Powered By Blogger

Kamis, 26 April 2012

Aku Tidak Sakit



Aku merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian. Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang dirikuapa yang kurasakan. Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka – angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini dia yang menafkahi ku.
Sully punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau sayang aku?”
“Tentu saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau cinta aku?”
“Tentu saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa. Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi. Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau menikah dalam waktu dekat?
Bahkan pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak mungkin. Kecuali....
“Kamu enggak mau?”
“Kamu enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?” Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan calon anak kami.
Sudah dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya, dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai pengangguran.
Ibuku terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia mungkin masih agak shock dengan pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar, merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka dan inputan data – data di layar komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan keluarga.
Lengkingan suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan, sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih melihat Sully tersenyum dalam background ruang yang hitam.
****
Aku terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk tubuhnya.
“Badanmu dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana anak kita?”
“Masih sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih pelan.
Hari – hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana hangat kembali.
Tapi ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka, ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku mengatakan pada mereka,
“Sully agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat Sully membangunkanku.
****
Pagi yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin, dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku pedulikan quality time bersama Sully.
Aku semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh. Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup, kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully dimalam berikutnya.
“Dia tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani terdengar sangat emosional.
“Dokter bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.” Ibuku menenangkan Rani.
“Aku muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok, bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan guling?”
“Mungkin Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak Rani.
“Adam yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk, menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini jelas bAku Tidak Sakit
Aku merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian. Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang dirikuapa yang kurasakan. Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka – angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini dia yang menafkahi ku.
Sully punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau sayang aku?”
“Tentu saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau cinta aku?”
“Tentu saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa. Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi. Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau menikah dalam waktu dekat?
Bahkan pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak mungkin. Kecuali....
“Kamu enggak mau?”
“Kamu enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?” Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan calon anak kami.
Sudah dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya, dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai pengangguran.
Ibuku terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia mungkin masih agak shock dengan pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar, merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka dan inputan data – data di layar komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan keluarga.
Lengkingan suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan, sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih melihat Sully tersenyum dalam background ruang yang hitam.
****
Aku terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk tubuhnya.
“Badanmu dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana anak kita?”
“Masih sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih pelan.
Hari – hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana hangat kembali.
Tapi ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka, ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku mengatakan pada mereka,
“Sully agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat Sully membangunkanku.
****
Pagi yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin, dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku pedulikan quality time bersama Sully.
Aku semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh. Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup, kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully dimalam berikutnya.
“Dia tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani terdengar sangat emosional.
“Dokter bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.” Ibuku menenangkan Rani.
“Aku muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok, bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan guling?”
“Mungkin Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak Rani.
“Adam yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk, menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini jelas bukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya? Tidak mungkin.
“Ini makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku tak menjawab ucapannya.
“Sabar dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua gelap.
****
Ibuku mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya, Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka bilang aku sakit.”
“Kamu enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan senang.
 ukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya? Tidak mungkin.
“Ini makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku tak menjawab ucapannya.
“Sabar dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua gelap.
****
Ibuku mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya, Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka bilang aku sakit.”
“Kamu enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan senang.

Panglima vs Pimpinan

“Turun – turun!” Teriakan membahana didepan gedung dewan. Memanaskan suasana yang sudah panas oleh terik matahari. Tapi wajah di poster yang diusung – usung masa tetap saja tersenyum. Aksi teatrikal pun tak mengubah ekspresi potret wajah pimpinan, tetap tersenyum anggun penuh wibawa.
“Kami tak bodoh. Ini rezim korup tersukses.” Tomo berorasi penuh emosi.
Bukan amarah. Jiwanya bersatu dalam gestur dan kalimat yang keluar dari corong pengeras suara. Sepenuh hati.
Suasana masih kondusif, ribuan pasang mata aparat mengintip dari balik tameng besi. Agak lucu memang, mengingat lawan yang mereka hadapi tidak bersenjata. Jumlah mereka sepadan untuk menyaingi jumlah masa yang berkelir warna – warni. Aparat hanya memakai satu warna. Itupun warna yang kelam dan terkesan murung.
Mereka seperti berada di medan perang, terpisah oleh pagar. Ya, pagar tinggi nan kokoh layaknya benteng yang berdiri beberapa ratus meter dari gedung dewan. Kenapa harus ada pagar yang berdiri begitu sombong di tempat yang berjuluk rumah rakyat? Itulah, harus ada jarak, mereka berbeda. Mereka bagian pemikir segala kebijakan, peraturan dan sistem. Kemudian rakyatnya yang menjalaninya, yang mempraktekannya. Itulah mengapa mereka mudah saja membuat keputusan, peraturan dan segala macam kebijakan. Mereka tidak terbeban dengan semua yang mereka buat. Karena yang menjalaninya rakyat.
****
“Bagaimana dengan gerakan serangga – serangga itu, sudah sejauh mana?” Pimpinan bertanya kepada ajudannya.
Pimpinan beserta ajudan, penasihat dan eksekutor lapangan membentuk kelompok kecil mereka sendiri. Kelompok yang lebih eksekutif dari pada kabinet negeri bentukannya. Pimpinan menamai kelompok eksekutif itu dengan sebutan fantastic four, merujuk adanya empat orang yang menjadi kelompok itu, salah satunya pimpinan itu sendiri. Bukan hanya berdasarkan anggotanya empat orang pimpinan menamai fantastic four. Tapi juga karena mereka mempunyai semacam kekuatan fantastis dalam pemerintahannya, meski dengan cara apapun. Termasuk yang tidak halal dan termasuk konspirasi – konspirasi kontroversial yang membodohi rakyat dan hanya untuk kepentingan golongannya.
“Masih seperti kemarin pimpinan.” Ajudan menjawab pertanyaan sang pimpinan.
“Jadi sebaiknya apa yang saya lakukan?” Pimpinan bertanya kepada penasihatnya.
“Kita sebaiknya menunggu pergerakan mereka,” penasihat memberi pandangannya ke  sang pimpinan.
“Semakin mereka para serangga – serangga pengganggu terprovokasi, semakin bagus.” Lanjut penasihat.
“Ya, itu bisa mengurangi simpati rakyat. Apalagi sampai bentrokan pecah.” Ajudan menambahkan.
“Kenapa tidak buat demikian?” Pimpinan mencetuskan idenya.
“Ya, kita buat para serangga terprovokasi.” Pimpinan menjelaskan idenya kepada anggota perkumpulan eksekutif fantastic four lainnya.
Anggota fantastic four pun mengangguk tanda setuju. Rapat rahasia fantastic four hari ini pun ditutup.
****
Dibawah langit sore yang meredup, matahari sudah separuh bersembunyi. Seorang pemuda berdiri diatas podium. Podium khayalannya yang tak lain hanya sebuah mobil box sitaan yang dicegatnya saat demonstrasi mulai pecah dan memanas tengah hari tadi.
Pemuda itu tidak berbalutkan seragam almamater berwarna seperti yang lainnya. Dia hanya mengenakan kemeja batik dan celana denim lusuh. Dia buka golongan pelajar tingkat tinggi yang biasa disebut mahasiswa, seperti rekan – rekannya yang ada dibawah komandonya.
Hartomo Jagat Pelita, itulah nama pemuda itu. Tapi kebanyakan rekan- rekannya memanggilnya Tomo. Itu karena mereka menganggap semangatnya membara dan meledak – ledak teritama saat berorasi dan menggerakan masa. Konon mengingatkan mereka akan sosok bung Tomo sang pahlawan bangsa dari Surabaya.
Tomo memang pemuda seperempat abad biasa, bukan mahasiswa dan tak pernah mengklaim dirinya aktivis. Dia hanya menolak apatis, skeptis terhadap keadaan negeri ini. Tanah tumpah darahnya. Ya, negeri yang dicintainya tapi dia tidak puas dengan sistem yang ada. Rezim yang korup. Dia menyebut rezim ini sebagai rezim korup tersukses melebihi era orde baru. Karena korupsi saat ini sudah semakin rapih terorganisir dan tertutup dengan baiknya oleh sistem – sistem pemerintahan. Semua gerak – gerik kalangan eksekutif, yudikatif dan legislatif tak lebih hanya drama dimatanya.
****
Media memberitakan lusa akan ada gerakan masa besar – besaran dibawa komando Tomo. Media menyebut Tomo dengan sebutan panglima demonstran. Dia memang orator ulung yang seperti mempunyai kekuatan untuk menggerakan masa.
Tak ayal belakangan ini, seiring demonstrasi besar – besaran, namanya sering disebut berbagai media. Beberapa media bahkan mengutip pernyataan – pernyataan pengamat politik negeri yang menyebut, “rezim pimpinan akan runtuh jika Tomo terus menggerakan masa.” Kutipan itu menjadi headline di beberapa media. Selain itu ada pula yang menulis “Panglima vs Pimpinan”, sebagai headline surat kabarnya. Ya, Tomo sang “panglima” demonstran melawan sang pimpinan negeri.
****
“Lihat pak, anakmu sedang menantang maut.” Ujar Kartini kepada Hatta suaminya.
“Tak apa, dia mengikuti nuraninya. Biarkan saja begitu, paling tidak dia masih punya nurani. Tidak seperti pimpinan.” Balas Hatta dengan suara datar.
“Tapi kita sudah terbiasa hidup diatas kaki kita sendiri, tidak perlu belas kasih pimpinan. Dan kita dirumah ini sudah seperti negara kita sendiri. Tak ada campur tangan pimpinan.” Kartini bersuara pelan.
“Memang. Tapi aku setengah mati mencari uang sebagai buruh pabrik sambil berharap kenaikan UMR dan belum tenang dengan ikatan perjanjian pekerja kontrak.” Hatta meninggikan suaranya.
Suasana rumah sederhana itu hening sebentar, hanya terdengar suara televisi yang tak terlalu kencang.
“Mereka hidup mewah memakan anggaran, kita setengah mati hidup sederhana. Adilkah?” Hatta menutup perbincangan dengan istrinya.
Di televisi muncul tersiar gambar sang pimpinan yang disiarkan langsung dari istana untuk keperluan konferensi pers mengenai suasan negeri yang sedang dilanda krisis dan sedang marak demonstrasi besar – besaran.
“Saya prihatin dengan krisis yang melanda negeri ini dan demonstrasi besar yang sedang terjadi di negeri ini.” Begitu kalimat pembuka sang pemimpin.
“Persetan. Tak usah mengumbar kata prihatin dengan wajah melas. Kami bukan pengemis yang mengharap belas kasihan.” Hatta meracau sambil menekan tombol power televisi.
****
Dua hari berselang, masa turun kejalan. Semua akses jalan di sekitar gedung dewan di kelilingi masa yang penuh emosi. Dari kubu berlawanan aparat sudah siap dengan persenjataanya; tameng, gas air mata dan tembakan berisi peluru karet.
Bentrokan tak bisa dhindarkan. Kedua kubu saling provokasi dan saling mengumbar emosi. Tak ada beda. Mereka penuh amarah, tapi sebenarnya bukan salah mereka. Mereka hanya terjebak dan seperti sengaja diadu, oleh siapa? Mungkin Tuhan dan sang pimpinan yang tahu jawabannya.
****
Fantastic four mengamati siaran langsung bentrokan melalui televisi. Ada yang berwajah serius, ada yang sambil berpikir dan ada yang menahan tawa.
“Bila ada penganggu dan merubah suasana menjadi kondusif, cepat bergerak. Korbankan ketua serangga dan salah satu aparat.” Pimpinan memberi instruksi yang langsung dipahami anggota lainnya.
****
“Hentikan!” Tomo berseru dengan pengeras suaranya.
Dia tiba – tiba sudah ada diatas truk kompi aparat. Berdiri disana. Tapi teriakannya tak didengar masa yang sudah beringas.
Tomo terus berteriak dan menembakkan kembang api yang tadi disulutnya kearah langit. Semua mata dan perhatian teralihkan. Tomo kembali memegang komando masa demonstran.
“Hentikan ini, bentrokan ini, kekerasan dan pengrusakan ini,” Tomo berseru dengan nafas terengah – engah.
“Ini bukan mau kami, dan juga mau kalian aparat keamanan. Kita hanya terjebak atau dijebak disini dan dipaksa saling serang. Untuk menyamarkan borok dan kebusukan rezim ini.”
Semua diam dan menatap Tomo.
“Damailah kalian, kita melawan musuh yang sama.”
Letusan tembakan menghentikan orasi Tomo. Tembakan yang juga menghentikan nafasnya. Tembakan yang memuntahkan peluru tajam ke dahinya. Masa terperangah, begitupun aparat. Masa berlari behamburan mundur. Beberapa orang menggotong tubuh Tomo yang terkulai tak berdaya dengan darah mengucur dari dahinya. Aparat hanya saling memandang satu sama lain, seperti tak percaya apa yang baru saja dilihat mereka.
****
Dari sebuah ruangan di dalam istana, suara pimpinan dan anggota fantastic four yang lain terdengar riuh, seperti merayakan kemenangan.
“cheers,”
 “Selamat, anda aman pimpinan.                                
Gelak tawa yang bisu menutup rapat khusus tim fantastic four. Seiring dengan es batu yang lumer dalam gelas anggur, bersamaan itu, darah dari dahi Tomo belum berhenti mengalir.
****
Suasana dipersidangan tegang. Masa pendukung dan rekan – rekan Tomo memenuhi ruang sidang. Mereka menunggu vonis hakim sambil sesekali berseru, “pembunuh.”
“Saya tidak tahu yang mulia, setahu saya senjata itu berisi peluru karet,” ujar seorang aparat yang duduk dikursi panas sebagai terdakwa. Tubuhnya berkeringat dan terlihat gelisah.
“Saya diberi senjata itu dan....”
Keringat mengucur deras dari tubuhnya, pandangannya kabur, tubuhnya mengigil kedinginan, mulutnya memuntahkan lendir. Dia kolaps dipersidangan tanpa vonis hakim dan tanpa menyebut nama si aktor utama pembunuhan Tomo. Ajal menjemput aparat itu sama seperti Tomo.
Ditelevisi tersiar sang pimpinan menggelar konferensi pers,
“Saya prihatin atas kematian salah satu demonstran dan juga aparat yang tewas dipersidangan.” Sang pemimpin berbicara dengan gaya khasnya muka yang melas dan kata prihatin.
“Persetan!!” dhuarr. Hatta melempar layar televisinya dengan batu yang diambilnya disekitar makam Tomo.
Ada duka tapi tanpa air mata, amarahnya dipendam dan dibiarkan terkubur bersama jasad anaknya. Sebagian orang menganggap Tomo gugur dalam medan perang sebagai pahlawan. Ya, pahlawan yang benar – benar tanpa tanda jasa, tanpa liang di kalibata. Kasus pembunuhannya pun berhenti begitu saja. Pimpinan dan kroninya selalu tak tersentuh. Mereka fantastis, manusia setengah dewa. Fantastic four.



Kamis, 19 April 2012

cincin penjudi


Dia merasa dia mempunyai kekuatan. Dia mengklaim memiliki indera keenam, feelingnya kuat, peka dan lain sebagainya. Semenjak, cincin bermata giok berwarna hijau itu melingkar di jari tengah tangan kirinya. Atas dasar itu pula, meja judi jadi tempat tujuan favoritnya. Duduk, berkonsentrasi sejenak lalu tangan kiri yang memulai menyentuh kartu remi. Ya, selalu diawali dengan sentuhan tangan kirinya, tempat cincin giok berwarna hijau itu melingkar.
“Haha, menang lagi”. Tawanya masih terdengar renyah, padahal dia sudah berkali – kali tertawa. Tawa yang selalu mengiringinya setiap menutup permainan.
Semenjak putaran pertama kartu dibagikan.
“Bangsatt”, bentak laki – laki berperawakan hitam, keriting.
“Sudah, kumpulkan saja uang sampean. Kalau habis bayar pakai apa sajalah, yang penting menarik”, kata marwan sambil mengumpulkan uang yang berserakan dimeja. Memindahkan kekantong kemejanya yang sudah tak terkancing rapih, hanya dua kancing dibagian perutnya yang masih setia melekat dengan lubangnya.
Marwan tertawa sambil mencium – ciumi cincin giok hijaunya sambil melihat teman – teman berjudinya yang berlalu meninggalkan pos ronda dengan muka kusut dan kantong kempis tak berisi. Kantong yang kini kelaparan, kantong yang beberapa menit lalu terisi uang dari berbagai sumber. Hasil uang makan harian dari pabrik, uang yang diperas secara halus dari dompet orang tua, uang hasil memalak diterminal, uang hasil seharian menjajakan dagangan. Dari mana saja mereka mengumpulkan uang yang hanya lewat dikantong, melewati meja judi dan berakhir dikantong penjudi lainnya yang lebih beruntung atau lebih licik. Licik dengan taktik yang halal atau licik dengan kecurangan sama saja, uang yang diraup tetap dibilang haram.
****
Marwan sedang asik menggosok – gosok cincinnya, saat istrinya baru memasak. Ini sudah jam dua belas siang, tapi dapur dirumahnya baru mengepulkan asap. Itupun karena Marwan pulang membawa hasil dari menguras kantung teman – temannya di pos ronda. Dia memang tidak perlu pergi ke Las Vegas untuk menemukan meja judi. Dia hanya perlu berjalan empat ratus meter ke pos ronda setiap malam. Kalau nasibnya mujur, dia bisa tertawa sepanjang malam sampai suara adzan subuh membubarkan permainan mereka. Adzan subuh memang seperti bell tanda permainan harus berakhir, mereka tidak ingin mendengar ceramah dadakan ustad. Siddiq tentang harta uang haram yang memanaskan kuping mereka.
Marwan melihat kearah meja makan, hanya dua piring nasi putih berhias telur dadar diatasnya. dia menambahkan dengan kecap manis diantara nasi putih dan telur dadar. Marwan terlihat tak mempedulikan menu dimeja makannya, yang terpenting dia tidak kelaparan. Dia bahkan tak peduli dengan koyo yang menghiasi kanan – kiri keningnya.
“ini sudah hari keenam menu makan kita sama”. Keluh Endah, istrinya.
“meski kau menang dan membawa lebih dari cukup dari harga dua porsi nasi padang, bahkan cukup untuk lima, enam, tujuh mungkin”.
“kita sepertinya sedang tidak kekurangan uang beberapa hari ini”. Istrinya terus memberondong marwan dengan keluhan – keluhan, seperti orator demonstrasi jalanan yang sedang menuntut haknya.
Memang dia belum bisa memberi keturunan dari lima tahun hidupnya dengan marwan. Tapi Endah merasa layak mendapat lebih dari ini, dia merasa masih cantik, tidak terlalu tua, baru tiga puluh tiga umurnya. Dia merasa mengurus marwan dengan baik. Dia tidak terlalu keberatan meski beberapa minggu ini marwan hanya luntang – lantung ke pos ronda setiap malam sejak marwan dipecat dari pabrik cat tempatnya bekerja, meninggalkannya sendirian bergumul dengan dinginnya angin malam.
Asalkan marwan memberinya uang untuk membuatnya bisa sibuk dengan dentingan wajan dan sodet didapur, dia  tak terlalu memikirkan asal uang yang disetorkan marwan ketangannya.
“aku harus menabung, dan itu artinya kita harus berhemat.”  Marwan akhirnya buka suara setelah sepiring nasi dengan lauk telur dadar  habis berpindah keperutnya.
Dia tidak mau merusak selera makannya dengan berdebat dengan istrinya. Dia memang tidak pernah melarang istrinya protes tentang segala macam tetekbengek yang terjadi dirumah kecilnya. Dia menerapkan paham demokrasi dengan baik dirumahnya.
“menabung dan berhemat untuk apa? Apa yang mau kau beli? Kita sudah cukup dengan segala fasilitas yang ada dirumah ini. Selama kita hidup sesuai kebutuhan, bukan sesuai dengan gengsi ,” istrinya tidak puas dengan alasan marwan.
“ini bukan tentang membeli, tapi aku harus membuat sebuah peningkatan. Itupun pada akhirnya untuk kita, bukan hanya aku.”
“oh, kedengarannya menarik. Peningkatan seperti apa yang ingin kau buat dengan uang panasmu itu.”
“kau tahu cincin ini, kau tahu berapa uang yang ku berhasil kukuras dari penjudi lain di pos ronda?” Ujar marwan sambil menunjuk cincin giok bermata hijau di jarinya.
“aku tidak sempat membuat pembukuan tentang pemasukan mu dari cincin yang kau sombongkan itu. Aku bukan orang yang religius, tapi percaya dengan hal mistis seperti itu akan membuatmu terlihat seperti orang gila.”
Endah meninggikan suara. Dia mulai muak dengan sikap marwan yang memuja cincin giok itu, bahkan dia juga muak dengan sikap marwan yang selalu mengelus cincinnya lebih lembut dari  mengelus dirinya. Cemburu dengan cincin memang bukanlah hal yang bisa dibilang rasional, tapi dia merasa sifatnya sudah tepat pada tempatnya. Endah yakin kalau cinicin itu bisa berbicara dan meminta apapun dari marwan; makan enak, mandi kembang tujuh rupa, tumbal atau bahkan bercinta. Dia jamin marwan akan menuruti semua perintah cincin itu. Cincin itu sudah seperti saingannya dan seperti menjadi orang ketiga, meskipun wujudnya benda.
Endah mengungkapkan ingin cerai dari Marwan, ketika orang tua Marwan bertanya alasannya; “saya cemburu dengan cincin giok Marwan.” Mereka menganggap Endah sudah gila, tapi dia merasa Marwan lah yang sudah gila. Marwan bisa saja menularkan kegilaannya itu dan itu juga menjadi salah satu pertimbangannya untuk bercerai.
  “aku mau pergi ke Vegas. Ya, Las Vegas. Dengan begitu aku bisa meraup keuntungan lebih banyak.” Marwan menjelaskan tentang peningkatan yang tadi dikatakannya.
“apa kubilang, kau bahkan sudah gila sekarang.” Endah makin naik emosi, mendengar ucapan Marwan.
“banyak dolar disana sayang, dengan cincin ini aku bisa memenangi permainan apapun.”
Endah berpikir Marwan sudah benar – benar gila akan uang atau bahkan gila judi. Dia bahkan sudah berjudi dengan kehidupannya, kehidupan mereka berdua. Dia berjudi tak hanya dimeja judi, tak hanya dengan kartu remi atau domino. Dia sudah gila judi, pastilah ini bukan hanya tentang uang. Nafsu atau gairah berjudilah yang menguasai Marwan, melebihi nafsu akan uang, nafsu makan yang hanya terpuaskan dengan telur dadar, nafsu seksual yang lagi mereka lakukan karena setiap malam Marwan sibuk bergumul dengan kartu dan uang yang pecahannya tak lebih besar dari sepuluh ribu rupiah yang berserakan di pos ronda.
Endah mencapai puncak emosinya, marwan berjudi dengan kehidupan dan melibatkan dirinya juga. Entah sebagai barang yang dipertaruhkan atau sebagai lawan judi, tapi kedua keadaan itu tak ada yang membuatnya senang. Persetan dengan uang dolar yang dijanjikan Marwan, dia hanya ingin hidup normal sekarang dan seterusnya.
“kau mau ke vegas?”
“iya”
“kau mau pergi ke vegas untuk berjudi?” Endah mempertegas pertanyaannya.
“ya!” Marwan tak mau kalah dengan istrinya.
“aku mau cerai” Endah seolah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk menjatuhkan mental Marwan. Itupun kalau lelaki itu masih benar – benar menyayanginya.
“sayang, aku melakukan ini untuk kita berdua. Kau masih suka uang bukan?” Marwan merayu istrinya.
“cerai” Endah membalas singkat.
“atau, aku bisa mengajakmu ke Vegas” Marwan masih terus merayu.
“aku tak mau menjadi yang ketiga. Setelah judi dan cincin bodoh mu itu.”
****
Marwan berjalan gontai di jalan perkampungan yang belum terlapis aspal. Dia masih memikirkan surat pemberhentian hubungan kerja yang diterimanya bersama ratusan teman seperjuangannya, dari pabrik cat tempatnya bekerja. Sudah seminggu dia lontang – lantung menjajakan diri membawa surat lamaran kerja lengkap dengan kemeja, celana bahan dan sepatu hitam yang membungkus dirinya.
Rambutnya tak lagi rapih seperti pagi hari tadi, kemejanya sudah menyembul dari celana bahannya. Dia melintas didepan pos ronda kampungnya, dia melihat sosok lelaki paruh baya asing duduk sendiri di pos ronda. Jidat menghitam, janggut tak terurus, dengan gamis hitam dan membawa koper. Marwan sepintas mengingat pemberitaan mengenai teroris yang dilihatnya di televisi. Perawakannya kurang lebih seperti lelaki itu.
Lelaki itu melihat kearah Marwan dan memanggilnya, kemudian memulai perbincangan. Lelaki itu menonjolkan skap yang bijaksana dalam gestur dan cara bicaranya untuk menarik simpati Marwan. Di akhir perbincangan yang bercabang kemana – mana, melebar dan tak terstruktur, lelaki itu tiba – tiba mengeluarkan cincin dari kantong gamisnya.
“cincin ini bukan cincin biasa.” Kata lelaki tua itu dengan mimik serius.
“pakai cincin ini saat kau berjudi, maka keberuntungan dan kemenangan kau dapat.” Lelaki itu terus meyakinkan Marwan.
Tentu saja Marwan tak percaya dengan ucapan lelaki tua itu, yang tak lebih seperti omong kosong dan berakhir dengan bujukan untuk membeli cincin itu. Dia memang tidak terlalu pintar, tapi dia juga tidak terlalu bodoh untuk percaya akan hal itu. Marwan berusaha dengan menyibukan pikirannya, dia tidak boleh membiarkan pikirannya kosong. Dia berpikir, bisa saja ini berakhir dengan kejahatan dengan modus hipnotis, seperti berita kriminal yang dilihatnya di televisi kemarin. Dia menggeser posisi duduknya agak menjauh untuk menghindari kontak badan yang berakhir dengan dirinya terhipnotis dan menuruti setiap ucapan lelaki tua itu.
Marwan beranjak dari pos ronda, tapi lelaki tua itu menahan tangannya. Sial, dia menyentuhku. Apa aku akan terhipnotis. Marwan berusaha mempersiapkan diri melawan setiap sugesti yang akan keluar dari lelaki tua itu.
“Santai saja anak muda. Kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikannya dulu. Kemudian jika kau menang kau baru boleh menemuiku untuk membayar cincin itu. Dengan seluruh uang hasil kemenangan judi yang kau dapat. Dua hari lagi kita bertemu disini, bagaimana?” lelaki tua itu terus meyakinkan Marwan.
“Baiklah. Aku akan membuktikannya, kemudian lusa kita bertemu. Itupun kalau aku menang.” Marwan mengambil cincin itu, meski dia ragu akan kebenaran ucapan lelaki tua itu.
****
Marwan memang mengurungkan niatnya ke Vegas, tapi Endah sudah memilih pulang kerumah orang tuanya. Marwan memutuskan untuk ke pos ronda seperti biasanya, bertemu dengan rekan seprofesinya. Dia masih menimbang – nimbang keputusannya untuk ke Vegas, tapi meski sedikit, dia masih memikirkan kelangsungan rumah tangganya dengan Endah. Mana yang harus dipilihnya, gairah judi dan uang atau Endah yang sudah lima tahun menjadi istrinya. Marwan memutuskan untuk kembali merayu Endah besok, seperti yang dilakukannya kemarin. Meski tidak berhasil.
Cincin ini bisa membuatnya menang, meski pernah sesekali dia kalah juga. Tapi Marwan selalu mencari alasan untuk pembenaran cincinnya sendiri. Pernah dia kalah dan dia berpikir itu karena dia tidak mengusap – usap cincinnya sebelum berjudi, dilain waktu dia kalah dan dia mencari – cari pembelaan untuk cincinnya sendiri. Entah karena dia lupa mencium cincinnya, memandikan cincinnya, lupa meminum air rendaman cincinnya. Pokoknya dia terus membela cincinnya, dalam pikirannya, cincinnya itu membawa keberuntungan seperti yang dikatakan lelaki tua yang menjualnya. Cincinnya punya kekuatan titik, begitu dia yang dia ucapkan kehatinya sendiri dan yang dia ucapkan ke endah, hingga membuat perempuan itu berpikir suaminya sudah gila dan tak lama dirinya juga bisa gila bila terus bersama Marwan.
****
Tak ada suara tawa marwan, dia menatap deretan kartu domino dengan kesal, penuh amarah dan kebingungan. Tak ada dari kedua ujung kartu domino itu yang memiliki sisi sama dengan sederet kartu yang ditangannya, dan parahnya lagi ini sudah putaran ketiga dan dia belum pernah menarik uang yang berserakan dari meja pos ronda yang berubah jadi meja judi. Hanya sekali dia menarik uang diawal permainan, itupun saat taruhan belum dinaikkan menjadi uang pecahan lima puluh ribu. Keringatnya keluar ditengah malam yang disusupi angin dingin. Marwan terus mengusap cincinnya tapi sudah tak berpengaruh diputaran ini, dia sudah ketinggalan banyak. Dia melihat kearah tangan Darto yang hanya menyisakan satu kartu lagi, begitupun Ramli yang hanya memegang tiga kartu.
Marwan pasrah melihat uangnya ditarik kekantong Darto, dia semakin muak dengan tawa Darto yang terdengar seperti mencemoohnya, dia sangat ingin meninju mulut Darto yang terlihat begitu mengesalkan dimatanya. Tawa yang dulunya lebih sering dikeluarkannya kini sudah tak terdengar lagi, berpindah ke Darto bahkan Ramli. Marwan semakin muak, sambil bertanya – tanya didalam hati. Ada apa dengan magis cincinnya, kenapa cincinnya tak lagi berfungsi. Marwan terus mengusap – usap cincinnya, mencium dan memohon kepada cincinnya didalam hati.
“naikkan taruhannya, seratus ribu” Marwan frustasi dan emosi.
Teman – temannya hanya bisa menuruti tantangan Marwan, karena mereka tahu mereka diatas angin dan memegang kendali permainan. Mereka pasti sudah mencemooh, meledek, menghujat Marwan didalam hati mereka, dari balik tawa mereka yang semakin keras dan semakin menusuk kuping Marwan.
****
“ haha, puas kita menghabisi uang si bodoh Marwan.” Darto tertawa sambil membagi – bagi uang kepada teman – temannya.
“ya, kita hanya mengikuti ucapan Endah untuk mencuranginya dan membuatnya kecewa dengan cincinnya.” Ramli menambahkan ucapan Darto.
“begitu bodohnya Marwan yang percaya kekuatan cincinnya.”
“kalaupun kekuatan itu benar adanya, paling tidak kita sudah membuktikan kita lebih pintar dari dewi keberuntungan yang bersemayam di cincin Marwan.”
Marwan pulang dengan babak belur, dia mengamuk setelah uangnya habis di pos ronda. Dia memaki dengan segala macam sumpah serapah kearah teman – temannya. Dia meneriaki teman – temannya curang, dia terus berteriak meracau. Tapi malah bogem mentah menghujani tubuhnya. Tak ada cara lain yang terpikir oleh teman – temannya untuk menghentikan teriakan Marwan.
Marwan tak percaya dengan kekalahan telaknya di arena perjudian semalam. Dia menangisi kepergian uangnya yang susah payah dia kumpulkan untuk perjalanannya ke Las Vegas. Dia terus mengomel, membentak, menghardik kepada cincinnya. Setelah itu dia baru ingat kepergian Endah, yang selalu menjadi urutan yang ketiga, setelah judi dan uang.