempar dia.” Seorang memberi komando kepada beberapa pemuda yang telah membopong sang dukun.
Aku terkejut melihat ratusan warga yang penuh amarah. Di lain pihak, wajah sang dukun sangat memelas sambil meneteskan air mata. Tubuh ringkihnya meronta – ronta digenggaman beberapa tangan pemuda.
“Korbankan dia, lempar dia ke lautan lumpur,” warga terdiam mendengar teriakan sang sukun.
“Dia. Tuan sang lumpur panas.” Warga yang semula siap melempar, menurunkan sang dukun ke tanah.
Lima orang warga berlari telanjang kaki entah kemana. Mereka seperti mendapat petunjuk yang masuk akal dari sang dukun. Mereka terus berlari menjauh, hingga hilang dari pandangan mata.
Dua bulan semenjak kelima warga itu berlari, akhirnya mereka kembali menggotong sesuatu. Ternyata bukan sesuatu, tapi seseorang. Pakaiannya mewah meski tersamar debu. Mereka membawanya kepinggir tanggul. Mulut orang itu disumpal kain. Hanya erangan yang terdengar. Aku tahu siapa dia, sang tuan. Kelima orang itu berlari ke ibu kota menjemput sang tuan.
Aku berbalik arah tak peduli. Lembaran uang berterbangan dari saku sang tuan, menyeruak keudara, terhempas dikubangan lumpur, hansur tergerus panas lumpur. Suara warga bersorak – sorai seperti merayakan kemenangan. Sesungguhnya itu tidak berarti apa – apa atas penderitaan mereka akibat kerakusan lumpur panas.
“ Izinkan aku naik sebentar ke surga Mu, meminjam tongkat Musa. Ku belah lautan ini, mencari asa yang terkubur kubangan mati. “
****
Mimpi buruk telah berakhir. Mata terbuka, menyambut alam nyata−masih di tanah surga. Kali ini sedikit berbeda. Hembusan asap dari bokong kendaraan menjelma pelangi. Kerikil – kerikil yang berserakan menjelma berlian yang berkelip dibias cahaya. Hitamnya air sungai menjelma madu.  Sampah – sampah yang berserakah menjelma kelopak mawar, memerahkan sepanjang jalan. Monumen di pusat kota menjelma trambesi raksasa. Pucuknya tak lagi emas, berubah hijau. Bunga Raflesia mekar dipuncaknya.  
Emas, timah, batu bara, gas alam, minyak mentah−menyembur keluar dari perut bumi. Tanpa digali. Mata air menyemburkan beningnya ke udara.
Awan mendung bergeser gemulai, berkumpul menjadi satu. Mereka tidak lagi kelabu, merah muda kelirnya. Awan kembang gula. Gerimis mulai berjatuhan. Bukan air, lembaran – lembaran. Hujan mengguyur negeri tanah surga, tak satupun dari mereka yang berteduh, tak satupun dari mereka yang kuyup. Hujan di tanah surga bukan lagi air, mereka telah menjelma lembaran – lembaran uang kertas nominal seratus ribu.
Hujan uang berhamburan, warga berkerumun menadahi dan memunguti. Tak satupun dari mereka berpakaian dekil, lusuh, compang – camping. Semua rapih dengan jas dan dasi yang mengalungi leher masing – masing. Buntut mereka menjuntai saling bersenggolan, telinga besar mereka bergerak – gerak, hidung bulat di ujung moncong mereka terus mengendus – endus aroma wangi uang.   



Sabtu, 30 Juni 2012

Reuni


Suara itu mulai mengusikku. Entah mulai kapan aku merasa suara – suara itu mengganggu telinga ini. Suara yang seakan menagih semua hal yang belum aku lakukan, suara yang menyinggung tentang janji – janji yang kubuat, suara yang mengejarku saat kaki ini berjalan pelan, suara yang mengingatkan sisa umurku. Suara yang bernada datar dan konstan, tak pernah lebih cepat atau lambat. Detak jarum jam dinding ditengah malam yang memekakan.
Jarum yang selalu bergerak berputar, dengan dua belas sebagai titik tertingginya dan enam sebagai titik terendahnya. Seperti matahari, bedanya matahari tidak bergerak−bumi yang berotasi. Tetap saja kita melihatnya matahri yang bergeser, seperti fatamorgana atau hanya gerak semu? Aku sudah melupakan pelajaran IPA disekolah.
Suara itu masih mengikuti, diruang tengah tentu saja ada jam dinding dan ditoilet juga ada jam dinding. Gilakah aku? Atau aku yang sebenarnya ingin mengejar waktu, sampai – sampai aku menggantungkan benda berdetak itu ditoilet. Apa kepala ini sudah terpengaruh oleh orang – orang tamak yang menganggap waktu adalah uang? Aku masih waras, aku tidak menyembah dan mendewakan uang, seperti mereka yang sudah hidup berkecukupan tapi masih korupsi uang negara.
Aku masih terjaga. Bertopang dagu ini pada lutut kaki yang melipat, seperti tripot menyangga kamera. Menatap deretan angka satu sampai dua belas yang membentuk formasi melingkar.
Terus berputar berulang angka – angka di jam dinding itu. Pun dengan hari dan bulan. Hanya tahun, yang mengiringi umur manusia bergerak maju tanpa berputar balik atau berhenti sejenak menungguku yang kepayahan, tersandung, terengah – engah, jatuh – bangun kemudian jatuh lagi saat mengikutinya. Terlelap, melamun−waktu tetap berjalan menggerogoti angka – angka usiaku. Merajah tubuh dengan segala sketsa penuaan. Beberapa orang mencoba bermain tuhan dengan hal yang satu ini. Berbagai macam cara dilakukan untuk melawan proses penuaan fisik. Mereka bisa saja memakai topeng, tapi mereka tidak bisa menghentikan angka yang terus bertambah setiap tahun. Ironisnya mereka merayakannya, tapi menolaknya juga.
****
Aku bertatapan dengan sosok lelaki di kaca spion tengah mobil. Masih cukup tampan refleksi wajah yang sudah berkepala empat ini, rupanya hati ini sedang dalam mood yang bagus untuk bisa diajak berkompromi.  
Lima menit pertama semenjak aku duduk berpasangan dengan kursi kosong di coffee shop ini, jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri yang bilang begitu. Aku sudah tak heran, dia memang selalu begitu. Lebih suka ditunggu, dianggap lebih penting dari lawan janjiannya. Sesuatu yang bisa menjadi penawar keterlambatannya adalah tampilannya yang luar biasa, selalu begitu−penampilan nomor satu baginya.
“Memesan milk tea di coffee shop? Kamu pasti jadi orang paling aneh diruangan ini,” alih – alih meminta maaf atas keterlambatannya, dia malah meledek. Mencairkan balok es dirongga hati ini.
Seperti yang kuduga, penampilan masih nomor satu baginya. Angka yang tertulis di arsip kehidupannya yang dipegang tuhan mungkin empat puluh lima tahun, tapi fisiknya hanya separuhnya.
“Kamu terlihat lebih muda dari umurmu. Empat puluh lima kan?”
“Aku ingat lilin terakhir yang kutiup bulan maret kemarin, angka empat dan enam”
Sudah beberapa kali ini dugaanku benar mengenai dia. Memang perasaan ini masih ada. Sulit mengalahkan jika lawannya dia. Bahkan dengan bantuan istriku.
Aku masih ingat, dia pernah bilang ingin cepat dewasa tapi tidak ingin cepat tua. Aku hanya tertawa saat itu. Mungkin jika faktanya seperti yang dia harapkan, dewasa saat itu−aku mungkin tidak bertemu istriku. Kata “Kami” akan menggantikan “Aku dan Dia”.
“Bagaimana kabar keluargamu, istri dan putrimu?”
Aku sebenarnya tidak suka membahas hal itu saat bersamanya. Pertanyaan yang buruk untuk memulai reuni.
“Baik, kami semua hidup bahagia” aku membalasnya dengan nada datar sambil memainkan sedotan dalam gelas milk tea. Memang aneh memesan milk tea di coffee shop, tapi lambungku tidak mau berkompromi. Tidak ada tenggang rasa untuk kopi.
“Bagaimana dengan pengusaha beruntung yang kamu nikahi?”
“Tidak seberuntung itu, dia meninggal tiga tahun lalu” tidak ada sorot mata sedih yang terpancar di kedua bola matanya.
“Maaf” ucapku basa – basi.
Aku melihat ke jari manis tangan kirinya, cincin emas masih melingkar. Dia masih mengenang pengusaha yang sudah menjadi tulang belulang itu, atau dia hanya menyukai cincin yang sudah pasti berharga mahal itu.
“Ini dari suamiku yang sekarang,” dia menunjuk cincin di jari manis tangan kirinya. Dia ternyata memerhatikan sorot mataku yang mencecar ke jari manisnya.
“Dia sedang membusuk di penjara, sudah setahun. Membusuk meninggalkan uang kotornya yang disita negara. Korupsi.” Mimik wajahnya menyimpan rasa marah dan malu bersamaan.
“Maaf.” Lagi – lagi basa – basi dari mulutku.
****
Detik berputar beguitupun menit, jam, hari, bulan. Hanya tahun yang bergerak maju, menambah umur manusia. Kami akan bertemu lagi setelah lima tahun yang lalu. Aku masih menjadi pihak yang menunggu, dia yang ditunggu. Tak ada yang berubah mengenai hal itu, tapi itu tak mengherankan. Kali ini dia terlihat lebih gila. Alaminya, dia sudah memasuki kepala lima tahun ini. Tapi dia terlihat sepuluh atau bahkan dua puluh tahun lebih muda. Kemana saja dia? Dia seperti membiarkan waktu berjalan sendiri, sedangkan dia hanya terduduk melihat dari belakang. Tidak mengikuti tahun berjalan yang merajah tubuh manusia dengan garis – garis penuaan.
“Aku sudah berhenti di tiga puluh dan tidak akan bertambah tua.” Penjelasan yang irasional, seperti menentang hukum alam. Tentu saja dia tidak sungguh – sungguh.
Aku tidak membantahnya secara terbuka, hanya sorot mataku yang berbicara. Mau berdebat seperti apapun, dia mempunyai bukti. Bukti yang menegaskan usianya berhenti di tiga puluh. Bukti itu dikuatkan dengan hidung belang yang duduk di sebelah meja kami. Dia beberapa kali mencuri – curi pandang ke mata Sarah.
Aku menerka – nerka apa yang dilakukannya dengan tubuhnya, dari mana dia mendapat topeng itu. Berapa banyak uang yang dikeluarkannya untuk membeli tubuhnya. Tak mungkin aku bertanya begitu saja.  Sarah sama seperti perempuan lainnya yang ingin tampil cantik, untuk membuat iri sesama wanita dan yang terpenting untuk menarik perhatian pria. Memang semua suka wanita cantik, terutama pria. Justru sesama wanita yang tidak ingin saingannya terlihat lebih cantik.
Mereka menjadi objek nafsu mata pria, objek intimidasi produk kecantikan, objek kekerasan visual oleh cermin. Semua pria suka wanita cantik, memang apa yang sedang ku lakuakan? Meninggalkan istri dan anak untuk menemuinya. Secara tidak langsung aku sudah mengakui, kecantikan istriku sudah digerogoti usia. Itu yang menjelaskan kenapa aku masih duduk disini menikmati kecantikan sarah. Dia benar, tapi tidak semuanya−hanya beberapa bagian.
****
Jendela kamar hotel kami buka lebar – lebar, menyingkirkan gorden yang menghalangi. Malam terlihat tenang dengan bintang jarang – jarang. Berlawanan dengan diriku. Degup jantung, deras aliran darah, rembesan keringat keluar dari pori – pori. Melekatkan tubuh kami. Menyatu, menghiraukan pengapnya udara kamar yang disesaki birahi.
Silau matahari menembus kelopak mataku, merangsang untuk segera terbuka. Mata masih berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Pandangan kusebar kesekeliling kamar. Sosok wanita paruh baya lengkap dengan segala kerut diwajah, uban rambut dan tubuh yang sudah mengendur−keluar dari pintu toilet. Siapa dia? Tapi wajahnya terlihat tidak asing. Pakain kuraih dan memakainya dengan tergesa. Aku menghambur keluar kamar meninggalkan sosok wanita paruh baya yang masih terheran – heran dengan tingkahku. Suaranya memanggil namaku beberapa kali, dia mengenalku dan aku juga mengenal suara itu. Aku menghiraukannya.

Kamis, 31 Mei 2012

Bisikan


Hidupi aku selayaknya kewajibanmu
Perlihatkan tentang kegelapan
Jejali kedalam otak ini sejak dini
Hingga terbiasa
Menganggap biasa
Acuhku, apatisku baik untukmu
Siapkan aku untuk lembah kegelapan
Lembah gelap yang bisa kau tambang rupiah kelak.
Bunyi tulisan dari secarik kertas penuh garis – garis kerutan seperti kulit wajah yang sudah keriput menua. Dia meninggalkan begitu saja di lantai bus kota, seperti tak berharga. Padahal setiap imajinasi yang keluar dari kepala manusia berharga.
Gadis muda−belasan umurnya, mungkin tiga atau lima belas. Dia membacakan potongan puisi sepenuh hati. Mimik muka dan sorot mata seperti telah diatur sedemikian rupa, selaras dengan tulisan dalam sobekan kertas lusuh di tangannya. Ditengah panggung kabin bus kota dengan penumpang yang terpaksa menjadi penonton si gadis penyair itu.
Beberapa panumpang memerhatikannya, sisanya sibuk dengan kegiatan masing – masing. Aku termasuk yang memerhatikannya. Sesekali sairnya terpotong jeda batuk, ketika asap lalu lintas kota menyusup masuk ke panggungnya. Tangannya mencengkeram pundak bangku penumpang saat supir menginjak pedal rem, untuk menyambut calon penumpang yang melambaikan tangan di tepi jalan. Tubuh kecilnya goyah tersenggol penumpang yang baru masuk dari pintu depan, yang berjarak beberapa langkah dari tempat gadis penyair itu pentas.
Gadis penyair itu menyodorkan topi yang tadinya bertengger dikepala, mendekat kearah penumpang yang secara terpaksa menjadi penontonnya. Sebagian besar membalasnya dengan lambaian tangan kosong, memalingkan wajah dan hanya beberapa yang mengisi topinya dengan koin receh dan pecahan seribu rupiah. Aku meraih koin receh dari kantong seragam kondekturku, memindahkan ke topi gadis penyair itu. Dia melangkah turun dari panggungnya.
Salahkan dia atau penciptanya sekalian
Tinggalkan dalam kegelapan ditengah dingin malam
Meninggalkan mu, bergelut dengan raungan nafsu alamiah
Lelaki tanpa daya bagi ribuan pasang mata wanita
Tak mampu pula meraih yang murahan yang dijajakan tiap malam
Hanya aku yang mampu diraihnya.
Gadis penyair itu muncul lagi dipanggungnya, bus kota yang menjadi alatku menghasilkan rupiah. Secarik kertas lusuh selalu ditinggalkannya, untuk kedua kalinya aku memungutnya. Masih berisi kemuraman seperti sobekan kertas sebelumnya. Kemuraman yang cocok ditulis diatas kertas lusuh penuh garis – garis bekas lipatan. Kemuraman yang sepertinya sambungan dari sobekan kertas sebelumnya.
Suara sumbang dipaksakan mengikuti irama, diiringi jeritan senar gitar berkarat yang sudah pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Pengamen dengan perawakan dekil menawarkan hiburan bagi penumpang bus, mereka menganggap lebih seperti gangguan−polusi suara.
“Permisi, selamat sore. Mohon perhatiannya,” suara perempuan menyeruak diantara suara sumbang pengamen pria, menyerobot begitu saja. Seperti menegaskan, “ini panggungku!”
Ekspresi muka kecut terlempar dari wajah pengamen kearah gadis penyair itu. Pengamen menyudahi aksi panggungnya, bergegas untuk menarik receh dari penumpang bus. Dia tidak mau jatahnya diambil oleh gadis penyair. Gadis penyair menghiraukannya−mengambil nafas dalam bersiap menghamburkan suara. Seperti biasa, syair muram.
“Biasakan ini
Hujami, tancapkan belati nafsu itu ditubuhku
Lukai, hancurkan hati ini hingga terbiasa
Apatisku, acuhku bagus untukmu
Biasakan tubuh ini
Biasakan beramah tamah dengan tubuh lainnya
Seperti denganmu
Darah yang sama, asalku.”
Nafasnya agak terengah – engah setelah orasi singkatnya. Sebagian besar penumpang tercuri perhatiannya, dia membacakan syairnya dengan baik atau isi syairnya? Keduanya menurutku.
Gadis penyair itu bergegas menuju kepintu belakang bus, melewati penumpang begitu saja. Tanpa menyodorkan topi kosongnya. Dia turun dari panggungnya begitu saja, tanpa tepuk tangan penonton, tanpa apresiasi penonton dan tanpa sepeserpun rupiah.
Sobekan kertas lusuh bekas remasan tangan ditinggalkan begitu saja dilantai bus. Aku meraihnya seperti sebelumnya, menjajarkan dengan sobekan syair sebelumnya. Ini potongan yang ketiga.
 Gadis penyair itu muncul lagi, apa ini akan jadi sobekan yang keempat? Atau dia akan membuka judul baru.
“Aku kebal,
Hati ini? Dendam membara
Malam ini, malam kemarin aku tak berdaya
Tubuh ini terlalu kecil, ringkih
Aku tak mau mengikuti permainanmu kelak
Mengais rupiah dari menampung nafsu
Apa aku akan teriak minta tolong?
Aku akan berbisik saja pada mereka yang peka, yang mau mendengar, yang berhati.”
Gadis penyair itu menghempaskan sobekan kertas yang digenggamnya kelantai, dia mengeluarkan kertas lainnya dari saku celananya. Di akan membacakan bagian selanjutnya sekaligus.
Bus kota semakin dipadati penumpang yang baru naik.  Mata ini sudah tak mampu menjangkau penampakan gadis penyair itu, dia terhalang penumpang yang berjejal memenuhi bus. Suaranya tetap menggema menyaingi deru mesin bus dan lalulintas kota.
“Jika tembok yang membatasi hati ini runtuh
Kupastikan runtuhannya akan menimpamu
Menguburmu
Tangan kecil ini yang akan melakukannya
Membawamu menghadap Nya
Aku sudah menyiapkan pembelaan jika Dia mencap durhaka
Kau sendiri yang jadi alibiku
Aku tak takut dengan hukum dunia yang tak pernah adil.
Jika aku sudah membisikan hal ini
Maka akan terjadi
Jangan salahkan aku, jangan salahkan mereka yang tak mendengar
Karena aku hanya berbisik”.
Suara gadis penyair itu tak terdengar lagi, aku melihatnya turun dari bus. Dia turun dari panggungnya begitu saja, mengejutkan pengendara lain yang secara spontan membunyikan klakson. Semua mata melihat kearahnya, dia tak peduli−terus melangkah kemudian menghilang ditengah padatnya lalulintas kota meningalkan pesan dibalik syair-nya yang kelam.
****
Bus tidak terlalu ramai siang ini, penumpang hanya memenuhi kursi−tak ada yang berdiri. Sudah dua hari gadis penyair itu tidak tampil di panggung ini.
Aku mencuri baca sebuah artikel di koran yang dipegang penumpang, berita tentang “Pembunuhan seorang bapak oleh putrinya sendiri yang masih berusia lima belas tahun.” Aku jadi tahu dimana keberadaan gadis penyair itu sekarang, aku tahu arti bisikannya dalam syair yang beberapa hari belakangan dibacakannya. Dia sudah menutup tirai panggungnya.