Powered By Blogger

Kamis, 03 Mei 2012

Dialog



Angin hanya berhembus dari putaran kipas angin kamar, suasana tidak terlalu heningsuara detak jam dinding tak henti memainkan irama datar yang teratur. Jarumnya menunjukkan pukul dua dinihari. Terlihat, meskipun suasana ruangan kotak ini gelap tanpa cahaya. Tak ada alasan hanya terlihat begitu saja, atau tak lebih dari sekedar feeling? Terserah. Dari ruang gelap kita bisa melihat isi ruang terang, dari ruang terang kita tak bisa melihat isi ruang yang gelap. Selalu begitu.
Nunggu siapa?” suara seseorang atau makhluk apapun memecahkan kekhusyuk’an lamunan.
“Bukan siapa,” aku menjawab pertanyaannya. Tapi malah membuat dia makin bingung.
“Maksudnya bukan orang?” Tatapannya makin bingung. Rautnya menunjukan perasaan ganjil yang ditujukannya padaku.
Sebenarnya aku tidak melihat raut wajahnya, aku sendiri tidak yakin kalau lawan bicaraku ini punya wujud. Tapi kemungkinan dia menganggap ku gila, depresi atau suka berkhayal. Nah asumsi yang terakhir terdengar paling bagus.
“Tepat. Aku tidak menunggu seseorang.”
“Lantas apa?”
“Entahlah. Mungkin bisa disebut anugerah, ilham atau mukjizat.” Aku menjawab seadanya. Spontan yang ada dimulut. Entah harus menggambarkan sesuatu itu dengan apa. Mungkin; anugerah, ilham atau mukjizat bisa juga. Tapi mukjizat sepertinya berlebihan.
“Mukjizat, kau mengaku nabi sekarang?” aku tak menjawabnya.
Suasana hening, dia sudah pergi atau masih disebelahku? Persetan, ruangan ini gelap. Aku bahkan tidak bisa melihatnya dari tadi, hanya suara. Aku memilih melanjutkan saja dialog atau monolog ini. Yang jelas ada percakapan disini.
“Aku tidak mengaku nabi, Dia akan melaknatku nanti. Aku tidak seberani itu.”
Tak ada jawaban. Pikiranku bertanya, apa dia masih disini? Mendengar? Dan melanjutkan percakapan? Ahh aku tak peduli, aku terkadang berbicara sendiri. Itu cukup menyenangkan.
“Baik, mungkin menganggap itu sebagai mukjizatagak berlebihan.”
“Sebenarnya itu terserah pendapatmu saja. Aku bebas, tidak memeluk suatu agama. Tapi percaya akan adanya Tuhan. Dan sebisa mungkin menyembahnya.” Suaranya muncul kembali, melanjutkan percakapan.
“Emm, kedengarannya menarik. Bagaimana caranya?” Sekarang aku yang dibuat penasaran oleh ucapannya. Menarik juga dia.
“Tidak. Aku tidak akan memberitahu.”
“Kenapa?”
“Kau harus menyembah tuhan melalui agama, seperti yang selama ini kau lakukan.” Dia terdengar lebih bijak sekarang.
“Kenapa?”
“Kita berbeda. Maksudku, aku bukan makhluk sepertimu.” Dia benar – benar membuatku bingung sekarang. Baiklah, mungkin aku mengerti sedikit maksudnya. Tapi tentang dirinya, bukan tentang ucapannya mengenai Tuhan dan menyembah dengan agama.
“Bisa kau tarik kesimpulannya saja.” Ucapku agar perkataannya tak semakin membuatku menggaruk kepala.
“Aku bukan manusia. Aku tak perlu menghadap Tuhan dan tak perlu berakhir di surga atau bahkan hancur tersiksa dineraka. Kau akan kesulitan menyembah Tuhan tanpa melalui agama.”
“Perkataan mu masuk akal. Lanjutkan.” Aku menikmati kuliahnya. Hal yang tak pernah kurasakan diperkuliahan dunia nyata.
“Aku tidak mau melanjutkannya, aku takut salah ucap.” Dia terdengar semakin bijaksana sekarang. Mungkin aku bisa memintanya menemaniku tiap malam. Berdiskusi atau membicarakan apapun. Dia cukup menyenangkan sebagai lawan bicara.
“imagine there’s no heaven, it’s easy if you try, no hell below us, above us only sky.
Imagine all the people, living for today.” Potongan lagu imagine dari John Lennon, spontan keluar dari mulutku. Dengan irama. Seingatku aku tak pernah bernyanyi didepan orang. Aku pemalu. Tapi ini keadaannya lain, dia bukan orang dan aku tak tahu apa dia sebenarnya.
“Nyatanya itu tak akan pernah mudah. Seperti yang John katakan.” Dia menanggapi potongan lirik yang kunyanyikan.
“Ya, karena John hanya bermaksud menyinggung tentang perdamaian dunia. Bukan tentang surga, neraka, agama atau tuhan. Dia muak dengan peperangan yang diciptakan manusia, dengan berbagai alasan.” Ini hanya pandangan dan kesimpulanku dari lagu imagine.
“Hey, bagaimana dengan obrolan kita sebelumnya? Mengapa jadi melebar kesini? Mana dia tadi? Mana yang kau tunggu? Siapa atau apa itu yang kau tunggu?” Aku bisa merasakannya, banyak tanda tanya menghambur dari ucapannya. Aku tidak langsung menjawab peratanyaannya yang berderet itu. Aku tersenyum.
“Ayolah teruskan, kau membuatku penasaran.” Awalnya dia yang penasaran dengan ucapanku, lalu aku penasaran dengan ucapannya, kemudian dia kembali penasaran dengan ucapanku. Aku tersenyum. Ini agak lucu, menurutku.
“Aku menuggu, emm... akan terdengar agak lucu, kau boleh tertawa sesukamu nanti. Aku juga akan tertawa.”
“Emm, biarku dengar.” Dia terdengar tak sabar, tapi dia akan kecewa nanti. Rasa penasarannya tak akan setimpal dengan jawabanku.
“Aku menunggu imajinasi. Imajinasi Nya datang kepadaku dan memberi sesuatu. Apapun untuk kulihat dan ku olah jadi apapun.”
“Aku hampa tanpanya, imajinasi itu.” Tak ada suara tawa, dia tak tertawa. Kecewa mungkin.
“Emm, cukup menyentuh. Masuk akal. Tapi tak ada bagian lucunya.”
“Haha, maaf mengecewakan.”
“Nah itu baru ucapan yang lucu.” Dia sedikit tertawa sebelum berucap.
“Buka sekarang.” Aku bingung. Apa maksud ucapannya? Buka apa?
“Maksudnya?”
“Kau menungguku kan.” Menunggunya? Dia terlalu narsis atau apa? Atau dia..
“Aku apa yang kau sebut tadi. Sesuatu yang kau sebut seperti anugerah atau ilham. Itu sedikit membuatku kikuk. Itu termasuk pujian kan?” Aku mengerti ucapannya, sangat mengerti. Sebenarnya aku sempat berpikir dia hantu atau jin atau makhluk halus lainnya. Tapi untunglah dia bukan semua itu. Dia bisa membuatku histeris dengan penampakannya yang menyeramkan. Konyol.
“Hey, aku bisa mendengar pikiranmu. Kita sangat dekat sekarang.” Aku tidak terkejut lagi menanggapi ucapannya.
“Silahkan masuk. Aku siap kapanpun. Mahkluk atau sesuatu sepertimu memang selalu datang tiba – tiba kan? Tunjukan gambaran atau apapun itu sekarang.”
Aku melihat cahaya. Bukan. Bukan begitu, aku tak melihatnya, aku merasakannya. Pikiranku  akan bekerja seperti proyektor yang memproyeksikan segala apapun yang dia berikan. Memproses menjadi apapun nantinya, yang tak terencanakan.
Ruangan ini tetap gelap dan agak hening, hanya ada suara detak jam yang berdetak teratur. Tidak demikian didalam sinidipikiranku, banyak sekali proyeksi – proyeksi, suara – suara dan warna.
Aku mendengar suaranya lagi, tapi tidak melalui telingapikiranku. “Luar biasa,” aku menjawab pertanyaannya tentang perasaanku.
“Banyak,” kali ini dia bertanya tentang apa yang aku lihat, dengar dan rasakan.
Sepertinya dialog ini akan terus berlanjut. Meski dia tak mengeluarkan suara secara langsung, tapi aku bisa mendengarnya melalui pikiranku.
Dia meng-iyakan pendapatkudia menjelaskan, hal yang selama ini kuanggap diriku berbicara sendiri, ternyata aku sedang berdialog dengannya. Ternyata aku tidak berbicara sendiri, syukurlahaku pikir aku gila. Dia ada dalam kepalaku.
“Jadi kau teman imajinatif atau bagian dari diriku yang lain?” Aku bertanya tentang posisinya dalam diriku.
Dia menjelaskan agak panjang lebar dan tentunya hanya aku yang dengar. Kesimpulannya dia lebih suka dipanggil teman, karena kalau dia kuanggap bagian diriku yang lain, itu sama saja dengan aku bicara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar