Bumi
pertiwi. Begitulah rakyat negeri ini menyebut tanah tumpah darah mereka.
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Tanaman yang menghijaukan, menghembuskan
oksigen disiang hari, menepis semua terik matahari yang kaya ultraviolet yang
membakar kulit. Bisa dibayangkan keajaiban itu. Tidak berhenti sampai disitu,
tempat ini mempunyai kolam susu. Dengan hanya bermodal kail dan jala kau bisa
hidup disini. Di tanah ini.
Surga
duniawi. Mereka sedang menghayalkan surga duniawi. Aku duduk menatap
pemandangan. Sejuk terasa disini. Kesejukan buatan, mereka datang dari sebuah
mesin yang menempel di dinding. Mulut mesin itu menyemburkan kesejukan. Buatan
manusia, karena tuhan tidak melimpahkan kesejukan diruang kotak bercat putih
ini. Diluar sana? Lebih parah kurasa. Tapi bila kupecahkan kaca keparat ini,
minimal ada hembusan angin alami dari ketinggian lantai lima ini. Tapi
kuurungkan niat itu. Aku malas membaca detail surat pemecatan yang tanpa kubaca
sudah kuketahui intinya.
Pemandangan
metropolitan yang kaku. Begitu banyak kesombongan yang di elu – elukan gedung –
gedung pencakar langit di luar sana, termasuk pijakan ku saat ini. Paling tidak
pemandangan ini lebih bisa sedikit kunikmati dari pada pemandangan di meja
kerja. Monitor komputer yang menyilaukan mata, kertas – kertas dengan bayangan
stempel deadline, berkas – berkas menumpuk, kalender dengan coretan tulisan
memo di bawah setiap angka tanggalan. Apa yang bagus dari pemandangan itu?
Ada
apa dengan kota ini? Banyak hal salah terjadi disini. Mungkin karena banyak
manusia yang salah tinggal disini. Siapa yang berpikir disini ada orang gila
yang menyebar – nyebar uang di tengah jalan, siapa yang mengajarkan pola pikir
seperti itu? Yang membuat mereka berduyun – duyun seperti arus air cokelat
pekat yang berdatangan dari pintu air setiap musim hujan.
Mungkin
alam ditimur negeri ini lebih bersahabat, dengan segala pemandangan hijau yang
ramah. Mungkin alam masih ramah disana. Hanya aparat bersenjata yang belum
memanusiakan manusia. Mereka lebih suka mengobral timah panas sebagai ajang
gagah – gagahan. Mungkin masih di pulau ini, hanya agak ketimur. Tapi ada
lautan kesengsaraan disana. Lautan lumpur, uap – uap panas meletup – letup
memecah gelembung. Tanah surga yang habis dirajah lumpur panas yang terus
menyembur. Diiringi derasnya semburan anggaran dengan pemanis atas nama
bantuan. Dari bencana alam yang dibuat – buat oleh kebodohan manusia ini kita
bisa menilai, berapa banyak orang pintar di negeri ini. Orang pintar dalam arti
harfiah, bukan orang yang pintar komat – kamit membaca mantra. Mengapa mereka
tidak bisa menghentikan semburan kesengsaraan itu? alih – alih menghentikan,
malah memanfatkan celah untuk membuka keran anggaran dengan dalih membangun
tanggul dan berbagai macam kiasan bantuan.
****
Semilir
angin beraroma segar daun hijau. Cendrawasih yang anggun mengepakkan sayap di
bumi nan kaya. Gugusan kepulauan yang dahulu terdapat empat kerajaan. Kini
kerajaan disini pun tetap ada. Kerajaan bawah laut dengan istana terumbu
karang. Pari manta berenang gemulai penuh keanggunan.
Aku
melompat dari karang tepian laut. Memecah bulir – bulir air, menghempaskan
keudara. Menari bagaikan melayang – layang dalam air. Seekor pari manta tiba –
tiba sudah ada dihadapankudengan tatapan tajam
sambil menyodorkan ekornya seraya menodongkan pedang yang siap menghunus ke jantung.
“Pergi
kau mahkluk perusak, enyahlah dari keperawanan perairan ini.” Dia berkata
sambil membidikan pedangnya.
Tanpa
pikir panjang aku melesat kepermukaan, dia membuntuti. Tangan menerobos air
meraih karang – karang berlubang yang mulai hijau oleh lumut.
Bola
mata mendelik hampir lepas dari kelopak. Kolam minyak dan bukit emas didepan
mata. Tapi ada yang mengganjal di pemandangan indah yang menyilaukan mata ini.
Ras kulit putih berenang – renang di kolam minyak dan mendaki sambil
menggerogoti, menjilati bukit emas. Mereka di kelilingi anjing – anjing lokal
penjaga, berseragam dan berkalung senjata yang penuh peluru. Disisi lain
penduduk asli asik dengan kudapan sagu dan umbi – umbian.
Timah
panas melesat dari corongnya, penduduk asli berhamburan ke dalam hutan. Sesosok
mayat penduduk asli terkapar beberapa meter dari kolam minyak. Budak – budak
ras kulit putih menyeka darah yang mulai mengalir ke kolam minyak. Ras kulit
putih tertawa melihat penduduk asli lari pontang – panting. Mereka bagai
menonton pertunjukan sirkus.
Beberapa
budak menciduk minyak dari kolam, memecah bukit emas kemudian mengangkuti ke
kapal hitam dengan kepulan asap dicerobongnya. Ditiang tertinggi melambai –
lambai bendera bintang bergaris merah – putih. Negeri kedua sang pemimpin
negeri.
Teriakan
– teriakan penduduk lokal beradu dengan
gong – gongan anjing – anjing budak ras kulit putih. Desingan senjata semakin
sering terdengar. Aku seperti berdiri ditengah medan perang atau lebih tepatnya
di tengah jaman penjajahan. Tubuhku goyah tertabrak beberapa penduduk lokal
yang lari pontang – panting di arena sirkus negara adidaya. Desingan senjata
terdengar lagi, aku bisa merasakan timah panas bersarang di punggung. Apa aku
akan mati ditanah surga? Kukira surga penuh dengan kekekalan
****
Aku
ingat kemarin anak – anak itu masih bermain – main di lapangan sekolah. Kini
yang ada dipantulan sepasang bola mata mereka hanyalah hamparan lautan coklat
pekat berbuih dan mengeluarkan uap panas. Lautan lumpur panas.
Kota
di sebelah timur ini lambat laun menjadi kota mati. Mati terkubur pekat.
Mengubur semua milik mereka dan mengubur semua yang akan mereka miliki.
Malam
hari yang terlihat lebih gelap. Semua pantulan cahaya bulan diserap habis
lumpur pekat pencabut asa. Seorang gadis kecil menangis memanggil ibunya. Dia
bediri dipinggir lautan pekat lumpur. Kemudian dia membungkuk, seperti mencari
sesuatu didalam lumpur pekat. Dia mulai memanggil – manggil ibunya kembali. Aku
melihat butiran – butiran jernih jatuh dari sudut matanya. Butiran yang sedikit
memecah pekatnya kubangan lumpur sang pengusaha.
Gadis
kecil itu duduk dipinggir kubangan lumpur, kepalanya disembunyikan diantara
kedua dengkulnya. Dia berdiri kembali, kemudian tersenyum kearah kubangan
lumpur−seperti melihat ibunya. Dia menjatuhkan dirinya kekubangan lumpur. Aku
berlari mendekati kubangan lumpur. Tak kudapati gadis kecil itu, bahkan tak ada
bekas riakan lumpur yang telah menelan tubuh seorang gadis. Permukaan kubangan
lumpur tetap tenang, seperti tak punya dosa. Seperti tak bersalah telah menelan
perkampungan ini bersama semua harapan penduduknya.
Sebulan
berlalu semenjak desa ini diambil alih lumpur panas. Beberapa warga frustrasi.
Mereka mendapat wejangan dari seorang dukun. Mereka akan mengadakan upacara
larung sesaji di kubangan lumpur, dengan harapan semburan lumpur berhenti dan
entah dengan cara apapun lumpur itu bisa lenyap. Mereka pesimis dengan metode
pemerintah yang telah menyedot anggaran besar. Mereka seperti berpikir
pemerintah hanya ingin terus mengalirkan anggaran seiring dengan semburan
lumpur. Selama lumpur menyembur, anggaran tetap mengalir. Semburan lumpur
bermuara dipenderitaan warga, aliran anggaran bermuara di kas mereka.
Kepala
kerbau diatas tampah ditangan seorang perempuan perawan. Itu perintah sang
dukun. Dua perawan lainnya menyebar kembang tujuh rupa dari pinggir tanggul
lumpur. Kepala kerbau dilarung dari tepian kubangan lumpur. Semua mulai
berharap kepala kerbau mampu meredam amukan gas alam yang menyembur lumpur.
Tapi tak terpikirkan oleh mereka tentang kebodohan manusia dan keserakahan
manusia yang memperkosa alam, sebagai penyebab bencana ditanah leluhur mereka.
Sebulan
semenjak upacara larung kepala kerbau, tak ada perubahan. Lautan lumpur semakin
meluas. Seluruh pasang mata menatap tajam ke arah sang dukun.
“Lemparkan
seekor kerbau kelautan lumpur. Niscaya dewa akan meredakan amarahnya.” Ucap
sang dukun menghindari dirinya dari kekesalan warga.
Upacara
pengorbanan seekor kerbau dilangsungkan. Meski sebagian warga pesimis. Mereka
kehilangan arah, mereka hanya ingin tanah kelahiran mereka kembali seperti
semula. Mereka sudah kehilangan kesabaran. Entah telah berapa kali mereka
meludahi tanggul – tanggul penahan lumpur buatan Badan akal – akalan pengeruk
anggaran. Berapapun nominal pengganti yang dijanjikan sebagai pengganti tanah
mereka, tidak akan cukup mengganti kehidupan mereka.
Burung
bangkai mulai terbang mengitar di atas kerbau yang menggeliat kelojotan di
kubangan lumpur panas.
Tulang
belulang kerbau telah melebur dan mengendap didasar lumpur, keserakahan lumpur
semakin menjadi – jadi melahap tanah warga. Merubah menjadi satu warna pekat.
Tak ada yang bersalah dan tak ada yang merasa berdosa. Lumpur yang semula
milik penguasa menjadi tak bertuan di
meja hijau. Palu sudah dihantamkan tiga kali.
Satu
bulan semenjak upacara pengorbanan kerbau, tak ada tanda – tanda kerakusan
lumpur akan berhenti melahap perkampungan. Semua mata mencari satu sosok yang
sama. Sang dukun, seolah mereka meminta pertanggung jawaban atas kerakusan
lumpur ini. Mereka menyeret sang dukun ke bibir tanggul penahan lumpur.
“Lempar
dia.” Seorang memberi komando kepada beberapa pemuda yang telah membopong sang
dukun.
Aku
terkejut melihat ratusan warga yang penuh amarah. Di lain pihak, wajah sang
dukun sangat memelas sambil meneteskan air mata. Tubuh ringkihnya meronta –
ronta digenggaman beberapa tangan pemuda.
“Korbankan
dia, lempar dia ke lautan lumpur,” warga terdiam mendengar teriakan sang sukun.
“Dia.
Tuan sang lumpur panas.” Warga yang semula siap melempar, menurunkan sang dukun
ke tanah.
Lima
orang warga berlari telanjang kaki entah kemana. Mereka seperti mendapat
petunjuk yang masuk akal dari sang dukun. Mereka terus berlari menjauh, hingga
hilang dari pandangan mata.
Dua
bulan semenjak kelima warga itu berlari, akhirnya mereka kembali menggotong
sesuatu. Ternyata bukan sesuatu, tapi seseorang. Pakaiannya mewah meski
tersamar debu. Mereka membawanya kepinggir tanggul. Mulut orang itu disumpal
kain. Hanya erangan yang terdengar. Aku tahu siapa dia, sang tuan. Kelima orang
itu berlari ke ibu kota menjemput sang tuan.
Aku
berbalik arah tak peduli. Lembaran uang berterbangan dari saku sang tuan,
menyeruak keudara, terhempas dikubangan lumpur, hansur tergerus panas lumpur. Suara
warga bersorak – sorai seperti merayakan kemenangan. Sesungguhnya itu tidak
berarti apa – apa atas penderitaan mereka akibat kerakusan lumpur panas.
“
Izinkan aku naik sebentar ke surga Mu, meminjam tongkat Musa. Ku belah lautan
ini, mencari asa yang terkubur kubangan mati. “
****
Mimpi
buruk telah berakhir. Mata terbuka, menyambut alam nyata−masih di tanah surga.
Kali ini sedikit berbeda. Hembusan asap dari bokong kendaraan menjelma pelangi.
Kerikil – kerikil yang berserakan menjelma berlian yang berkelip dibias cahaya.
Hitamnya air sungai menjelma madu. Sampah
– sampah yang berserakah menjelma kelopak mawar, memerahkan sepanjang jalan.
Monumen di pusat kota menjelma trambesi raksasa. Pucuknya tak lagi emas, berubah
hijau. Bunga Raflesia mekar dipuncaknya.
Emas,
timah, batu bara, gas alam, minyak mentah−menyembur keluar dari perut bumi.
Tanpa digali. Mata air menyemburkan beningnya ke udara.
Awan
mendung bergeser gemulai, berkumpul menjadi satu. Mereka tidak lagi kelabu,
merah muda kelirnya. Awan kembang gula. Gerimis mulai berjatuhan. Bukan air,
lembaran – lembaran. Hujan mengguyur negeri tanah surga, tak satupun dari
mereka yang berteduh, tak satupun dari mereka yang kuyup. Hujan di tanah surga
bukan lagi air, mereka telah menjelma lembaran – lembaran uang kertas nominal
seratus ribu.
Hujan
uang berhamburan, warga berkerumun menadahi dan memunguti. Tak satupun dari
mereka berpakaian dekil, lusuh, compang – camping. Semua rapih dengan jas dan
dasi yang mengalungi leher masing – masing. Buntut mereka menjuntai saling
bersenggolan, telinga besar mereka bergerak – gerak, hidung bulat di ujung
moncong mereka terus mengendus – endus aroma wangi uang.