Angin
hanya berhembus dari putaran kipas angin kamar, suasana tidak terlalu heningsuara detak jam dinding
tak henti memainkan irama datar yang teratur. Jarumnya menunjukkan pukul dua
dinihari. Terlihat, meskipun suasana ruangan kotak ini gelap tanpa cahaya. Tak
ada alasan hanya terlihat begitu saja, atau tak lebih
dari sekedar feeling? Terserah. Dari
ruang gelap kita bisa melihat isi ruang terang, dari ruang terang kita tak bisa
melihat isi ruang yang gelap. Selalu begitu.
“Nunggu siapa?” suara seseorang atau
makhluk apapun memecahkan kekhusyuk’an lamunan.
“Bukan
siapa,” aku menjawab pertanyaannya. Tapi malah membuat dia makin bingung.
“Maksudnya
bukan orang?” Tatapannya makin bingung. Rautnya menunjukan perasaan ganjil yang
ditujukannya padaku.
Sebenarnya
aku tidak melihat raut wajahnya, aku sendiri tidak yakin kalau lawan bicaraku
ini punya wujud. Tapi kemungkinan dia menganggap ku gila, depresi atau suka
berkhayal. Nah asumsi yang terakhir terdengar paling bagus.
“Tepat.
Aku tidak menunggu seseorang.”
“Lantas
apa?”
“Entahlah.
Mungkin bisa disebut anugerah, ilham atau mukjizat.” Aku menjawab seadanya. Spontan
yang ada dimulut. Entah harus menggambarkan sesuatu itu dengan apa. Mungkin;
anugerah, ilham atau mukjizat bisa juga. Tapi mukjizat sepertinya berlebihan.
“Mukjizat,
kau mengaku nabi sekarang?” aku tak menjawabnya.
Suasana
hening, dia sudah pergi atau masih disebelahku? Persetan, ruangan ini gelap.
Aku bahkan tidak bisa melihatnya dari tadi, hanya suara. Aku memilih
melanjutkan saja dialog atau monolog ini. Yang jelas ada percakapan disini.
“Aku
tidak mengaku nabi, Dia akan melaknatku nanti. Aku tidak seberani itu.”
Tak
ada jawaban. Pikiranku bertanya, apa dia masih disini? Mendengar? Dan
melanjutkan percakapan? Ahh aku tak peduli, aku terkadang berbicara sendiri.
Itu cukup menyenangkan.
“Baik,
mungkin menganggap itu sebagai mukjizatagak berlebihan.”
“Sebenarnya
itu terserah pendapatmu saja. Aku bebas, tidak memeluk suatu agama. Tapi
percaya akan adanya Tuhan. Dan sebisa mungkin menyembahnya.” Suaranya muncul
kembali, melanjutkan percakapan.
“Emm,
kedengarannya menarik. Bagaimana caranya?” Sekarang aku yang dibuat penasaran
oleh ucapannya. Menarik juga dia.
“Tidak.
Aku tidak akan memberitahu.”
“Kenapa?”
“Kau
harus menyembah tuhan melalui agama, seperti yang selama ini kau lakukan.” Dia
terdengar lebih bijak sekarang.
“Kenapa?”
“Kita
berbeda. Maksudku, aku bukan makhluk sepertimu.” Dia benar – benar membuatku
bingung sekarang. Baiklah, mungkin aku mengerti sedikit maksudnya. Tapi tentang
dirinya, bukan tentang ucapannya mengenai Tuhan dan menyembah dengan agama.
“Bisa
kau tarik kesimpulannya saja.” Ucapku agar perkataannya tak semakin membuatku
menggaruk kepala.
“Aku
bukan manusia. Aku tak perlu menghadap Tuhan dan tak perlu berakhir di surga
atau bahkan hancur tersiksa dineraka. Kau akan kesulitan menyembah Tuhan tanpa
melalui agama.”
“Perkataan
mu masuk akal. Lanjutkan.” Aku menikmati kuliahnya. Hal yang tak pernah
kurasakan diperkuliahan dunia nyata.
“Aku
tidak mau melanjutkannya, aku takut salah ucap.” Dia terdengar semakin
bijaksana sekarang. Mungkin aku bisa memintanya menemaniku tiap malam.
Berdiskusi atau membicarakan apapun. Dia cukup menyenangkan sebagai lawan
bicara.
“imagine there’s no heaven, it’s easy if
you try, no hell below us, above us only sky.
Imagine all the people, living for
today.” Potongan lagu imagine
dari John Lennon, spontan keluar dari mulutku. Dengan irama. Seingatku aku tak
pernah bernyanyi didepan orang. Aku pemalu. Tapi ini keadaannya lain, dia bukan
orang dan aku tak tahu apa dia sebenarnya.
“Nyatanya
itu tak akan pernah mudah. Seperti yang John katakan.” Dia menanggapi potongan
lirik yang kunyanyikan.
“Ya,
karena John hanya bermaksud menyinggung tentang perdamaian dunia. Bukan tentang
surga, neraka, agama atau tuhan. Dia muak dengan peperangan yang diciptakan
manusia, dengan berbagai alasan.” Ini hanya pandangan dan kesimpulanku dari
lagu imagine.
“Hey,
bagaimana dengan obrolan kita sebelumnya? Mengapa jadi melebar kesini? Mana dia
tadi? Mana yang kau tunggu? Siapa atau apa itu yang kau tunggu?” Aku bisa
merasakannya, banyak tanda tanya menghambur dari ucapannya. Aku tidak langsung
menjawab peratanyaannya yang berderet itu. Aku tersenyum.
“Ayolah
teruskan, kau membuatku penasaran.” Awalnya dia yang penasaran dengan ucapanku,
lalu aku penasaran dengan ucapannya, kemudian dia kembali penasaran dengan
ucapanku. Aku tersenyum. Ini agak lucu, menurutku.
“Aku
menuggu, emm... akan terdengar agak lucu, kau boleh tertawa sesukamu nanti. Aku
juga akan tertawa.”
“Emm,
biarku dengar.” Dia terdengar tak sabar, tapi dia akan kecewa nanti. Rasa
penasarannya tak akan setimpal dengan jawabanku.
“Aku
menunggu imajinasi. Imajinasi Nya datang kepadaku dan memberi sesuatu. Apapun
untuk kulihat dan ku olah jadi apapun.”
“Aku
hampa tanpanya, imajinasi itu.” Tak ada suara tawa, dia tak tertawa. Kecewa
mungkin.
“Emm,
cukup menyentuh. Masuk akal. Tapi tak ada bagian lucunya.”
“Haha,
maaf mengecewakan.”
“Nah
itu baru ucapan yang lucu.” Dia sedikit tertawa sebelum berucap.
“Buka
sekarang.” Aku bingung. Apa maksud ucapannya? Buka apa?
“Maksudnya?”
“Kau
menungguku kan.” Menunggunya? Dia terlalu narsis atau apa? Atau dia..
“Aku
apa yang kau sebut tadi. Sesuatu yang kau sebut seperti anugerah atau ilham. Itu
sedikit membuatku kikuk. Itu termasuk pujian kan?” Aku mengerti ucapannya,
sangat mengerti. Sebenarnya aku sempat berpikir dia hantu atau jin atau makhluk
halus lainnya. Tapi untunglah dia bukan semua itu. Dia bisa membuatku histeris
dengan penampakannya yang menyeramkan. Konyol.
“Hey,
aku bisa mendengar pikiranmu. Kita sangat dekat sekarang.” Aku tidak terkejut
lagi menanggapi ucapannya.
“Silahkan
masuk. Aku siap kapanpun. Mahkluk atau sesuatu sepertimu memang selalu datang
tiba – tiba kan? Tunjukan gambaran atau apapun itu sekarang.”
Aku
melihat cahaya. Bukan. Bukan begitu, aku tak melihatnya, aku merasakannya. Pikiranku akan bekerja seperti proyektor yang
memproyeksikan segala apapun yang dia berikan. Memproses menjadi apapun
nantinya, yang tak terencanakan.
Ruangan
ini tetap gelap dan agak hening, hanya ada suara detak jam yang berdetak
teratur. Tidak demikian didalam sinidipikiranku, banyak
sekali proyeksi – proyeksi, suara – suara dan warna.
Aku
mendengar suaranya lagi, tapi tidak melalui telingapikiranku. “Luar
biasa,” aku menjawab pertanyaannya tentang perasaanku.
“Banyak,”
kali ini dia bertanya tentang apa yang aku lihat, dengar dan rasakan.
Sepertinya
dialog ini akan terus berlanjut. Meski dia tak mengeluarkan suara secara
langsung, tapi aku bisa mendengarnya melalui pikiranku.
Dia
meng-iyakan pendapatkudia menjelaskan, hal
yang selama ini kuanggap diriku berbicara sendiri, ternyata aku sedang
berdialog dengannya. Ternyata aku tidak berbicara sendiri, syukurlahaku pikir aku gila. Dia
ada dalam kepalaku.
“Jadi
kau teman imajinatif atau bagian dari diriku yang lain?” Aku bertanya tentang
posisinya dalam diriku.
Dia
menjelaskan agak panjang lebar dan tentunya hanya aku yang dengar.
Kesimpulannya dia lebih suka dipanggil teman, karena kalau dia kuanggap bagian
diriku yang lain, itu sama saja dengan aku bicara sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar