Powered By Blogger

Kamis, 31 Mei 2012

Bisikan


Hidupi aku selayaknya kewajibanmu
Perlihatkan tentang kegelapan
Jejali kedalam otak ini sejak dini
Hingga terbiasa
Menganggap biasa
Acuhku, apatisku baik untukmu
Siapkan aku untuk lembah kegelapan
Lembah gelap yang bisa kau tambang rupiah kelak.
Bunyi tulisan dari secarik kertas penuh garis – garis kerutan seperti kulit wajah yang sudah keriput menua. Dia meninggalkan begitu saja di lantai bus kota, seperti tak berharga. Padahal setiap imajinasi yang keluar dari kepala manusia berharga.
Gadis muda−belasan umurnya, mungkin tiga atau lima belas. Dia membacakan potongan puisi sepenuh hati. Mimik muka dan sorot mata seperti telah diatur sedemikian rupa, selaras dengan tulisan dalam sobekan kertas lusuh di tangannya. Ditengah panggung kabin bus kota dengan penumpang yang terpaksa menjadi penonton si gadis penyair itu.
Beberapa panumpang memerhatikannya, sisanya sibuk dengan kegiatan masing – masing. Aku termasuk yang memerhatikannya. Sesekali sairnya terpotong jeda batuk, ketika asap lalu lintas kota menyusup masuk ke panggungnya. Tangannya mencengkeram pundak bangku penumpang saat supir menginjak pedal rem, untuk menyambut calon penumpang yang melambaikan tangan di tepi jalan. Tubuh kecilnya goyah tersenggol penumpang yang baru masuk dari pintu depan, yang berjarak beberapa langkah dari tempat gadis penyair itu pentas.
Gadis penyair itu menyodorkan topi yang tadinya bertengger dikepala, mendekat kearah penumpang yang secara terpaksa menjadi penontonnya. Sebagian besar membalasnya dengan lambaian tangan kosong, memalingkan wajah dan hanya beberapa yang mengisi topinya dengan koin receh dan pecahan seribu rupiah. Aku meraih koin receh dari kantong seragam kondekturku, memindahkan ke topi gadis penyair itu. Dia melangkah turun dari panggungnya.
Salahkan dia atau penciptanya sekalian
Tinggalkan dalam kegelapan ditengah dingin malam
Meninggalkan mu, bergelut dengan raungan nafsu alamiah
Lelaki tanpa daya bagi ribuan pasang mata wanita
Tak mampu pula meraih yang murahan yang dijajakan tiap malam
Hanya aku yang mampu diraihnya.
Gadis penyair itu muncul lagi dipanggungnya, bus kota yang menjadi alatku menghasilkan rupiah. Secarik kertas lusuh selalu ditinggalkannya, untuk kedua kalinya aku memungutnya. Masih berisi kemuraman seperti sobekan kertas sebelumnya. Kemuraman yang cocok ditulis diatas kertas lusuh penuh garis – garis bekas lipatan. Kemuraman yang sepertinya sambungan dari sobekan kertas sebelumnya.
Suara sumbang dipaksakan mengikuti irama, diiringi jeritan senar gitar berkarat yang sudah pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Pengamen dengan perawakan dekil menawarkan hiburan bagi penumpang bus, mereka menganggap lebih seperti gangguan−polusi suara.
“Permisi, selamat sore. Mohon perhatiannya,” suara perempuan menyeruak diantara suara sumbang pengamen pria, menyerobot begitu saja. Seperti menegaskan, “ini panggungku!”
Ekspresi muka kecut terlempar dari wajah pengamen kearah gadis penyair itu. Pengamen menyudahi aksi panggungnya, bergegas untuk menarik receh dari penumpang bus. Dia tidak mau jatahnya diambil oleh gadis penyair. Gadis penyair menghiraukannya−mengambil nafas dalam bersiap menghamburkan suara. Seperti biasa, syair muram.
“Biasakan ini
Hujami, tancapkan belati nafsu itu ditubuhku
Lukai, hancurkan hati ini hingga terbiasa
Apatisku, acuhku bagus untukmu
Biasakan tubuh ini
Biasakan beramah tamah dengan tubuh lainnya
Seperti denganmu
Darah yang sama, asalku.”
Nafasnya agak terengah – engah setelah orasi singkatnya. Sebagian besar penumpang tercuri perhatiannya, dia membacakan syairnya dengan baik atau isi syairnya? Keduanya menurutku.
Gadis penyair itu bergegas menuju kepintu belakang bus, melewati penumpang begitu saja. Tanpa menyodorkan topi kosongnya. Dia turun dari panggungnya begitu saja, tanpa tepuk tangan penonton, tanpa apresiasi penonton dan tanpa sepeserpun rupiah.
Sobekan kertas lusuh bekas remasan tangan ditinggalkan begitu saja dilantai bus. Aku meraihnya seperti sebelumnya, menjajarkan dengan sobekan syair sebelumnya. Ini potongan yang ketiga.
 Gadis penyair itu muncul lagi, apa ini akan jadi sobekan yang keempat? Atau dia akan membuka judul baru.
“Aku kebal,
Hati ini? Dendam membara
Malam ini, malam kemarin aku tak berdaya
Tubuh ini terlalu kecil, ringkih
Aku tak mau mengikuti permainanmu kelak
Mengais rupiah dari menampung nafsu
Apa aku akan teriak minta tolong?
Aku akan berbisik saja pada mereka yang peka, yang mau mendengar, yang berhati.”
Gadis penyair itu menghempaskan sobekan kertas yang digenggamnya kelantai, dia mengeluarkan kertas lainnya dari saku celananya. Di akan membacakan bagian selanjutnya sekaligus.
Bus kota semakin dipadati penumpang yang baru naik.  Mata ini sudah tak mampu menjangkau penampakan gadis penyair itu, dia terhalang penumpang yang berjejal memenuhi bus. Suaranya tetap menggema menyaingi deru mesin bus dan lalulintas kota.
“Jika tembok yang membatasi hati ini runtuh
Kupastikan runtuhannya akan menimpamu
Menguburmu
Tangan kecil ini yang akan melakukannya
Membawamu menghadap Nya
Aku sudah menyiapkan pembelaan jika Dia mencap durhaka
Kau sendiri yang jadi alibiku
Aku tak takut dengan hukum dunia yang tak pernah adil.
Jika aku sudah membisikan hal ini
Maka akan terjadi
Jangan salahkan aku, jangan salahkan mereka yang tak mendengar
Karena aku hanya berbisik”.
Suara gadis penyair itu tak terdengar lagi, aku melihatnya turun dari bus. Dia turun dari panggungnya begitu saja, mengejutkan pengendara lain yang secara spontan membunyikan klakson. Semua mata melihat kearahnya, dia tak peduli−terus melangkah kemudian menghilang ditengah padatnya lalulintas kota meningalkan pesan dibalik syair-nya yang kelam.
****
Bus tidak terlalu ramai siang ini, penumpang hanya memenuhi kursi−tak ada yang berdiri. Sudah dua hari gadis penyair itu tidak tampil di panggung ini.
Aku mencuri baca sebuah artikel di koran yang dipegang penumpang, berita tentang “Pembunuhan seorang bapak oleh putrinya sendiri yang masih berusia lima belas tahun.” Aku jadi tahu dimana keberadaan gadis penyair itu sekarang, aku tahu arti bisikannya dalam syair yang beberapa hari belakangan dibacakannya. Dia sudah menutup tirai panggungnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar