Powered By Blogger

Kamis, 08 November 2012

Dua Sisi


Dinginnya angin malam tidak mengurungkan niat mereka, pakaian minim menjadi seragam dinas mereka tiap malam. Dandanan sensual mengaburkan temaram. Latar belakang tembok kusam semakin menegaskan tampilan mereka yang mencolok matamata pengguna jalan yang lalu lalang disepanjang jalan bekasi timur, seberang lembaga permasyarakatan cipinang lebih tepatnya.
“Lacur” dalam kamus besar bahasa indonesia berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak jadi. Arti kedua dari kata yang sama mempunyai arti kelakuan tidak baik. Dalam kata kerja, “melacur” mempunyai arti menjual diri. Dalam kata sifat, “pelacur” mempunyai arti sundal, wanita tuna susila.
Itulah mereka, wanita yang menjajakan dirinya sendiri. Menjajakan diri kepada nafsu syahwat pria – pria. Mereka membarter dengan uang dari setiap pria yang menumpahkan nafsu di tubuh mereka. Apakah uang yang mereka dapat sepadan dengan apa yang mereka sewakan? Itu menjadi urusan mereka pribadi dengan batinnya.
Sebenarnya kita tidak bisa hanya melihat semata – mata tentang pelacur yang mencari uang dan hidung belang yang butuh pelampiasan. Dari kaca mata imajinasi liar saya, hubungan antara uang dan nafsu dari kedua belah pihak antara pelacur dan hidung belang mempunyai sisi – sisi yang terselubung oleh tirai hitam perbuatan dosa mereka yang diekspose berlebihan luarnya saja. Menelanjangi semua keburukan profesi mereka. Hina, sundal, murahan, menjijikan, laknat, biadab, apalagi? Masih ada yang kurang?
Berita tentang kriminalisme semakin sering menghiasi program berita televisi. Pemerkosaan menjadi topik yang sering muncul. Sebagian besar pelaku dan korban adalah orang yang sudah saling mengenal, bahkan ada yang masih mempunyai ikatan kerabat. Nafsu memang datang kapan saja, jika tidak pintar – pintar mengendalikannya atau tidak puas dengan pelampiasan oleh diri sendiri, bahkan tak puas dengan pasangan, pemerkosaanlah yang terjadi dan berakhir di jeruji besi yang sebelumnya melewati lensa berita kriminal. Dan yang lebih parah lagi, bagaimana dengan nasib korban? Trauma, depresi, malu, terpukul. Meski tidak sedikit juga yang bisa bangkit dan menjalani hidup dengan normal.
Nafsu yang disalurkan pada tempatnya, tanpa merugikan orang lain. Terlalu polos jika menyarankan berhubungan saja dengan pasangan, dalam hal ini istri atau kekasih, atas dasar suka sama suka tentunya. Pelaku didominasi orang – orang yang kesepian karena belum punya pasangan atau terpisah oleh pasangannya. Motif lainnya dikarenakan terangsang karena melihat si korban. Mereka tak jarang cenderung menyalahkan pakaian si korban yang mengundang birahi. Mereka melupakan otak mereka yang sudah kotor dan banyak dihuni setan – setan.
Di kasus lainnya, pelaku terangsang setelah menonton “film biru”. Mereka latah dengan nafsunya, kemudian mencari pelampiasan. Dalam kasus ini, “film biru” selalu diperankan aktris dengan paras sempurna, mungkin bagi mereka yang sudah punya pasangan pun akan mencari pelampiasan lain, tergiur tubuh sang aktris. Secara fisik pasangan mereka terlalu jauh dengan para aktris film biru tersebut. Mereka cenderung mencari yang lebih segar, dalam arti sesuatu yang baru selain yang setiap malam mereka lihat diranjang. Yang mungkin tak sedikit dari mereka sudah melihat pasangannya seperti guling dan bantal, aksesoris pelengkap ranjang. Berlebihankah?
Dari sinilah imajinasi liar saya menyimpulkan tentang, sisi lain dari keberadaan pelacur yang seperti penadah nafsu yang harus disalurkan. Jika saja tidak ada profesi seperti pelacur, berapa banyak tingkat persentase angka pemerkosaan? Saya rasa lebih banyak lagi dari saat ini.
Menurut saya jangan terlalu menghujat profesi mereka jika anda tidak pernah dirugikan oleh keberadaan mereka. Memang benar tentang segala dosa mereka, resiko penyakit yang mereka bawa dan segala hal negatif dari keberadaan mereka. Tapi cobalah untuk melihat sesuatu dari dua mata. Jika disisi kiri sesuatu yang negatif, maka kita juga harus membuka mata sebelah kanan dimana terdapat sisi positifnya. Minimal sudut pandang lain dari yang biasa kita lihat.
Apa mereka menginginkan keadaan seperti itu? Menurut saya tidak. Apa mereka punya kesempatan untuk berubah? Tentu saja, hal itu selalu ada.
Saya tidak menyarankan untuk menghalakan pekerjaan mereka, itu urusan Tuhan. Tapi cara haram mereka dalam menghasilkan uang lebih baik dari pencuri, perampok terlebih lagi koruptor. Mungkin uang mereka sama haramnya, tapi mereka tidak merugikan korbannya. Perlu dipertanyakan yang disebut “korban” disini. Apakah lelaki hidung belang, pasangan para lelaki hidung belang atau bahkan pelacur itu sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar