Powered By Blogger

Jumat, 25 Mei 2012

Benih Dalam Alkohol


Alkohol sebenarnya bukan sesuatu yang akrab dengan lidah Sarah, dia hanya berspekulasi dari apa yang dia lihat di televisi−alkohol bisa menenangkan pikiran, melupakan masalah, tertawa lepas sambil meneteskan air mata. Menangis bersamaan. Bagaimana bisa? Tentu saja, Sarah sudah membuktikannya mengenai hal itu−tertawa sambil menangis. Tapi sama sekali dia bukan orang gila yang cengeng. Belakangan ini dia sering menghabiskan waktu bersama beberapa gelas anggur merah dan berbagai merk bir. Tentu saja hal itu membuat kepala menjadi berat, apa lagi peminum amatiran seperti dia.
Kelopak matanya terbuka tak terlalu lebar, lebih rendah dari biasanya. Tangannya masih cukup kuat untuk mengusir hidung belang yang menggoda, mencoba meraba−menjauh meninggalkannya, minimal mereka mendapat bekas merah dipipi.
Dia tak ingat berapa gelas alkohol yang ditenggaknya. Yang dia tahu dia harus membayar tagihannya belakangan.
Dengan tingkat kesadaran seadanya, Sarah merasakan seseorang duduk disebelahnya, meja yang sama−bangku yang berbeda. Diletakannya gelas yang masih kental aroma alkohol, posisi tangannya yang tadi mengenggam gelas berganti mengepal. Tinjunya siap melayang dipipi lelaki disebelah kanannya.
Sarah menoleh kesebelah kanannya, kelopak matanya terangkat merespon keterkejutannya. Dia kenal lelaki itu, tidak bukan begitu−dia hanya tahu lelaki itu. Sarah tahu benar rambut ikal, sorotan mata tajam dan kulit putihnya. Dari artikel yang pernah dibacanya di internet, dia tahu benar kalau lelaki ini sudah seharusnya terbakar bersama api neraka sejak tahun 1971.
Jim, apa dia baru naik dari neraka? Tentu saja. Sarah bisa melihat bara api kecil dari celana kulitnya. Sarah berpikir Jim lolos dari api neraka yang seharusnya meleburkan tulang – tulangnya. Kulit di bagian dadanya masih putih bersih selayaknya ras kulit putih biasanya. Badannya tak terbungkus sehelai benangpun, seperti yang biasa Sarah lihat di foto.
“Jim, apa yang kau lakukan disini?” Bau alkohol menghambur dari mulut, bersamaan dengan pertanyaan Sarah kepada lelaki yang dipanggilnya “Jim”.
Lelaki itu tak merespons pertanyaan Sarah, sepertinya dia menganggap Sarah dalam kendali alkohol. Meracau tak keruan sampai salah terka terhadap dirinya. Wanita pemabuk yang malang.
“Jim, bagaimana kau bisa sampai disini. Apa kau telah bertemu tuhan, bagaimana rupaNya?” Sarah masih saja melontarkan pertanyaan aneh. Alkohol memegang kendali otaknya.
“Aku sudah lama mengagumi parasmu. Aku bahkan pernah berfantasi dengan mu.” Kali ini ucapan Sarah yang dibawah kendali alkohol menarik perhatian lelaki itu.
“Kau panggil aku apa, dan yang kau bilang?”
“Jim. Jim Morrison kan? Aku bilang, aku mengagumi parasmu. Beberapa lagumu juga aku suka.” Lelaki itu tahu mengenai nama yang disebut Sarah. Dia berpikir wanita gila ini yang memulainya. Rasanya tak apa kalau dia mengambil sedikit keuntungan.
“Ya, tentu saja. Aku naik dari neraka yang panas, mencari tempat yang lebih hangat...” Lelaki itu memang berbicara ngalor – ngidul, seperti mengarang bebas. Tapi yang sampai ditelinga Sarah, lantunan tembang “hello i love you” dari The Doors. Dinyanyikan langsung oleh Jim Morrison yang bangkit dari neraka dan bersandar di pundaknya. Dengan kehangatan dan sisa – sisa panas api neraka yang menguap habis di udara. Di langit – langit bar yang kini telah berubah menjadi langit – langit hotel kelas melati yang berjajar disebelah bar.
Sarah tidak memegang kendali apapun, alkohol menguasai kepalanya dan lelaki yang dipanggilnya “Jim” menguasai birahinya. Buih bir yang menyatu dengan keringat lelaki itu menyatu dan bercampur dengan keringat rasa anggur merah sarah. Sampai klimaksnya, buih – buih bir dalam tubuh lelaki itu mengalir ke dalam tubuh Sarah. Menuju rahimnya.
Sarah berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi kemarin dan siapa lelaki itu? Apa dia benar pendosa yang naik dari panasnya neraka untuk mencari kehangatan−ya, kehangatan yang dengan mudah diberikan oleh Sarah, ditukar dengan benih alkohol yang mendekam dirahimnya. Atau lelaki itu tak lebih dari bajingan yang memanfaatkan kebodohan Sarah. Kebodohan akan kekagumannya dengan paras rupawan bajingan kulit putih yang jadi idolanya. Ditambah kebodohannya dalam menakar kadar alkohol yang mampu diterima otaknya.
Sarah menatap layar ponsel yang menampilkan gambar Jim Morrison, sambil sesekali menyebarkan pandangannya melihat lelaki yang hilir mudik di dalam bar. Dia belum menemukan wajah yang persis seperti dilayar ponselnya.
Semakin lama Sarah tak menemukan lelaki yang dicarinya. Dia menurunkan standar syarat kemiripan lelaki yang dicarinya dengan lelaki yang ada di layar ponselnya. Saat ini dia sedang sadar−tidak dibawah pengaruh alkohol, mana mungkin ada lelaki disini yang identik dengan lelaki yang ada di ponselnya. Minimal rambut ikalnya sama, maka dia akan langsung menghampiri lelaki itu, dia tidak berminat menuntut apapun. Dia hanya ingin memastikan makhluk yang dia panggil “Jim” itu nyata adanya−bukan iblis yang naik dari neraka atau fatamorgana yang diproyeksikan alkohol dalam otaknya saat itu. Begitulah yang ada dibenaknya.
Sarah sebenarnya sudah mulai melupakan tentang kejadiannya di bar bertahun – tahun lalu, sampai pada akhirnya anaknya yang kini berusia lima belas tahun mulai cerewet menanyai tentang sosok ayah yang darahnya mengaliri tubuhnya.
“Aku tidak tahu pasti keberadaan ayahmu sekarang.” Sarah memberi penjelasan yang sama sekali tidak memuaskan bagi putranya.
Bukan salahku, alkohol menguasai kepalaku. Cairan haram itu menggantikan peran darahku mengaliri tubuh. Membanjiri otakku, semua jadi terlihat berlebihan. Aku mengimbangi adrenalin itu, dia seperti menantangku. Aku tak mau kalah. Kuikuti permainannya, bukan melawannya.
Lelaki yang kupanggil Jim, dia rupawan seperti malaikat yang sayapnya terbakar habis api neraka. Dia menguasai birahiku dan memanfaatkan tubuhku dengan baik. Buih alkohol yang ditenggaknya bergelas – gelas tercampur dengan janin yang membentuk dirimu, mengalir kerahimku. Kami bertiga dalam satu ruangan kamar yang pengap. Aku, lelaki yang ku panggil Jim dan alkohol yang merasuki kami.
Sarah hanya berani berucap dalam hati, sambil mengusap rambut ikal dan bertatapan dengan sorot mata tajam putranya. Dia menamai putranya Jim.
*****
Tingkat kesadaran Sarah dibawah lima puluh persen, sisanya diisi oleh adrenalin, fatamorgana dan segala macam ilusi yang berlebihan. Lambungnya terasa seperti gunung berapi aktif yang sudah memasuki kondisi siaga satu−siap meletus menyemburkan lava pijar dan abu vulkanik. Dia takluk oleh kadar alkohol tiga puluh lima persen yang ditenggaknya beberapa gelas.
“Kau rupanya,” ujar Sarah sambil menatap kearah air kuning emas di gelas yang ada dihadapannya. Dia menyapa lelaki yang duduk disebelahnya. Tanpa menatap kesebelah, dia bisa merasakan kehadiran seseorang yang menurutnya “Jim” si lelaki itu.
“Aku tidak akan menerima janin mengandung alkohol lagi. Beradu birahi dibawah alkohol, tidak memberi kenikmatan apapun.” Sarah berusaha memegang kendali, dari segala yang pernah menguasainya dimasa lalu. Yang mengalahkannya, yang membuatnya mengikuti permainan itu.
“Kembali saja kau ke neraka, tempat asalmu.”
Sarah beranjak dengan segenap kesadaran yang tersisa. Cairan itu terlanjur membanjiri otaknya, dipompa oleh jantung keseluruh tubuh. Adrenalin berdetak seiring detak jantungnya yang tak beraturan−adrenalin yang tak tersalurkan, memacu jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat merembes keluar dikeningnya.
“Anakmu menitipkan salam. Dia anak laki – laki, lima belas tahun usianya.” Ujar Sarah sambil menghentikan langkahnya sejenak.
Sarah terjatuh dilantai bar, mulutnya bergumam tak keruan. Jim−putranya, menatap penuh iba sekaligus jijik. Pertanyannya tentang asal – usul dirinya sedikit terjawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar