Alkohol
sebenarnya bukan sesuatu yang akrab dengan lidah Sarah, dia hanya berspekulasi
dari apa yang dia lihat di televisi−alkohol bisa menenangkan pikiran, melupakan
masalah, tertawa lepas sambil meneteskan air mata. Menangis bersamaan.
Bagaimana bisa? Tentu saja, Sarah sudah membuktikannya mengenai hal itu−tertawa
sambil menangis. Tapi sama sekali dia bukan orang gila yang cengeng. Belakangan
ini dia sering menghabiskan waktu bersama beberapa gelas anggur merah dan
berbagai merk bir. Tentu saja hal itu membuat kepala menjadi berat, apa lagi
peminum amatiran seperti dia.
Kelopak
matanya terbuka tak terlalu lebar, lebih rendah dari biasanya. Tangannya masih
cukup kuat untuk mengusir hidung belang yang menggoda, mencoba meraba−menjauh
meninggalkannya, minimal mereka mendapat bekas merah dipipi.
Dia
tak ingat berapa gelas alkohol yang ditenggaknya. Yang dia tahu dia harus
membayar tagihannya belakangan.
Dengan
tingkat kesadaran seadanya, Sarah merasakan seseorang duduk disebelahnya, meja
yang sama−bangku yang berbeda. Diletakannya gelas yang masih kental aroma
alkohol, posisi tangannya yang tadi mengenggam gelas berganti mengepal.
Tinjunya siap melayang dipipi lelaki disebelah kanannya.
Sarah
menoleh kesebelah kanannya, kelopak matanya terangkat merespon keterkejutannya.
Dia kenal lelaki itu, tidak bukan begitu−dia hanya tahu lelaki itu. Sarah tahu
benar rambut ikal, sorotan mata tajam dan kulit putihnya. Dari artikel yang
pernah dibacanya di internet, dia tahu benar kalau lelaki ini sudah seharusnya
terbakar bersama api neraka sejak tahun 1971.
Jim,
apa dia baru naik dari neraka? Tentu saja. Sarah bisa melihat bara api kecil
dari celana kulitnya. Sarah berpikir Jim lolos dari api neraka yang seharusnya
meleburkan tulang – tulangnya. Kulit di bagian dadanya masih putih bersih
selayaknya ras kulit putih biasanya. Badannya tak terbungkus sehelai benangpun,
seperti yang biasa Sarah lihat di foto.
“Jim,
apa yang kau lakukan disini?” Bau alkohol menghambur dari mulut, bersamaan
dengan pertanyaan Sarah kepada lelaki yang dipanggilnya “Jim”.
Lelaki
itu tak merespons pertanyaan Sarah, sepertinya dia menganggap Sarah dalam
kendali alkohol. Meracau tak keruan sampai salah terka terhadap dirinya. Wanita
pemabuk yang malang.
“Jim,
bagaimana kau bisa sampai disini. Apa kau telah bertemu tuhan, bagaimana
rupaNya?” Sarah masih saja melontarkan pertanyaan aneh. Alkohol memegang
kendali otaknya.
“Aku
sudah lama mengagumi parasmu. Aku bahkan pernah berfantasi dengan mu.” Kali ini
ucapan Sarah yang dibawah kendali alkohol menarik perhatian lelaki itu.
“Kau
panggil aku apa, dan yang kau bilang?”
“Jim.
Jim Morrison kan? Aku bilang, aku mengagumi parasmu. Beberapa lagumu juga aku
suka.” Lelaki itu tahu mengenai nama yang disebut Sarah. Dia berpikir wanita
gila ini yang memulainya. Rasanya tak apa kalau dia mengambil sedikit
keuntungan.
“Ya,
tentu saja. Aku naik dari neraka yang panas, mencari tempat yang lebih
hangat...” Lelaki itu memang berbicara ngalor
– ngidul, seperti mengarang bebas. Tapi yang sampai ditelinga Sarah,
lantunan tembang “hello i love you” dari The Doors. Dinyanyikan langsung oleh
Jim Morrison yang bangkit dari neraka dan bersandar di pundaknya. Dengan kehangatan
dan sisa – sisa panas api neraka yang menguap habis di udara. Di langit –
langit bar yang kini telah berubah menjadi langit – langit hotel kelas melati yang
berjajar disebelah bar.
Sarah
tidak memegang kendali apapun, alkohol menguasai kepalanya dan lelaki yang
dipanggilnya “Jim” menguasai birahinya. Buih bir yang menyatu dengan keringat
lelaki itu menyatu dan bercampur dengan keringat rasa anggur merah sarah.
Sampai klimaksnya, buih – buih bir dalam tubuh lelaki itu mengalir ke dalam
tubuh Sarah. Menuju rahimnya.
Sarah
berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi kemarin dan siapa lelaki itu?
Apa dia benar pendosa yang naik dari panasnya neraka untuk mencari
kehangatan−ya, kehangatan yang dengan mudah diberikan oleh Sarah, ditukar
dengan benih alkohol yang mendekam dirahimnya. Atau lelaki itu tak lebih dari
bajingan yang memanfaatkan kebodohan Sarah. Kebodohan akan kekagumannya dengan
paras rupawan bajingan kulit putih yang jadi idolanya. Ditambah kebodohannya
dalam menakar kadar alkohol yang mampu diterima otaknya.
Sarah
menatap layar ponsel yang menampilkan gambar Jim Morrison, sambil sesekali
menyebarkan pandangannya melihat lelaki yang hilir mudik di dalam bar. Dia
belum menemukan wajah yang persis seperti dilayar ponselnya.
Semakin
lama Sarah tak menemukan lelaki yang dicarinya. Dia menurunkan standar syarat
kemiripan lelaki yang dicarinya dengan lelaki yang ada di layar ponselnya. Saat
ini dia sedang sadar−tidak dibawah pengaruh alkohol, mana mungkin ada lelaki
disini yang identik dengan lelaki yang ada di ponselnya. Minimal rambut ikalnya
sama, maka dia akan langsung menghampiri lelaki itu, dia tidak berminat
menuntut apapun. Dia hanya ingin memastikan makhluk yang dia panggil “Jim” itu
nyata adanya−bukan iblis yang naik dari neraka atau fatamorgana yang
diproyeksikan alkohol dalam otaknya saat itu. Begitulah yang ada dibenaknya.
Sarah
sebenarnya sudah mulai melupakan tentang kejadiannya di bar bertahun – tahun
lalu, sampai pada akhirnya anaknya yang kini berusia lima belas tahun mulai cerewet
menanyai tentang sosok ayah yang darahnya mengaliri tubuhnya.
“Aku
tidak tahu pasti keberadaan ayahmu sekarang.” Sarah memberi penjelasan yang
sama sekali tidak memuaskan bagi putranya.
Bukan
salahku, alkohol menguasai kepalaku. Cairan haram itu menggantikan peran
darahku mengaliri tubuh. Membanjiri otakku, semua jadi terlihat berlebihan. Aku
mengimbangi adrenalin itu, dia seperti menantangku. Aku tak mau kalah. Kuikuti
permainannya, bukan melawannya.
Lelaki
yang kupanggil Jim, dia rupawan seperti malaikat yang sayapnya terbakar habis
api neraka. Dia menguasai birahiku dan memanfaatkan tubuhku dengan baik. Buih
alkohol yang ditenggaknya bergelas – gelas tercampur dengan janin yang
membentuk dirimu, mengalir kerahimku. Kami bertiga dalam satu ruangan kamar
yang pengap. Aku, lelaki yang ku panggil Jim dan alkohol yang merasuki kami.
Sarah
hanya berani berucap dalam hati, sambil mengusap rambut ikal dan bertatapan
dengan sorot mata tajam putranya. Dia menamai putranya Jim.
*****
Tingkat
kesadaran Sarah dibawah lima puluh persen, sisanya diisi oleh adrenalin,
fatamorgana dan segala macam ilusi yang berlebihan. Lambungnya terasa seperti
gunung berapi aktif yang sudah memasuki kondisi siaga satu−siap meletus
menyemburkan lava pijar dan abu vulkanik. Dia takluk oleh kadar alkohol tiga
puluh lima persen yang ditenggaknya beberapa gelas.
“Kau
rupanya,” ujar Sarah sambil menatap kearah air kuning emas di gelas yang ada
dihadapannya. Dia menyapa lelaki yang duduk disebelahnya. Tanpa menatap
kesebelah, dia bisa merasakan kehadiran seseorang yang menurutnya “Jim” si
lelaki itu.
“Aku
tidak akan menerima janin mengandung alkohol lagi. Beradu birahi dibawah alkohol,
tidak memberi kenikmatan apapun.” Sarah berusaha memegang kendali, dari segala
yang pernah menguasainya dimasa lalu. Yang mengalahkannya, yang membuatnya
mengikuti permainan itu.
“Kembali
saja kau ke neraka, tempat asalmu.”
Sarah
beranjak dengan segenap kesadaran yang tersisa. Cairan itu terlanjur membanjiri
otaknya, dipompa oleh jantung keseluruh tubuh. Adrenalin berdetak seiring detak
jantungnya yang tak beraturan−adrenalin yang tak tersalurkan, memacu jantungnya
berdetak lebih cepat. Keringat merembes keluar dikeningnya.
“Anakmu
menitipkan salam. Dia anak laki – laki, lima belas tahun usianya.” Ujar Sarah
sambil menghentikan langkahnya sejenak.
Sarah
terjatuh dilantai bar, mulutnya bergumam tak keruan. Jim−putranya, menatap
penuh iba sekaligus jijik. Pertanyannya tentang asal – usul dirinya sedikit
terjawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar