Dinginnya
angin malam tidak mengurungkan niat mereka, pakaian minim menjadi
seragam dinas mereka tiap malam. Dandanan sensual mengaburkan temaram. Latar
belakang tembok kusam semakin menegaskan tampilan mereka yang mencolok matamata pengguna jalan
yang lalu lalang disepanjang jalan bekasi timur, seberang lembaga
permasyarakatan cipinang lebih tepatnya.
“Lacur”
dalam kamus besar bahasa indonesia berarti malang, celaka, gagal, sial, tidak
jadi. Arti kedua dari kata yang sama mempunyai arti kelakuan tidak baik. Dalam
kata kerja, “melacur” mempunyai arti menjual diri. Dalam kata sifat, “pelacur”
mempunyai arti sundal, wanita tuna susila.
Itulah
mereka, wanita yang menjajakan dirinya sendiri. Menjajakan diri kepada nafsu
syahwat pria – pria. Mereka membarter dengan uang dari setiap pria yang
menumpahkan nafsu di tubuh mereka. Apakah uang yang mereka dapat sepadan dengan
apa yang mereka sewakan? Itu menjadi urusan mereka pribadi dengan batinnya.
Sebenarnya
kita tidak bisa hanya melihat semata – mata tentang pelacur yang mencari uang
dan hidung belang yang butuh pelampiasan. Dari kaca mata imajinasi liar saya,
hubungan antara uang dan nafsu dari kedua belah pihak antara pelacur dan hidung
belang mempunyai sisi – sisi yang terselubung oleh tirai hitam perbuatan dosa
mereka yang diekspose berlebihan luarnya saja. Menelanjangi semua keburukan
profesi mereka. Hina, sundal, murahan, menjijikan, laknat, biadab, apalagi?
Masih ada yang kurang?
Berita
tentang kriminalisme semakin sering menghiasi program berita televisi.
Pemerkosaan menjadi topik yang sering muncul. Sebagian besar pelaku dan korban
adalah orang yang sudah saling mengenal, bahkan ada yang masih mempunyai ikatan
kerabat. Nafsu memang datang kapan saja, jika tidak pintar – pintar
mengendalikannya atau tidak puas dengan pelampiasan oleh diri sendiri, bahkan
tak puas dengan pasangan, pemerkosaanlah yang terjadi dan berakhir di jeruji
besi yang sebelumnya melewati lensa berita kriminal. Dan yang lebih parah lagi,
bagaimana dengan nasib korban? Trauma, depresi, malu, terpukul. Meski tidak
sedikit juga yang bisa bangkit dan menjalani hidup dengan normal.
Nafsu
yang disalurkan pada tempatnya, tanpa merugikan orang lain. Terlalu polos jika
menyarankan berhubungan saja dengan pasangan, dalam hal ini istri atau kekasih,
atas dasar suka sama suka tentunya. Pelaku didominasi orang – orang yang
kesepian karena belum punya pasangan atau terpisah oleh pasangannya. Motif
lainnya dikarenakan terangsang karena melihat si korban. Mereka tak jarang
cenderung menyalahkan pakaian si korban yang mengundang birahi. Mereka
melupakan otak mereka yang sudah kotor dan banyak dihuni setan – setan.
Di
kasus lainnya, pelaku terangsang setelah menonton “film biru”. Mereka latah
dengan nafsunya, kemudian mencari pelampiasan. Dalam kasus ini, “film biru”
selalu diperankan aktris dengan paras sempurna, mungkin bagi mereka yang sudah
punya pasangan pun akan mencari pelampiasan lain, tergiur tubuh sang aktris.
Secara fisik pasangan mereka terlalu jauh dengan para aktris film biru
tersebut. Mereka cenderung mencari yang lebih segar, dalam arti sesuatu yang
baru selain yang setiap malam mereka lihat diranjang. Yang mungkin tak sedikit
dari mereka sudah melihat pasangannya seperti guling dan bantal, aksesoris
pelengkap ranjang. Berlebihankah?
Dari
sinilah imajinasi liar saya menyimpulkan tentang, sisi lain dari keberadaan
pelacur yang seperti penadah nafsu yang harus disalurkan. Jika saja tidak ada
profesi seperti pelacur, berapa banyak tingkat persentase angka pemerkosaan?
Saya rasa lebih banyak lagi dari saat ini.
Menurut
saya jangan terlalu menghujat profesi mereka jika anda tidak pernah dirugikan
oleh keberadaan mereka. Memang benar tentang segala dosa mereka, resiko
penyakit yang mereka bawa dan segala hal negatif dari keberadaan mereka. Tapi
cobalah untuk melihat sesuatu dari dua mata. Jika disisi kiri sesuatu yang
negatif, maka kita juga harus membuka mata sebelah kanan dimana terdapat sisi
positifnya. Minimal sudut pandang lain dari yang biasa kita lihat.
Apa
mereka menginginkan keadaan seperti itu? Menurut saya tidak. Apa mereka punya
kesempatan untuk berubah? Tentu saja, hal itu selalu ada.
Saya
tidak menyarankan untuk menghalakan pekerjaan mereka, itu urusan Tuhan. Tapi
cara haram mereka dalam menghasilkan uang lebih baik dari pencuri, perampok
terlebih lagi koruptor. Mungkin uang mereka sama haramnya, tapi mereka tidak
merugikan korbannya. Perlu dipertanyakan yang disebut “korban” disini. Apakah
lelaki hidung belang, pasangan para lelaki hidung belang atau bahkan pelacur
itu sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar