Goresan
diagonal melintang diantara empat goresan vertikal. Tembok lembab bercorak
abstrak kusam yang lima hari telah kusandari. Kepala dingin tertular dinginnya
tembok kusam, begitupun pundak hingga lengan. Bola mata meratapi goresan oranye
dari sisa pecahan batu bata yang kubawa dari luar sel.
Dua
goresan lagi, goresan sisa umurku. Aku mengetahui sisa umurku, begitu juga
hakim, jaksa, sipir, dan juga ibuku yang beberapa hari ini sibuk dengan air
matanya. Aku harap Tuhan memberinya cukup air mata untuk dua hari kedepan. Dan
menggantikannya dengan do’a di hari – hari selanjutnya.
****
Tanah
keluarga yang hijau meski tak seberapa luasnya. Kemarin kami semua masih hidup
dengan damai di atas tanah yang subur. Perkebunan kelapa sawit hanya berada di
ujung pinggiran desa kami−di perbatasan negeri.
Mobil
dengan cat mengkilap menerjang diatas jalan tanah berdebu yang tak terjamah
aspal. Beberapa orang keluar dari pintu yang ditutup dengan hati – hati.
Menyebarkan pandangan ke perkebunan dan sawah penduduk desa. Mata mereka
terpantul hijau dedaunan. Tapi mata yang hijau selalu identik dengan uang.
Entah faktor yang mana yang membuat mata mereka jadi terlihat hijau.
Seorang
lelaki paruh baya yang terlihat paling jumawa, menatap hijau dari balik kaca
mata hitamnya. Seseorang disebelahnya melebarkan gulungan kertas yang
dibawanya, membentangkan didepan si jumawa. Seseorang lagi disisi lainnya si
jumawa memainkan jarinya dengan gemulai. Sesekali menunjuk kearah kertas,
sesekali menyebarkan telunjuknya ke arah Hamparan hijau perkebunan desa. Si
jumawa mengangguk – anggukan kepala. Gerombolan si jumawa melesat dengan mobilnya
meninggalkan Hamparan hijau, menyebrang gapura perbatasan ke negeri tetangga.
Sumpah
serapah warga mengiringi kedatangan kepala desa beserta beberapa orang
bersetelan necis. Sejauh ini aku belum tahu apa berita yang dibawa kepala
desa−hingga membuat warga desa berserapah.
“Tanah
perkebunan dan persawahan di Hamparan hijau masih secara sah milik pemerintah
daerah. Kalian tidak perlu lagi menggarapnya.” Kepala desa memberi pengumuman
di tepi tanah Hamparan hijau.
Warga
menanggapinya dengan sumpah serapah, segala protes dan cacian menghujam kepala
desa.
“Untuk
kepentingan pendapatan devisa negara, maka Hamparan hijau akan diambil alih
perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit negeri
tetangga.” Kepala desa melanjutkan pengumumannya.
Demi
devisa, negeri ini mengais – ngais uang yang berserakan dibawah kaki pengusaha
negeri tetangga. Pejabat negeri ini sudah menjadi penyembah berhala. Berhala
uang.
“Hamparan
hijau milik kami, milik negeri ini.” Komar berteriak membalas ucapan kepala desa.
Dia memang selalu berseberangan dengan pemerintah, dia mempunyai jiwa oposisi.
“Bagi
yang merasa mempunyai hak atas tanah Hamparan hijau, silahkan tunjukan bukti
sertifikat kepemilikannya. Jika tidak ada, hentikan semua aktifitas di Hamparan
hijau mulai sekarang.” Kepala desa membalas teriakan Komar.
Pagar
– pagar bambu berdiri angkuh menghalangi keindahan tanah Hamparan hijau. Esok
harinya pagar – pagar bambu bertumbangan, pihak perusahaan sawit kembali
menancapkan pasak – pasak pagar bambu. Esok harinya pagar bambu sudah kembali
tumbang. Perwakilan pengusaha sawit yang datang meninjau lokasi−geram, di sisi
lain Komar tertawa – tawa. Dia tidak menyadari beberapa pasang mata
mengawasinya.
Esok
harinya pagar bambu berdiri kokoh. Berita hilangnya Komar menyebar dari mulut
kemulut. Komar seperti ditelan bumi. Istri dan anaknya hanya bisa menangis.
Semua warga desa tidak tahu dimana keberadaan Komar dan bagaimana keadaannya.
Sejak
saat itu tak ada yang berani mengusik kokohnya pohon sawit yang berdiri di tanah
Hamparan hijau.
Gerombolan
pengusaha sawit kembali meninjau tanah jajahannya. Si jumawa menatap permukiman
warga dari balik kaca mata hitamnya. Sayup – sayup logat melayu yang terbawa
angin, berhembus menembus daun telingaku. Aku tak terlalu mengerti bahasanya.
Seseorang
bawahan si jumawa membuka gulungan kertas, seseorang lagi menunjuk – nunjuk
pemukiman warga. Si jumawa mengangguk dan sesekali tertawa.
“Untuk
kepentingan pendapatan devisa negara, maka pemukiman ilegal kalian, akan
diambil alih perusahaan sawit BERSEKUTU BERTAMBAH MUTU milik pengusaha sawit
negeri tetangga.” Kepala desa kembali memberikan pengumuman di pinggir pagar
bambu Hamparan hijau yang sebentar lagi beralih menjadi perkebunan sawit.
Untuk
yang satu ini, kami bisa melawannya. Kami punya sertifikat sah kepemilikan
tanah tempat tinggal kami.
Tengah
malam yang seharusnya tenang berwarna gelap, berubah merah menyala. Kobaran api
membakar ratusan pemukiman warga desa. Warga desa tak sempat menyelamatkan
hartanya, bahkan beberapa tak sempat menyelamatkan nyawanya. Semuanya menjadi
abu, termasuk sertifikat kepemilikan tanah tempat tinggal.
****
Corak
hitam kusam tembok hotel prodeo mengingatkanku akan desa kami yang hangus
terbakar. Lebih tepatnya dibakar. Aku melepaskan tinju kearah sketsa hitam di
tembok. Darah merembes dari pori – pori kulit yang robek. Darah ini
mengingatkanku pada si pengusaha jumawa.
****
Pagi
hari yang sepi, sebagian besar warga desa telah meninggalkan desa mereka yang
hangus. Aku masih disini−didepan gudang perkakas yang selamat dari kebakaran,
menatapi perkebunan sawit yang sebelumnya Hamparan hijau.
Segerombolan
orang turun dari mobil, begitu juga si pengusaha jumawa. Mereka menunjuk –
nunjuk rongsokan desa kami yang hangus tebakar. Pandangannya bertemu sepasang
mataku. Aku menghindar kedalam gudang perkakas. Parang yang beberapa bagiannya
berkarat, tapi masih cukup kokoh untuk menebas batang leher seorang keparat.
Darah
melumuri parang, membasuh bagian tubuhnya yang berkarat. Aku bertatapan dengan
sepasang mata si jumawa. Sepasang mata dikepalanya, ya, hanya kepalanya. Parang
ini masih kuat memutuskan batang leher seorang keparat dan lima orang budaknya.
****
Mereka
menginginkan hukuman setimpal, tak ada perlawanan dari pihak manapun. Pimpinan
negeri ini hanya prihatin sambil terus membungkuk dan menciumi tangan raja
negeri tetangga.
Aku
menerima saja. Apanya yang setimpal? Enam kepala dibalas satu kepala. Mereka memang bodoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar