Aku
merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian.
Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang
dirikuapa yang kurasakan.
Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully
memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak
pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih
sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan
dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka –
angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang
akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan
urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini
dia yang menafkahi ku.
Sully
punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar
kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak
membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku
dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku
tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau
sayang aku?”
“Tentu
saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau
cinta aku?”
“Tentu
saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi
aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur
saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa.
Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh
atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi.
Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh
biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau
menikah dalam waktu dekat?
Bahkan
pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah
direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak
mungkin. Kecuali....
“Kamu
enggak mau?”
“Kamu
enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini
terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi
apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi
kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?”
Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi
lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini
yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully
tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa
berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku
mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar
sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih
penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan
calon anak kami.
Sudah
dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau
terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir
seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap
dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya,
dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua
tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai
pengangguran.
Ibuku
terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia
mungkin masih agak shock dengan
pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh
bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang
buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal
semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku
melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar,
merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin
dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju
seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku
merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka
dan inputan data – data di layar
komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu
kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami
bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama
dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan
terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun
bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak
merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan
keluarga.
Lengkingan
suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah
melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan,
sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan
Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa
merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin
bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku
dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih
melihat Sully tersenyum dalam background
ruang yang hitam.
****
Aku
terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak
peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan
senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat
jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku
melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama
seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku
kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk
tubuhnya.
“Badanmu
dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana
anak kita?”
“Masih
sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih
pelan.
Hari
– hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak
berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana
hangat kembali.
Tapi
ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga
kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat
itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama
ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu
begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan
keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka,
ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku
mengatakan pada mereka,
“Sully
agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap
kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka
terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka
saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini
makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon
anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia
meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai
larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat
Sully membangunkanku.
****
Pagi
yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami
keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin,
dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa
bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk
melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa
beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa
orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu
yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku
pedulikan quality time bersama Sully.
Aku
semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon
bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh.
Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau
saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup,
kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully
dimalam berikutnya.
“Dia
tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku
bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan
malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia
sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia
menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani
terdengar sangat emosional.
“Dokter
bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.”
Ibuku menenangkan Rani.
“Aku
muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok,
bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan
guling?”
“Mungkin
Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup
Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak
Rani.
“Adam
yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia
sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku
bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat
dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk,
menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu
mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah
gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia
berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad
orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini
jelas bAku Tidak Sakit
Aku
merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian.
Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang
dirikuapa yang kurasakan.
Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully
memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak
pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih
sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan
dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka –
angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang
akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan
urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini
dia yang menafkahi ku.
Sully
punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar
kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak
membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku
dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku
tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau
sayang aku?”
“Tentu
saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau
cinta aku?”
“Tentu
saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi
aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur
saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa.
Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh
atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi.
Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh
biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau
menikah dalam waktu dekat?
Bahkan
pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah
direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak
mungkin. Kecuali....
“Kamu
enggak mau?”
“Kamu
enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini
terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi
apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi
kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?”
Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi
lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini
yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully
tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa
berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku
mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar
sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih
penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan
calon anak kami.
Sudah
dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau
terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir
seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap
dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya,
dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua
tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai
pengangguran.
Ibuku
terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia
mungkin masih agak shock dengan
pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh
bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang
buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal
semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku
melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar,
merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin
dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju
seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku
merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka
dan inputan data – data di layar
komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu
kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami
bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama
dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan
terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun
bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak
merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan
keluarga.
Lengkingan
suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah
melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan,
sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan
Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa
merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin
bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku
dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih
melihat Sully tersenyum dalam background
ruang yang hitam.
****
Aku
terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak
peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan
senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat
jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku
melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama
seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku
kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk
tubuhnya.
“Badanmu
dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana
anak kita?”
“Masih
sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih
pelan.
Hari
– hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak
berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana
hangat kembali.
Tapi
ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga
kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat
itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama
ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu
begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan
keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka,
ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku
mengatakan pada mereka,
“Sully
agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap
kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka
terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka
saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini
makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon
anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia
meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai
larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat
Sully membangunkanku.
****
Pagi
yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami
keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin,
dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa
bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk
melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa
beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa
orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu
yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku
pedulikan quality time bersama Sully.
Aku
semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon
bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh.
Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau
saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup,
kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully
dimalam berikutnya.
“Dia
tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku
bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan
malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia
sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia
menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani
terdengar sangat emosional.
“Dokter
bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.”
Ibuku menenangkan Rani.
“Aku
muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok,
bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan
guling?”
“Mungkin
Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup
Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak
Rani.
“Adam
yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia
sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku
bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat
dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk,
menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu
mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah
gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia
berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad
orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini
jelas bukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam
ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku
melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya?
Tidak mungkin.
“Ini
makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku
tak menjawab ucapannya.
“Sabar
dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi
semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak
mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi
pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua
gelap.
****
Ibuku
mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad
berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya,
Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku
menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka
bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka
bilang aku sakit.”
“Kamu
enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami
tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang
dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan
senang.
ukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam
ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku
melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya?
Tidak mungkin.
“Ini
makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku
tak menjawab ucapannya.
“Sabar
dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi
semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak
mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi
pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua
gelap.
****
Ibuku
mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad
berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya,
Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku
menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka
bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka
bilang aku sakit.”
“Kamu
enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami
tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang
dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan
senang.