Powered By Blogger

Selasa, 03 Mei 2011

Bocah Hujan

Air satu, puluhan, ratusan, ribuan, jutaan, milyaran, triliun, diatasnya hingga tak terhitung turun bersama akhirnya menyelimuti sebagian bumi seperti garis – garis arsiran yang biasanya memberi efek atau kesan bayangan pada gambar hitam putih di kertas gambar, itu salah satu yang kuingat dari pelajaran favoritku menggambar. Dari corak arsiran garis rapat, air membentuk tirai menyejukkan bersama awan tebal bercorak kelabu seperti kumal tapi tidak menjijikan dihembus angin yang merayu menerpa apapun yang dilaluinya membawa awan menyembunyikan matahari sejenak menahan panasnya mengganti dengan kesejukan terkadang cenderung dingin. Masih sama seperti dulu tetesannya, aromanya aroma hujan terdengar aneh memang tapi aku suka mengendus mencari – cari harumnya hujan, entah sesama bodoh atau sama – sama menyukai suasana ini tapi adasaja yang sependapat denganku tentang wangi hujan. Menenangkan aroma terapi alami ciptaanNYA, bagi hidungku khusunya dan orang – orang yang sependapat.
Masih suasana yang sama, orang – orang berlarian dengan menutupi kepala seadanya dengan apapun yang anti air bahkan dengan lima jari yang satu ini terlihat sia – sia, beberapa menepi dibawah perlindungan apapun intinya bisa melindungi dari hujan. Tingkah mereka berlawanan dengan bocah yang satu ini, dengan berseragam putih merah berjalan santai dengan senyum ingar bingar yang cerah kontras sekali dengan suasana langit yang abu – abu takbersinar hanya gumpalan awan angin dan siraman air sesekali celotehan petir yang didahului kedip kilat membentuk garis – garis kaku tidak tergaris rapih cenderung patah – patah menekuk dan sedikit bersudut yang satu ini agak menyeramkan apalagi suara gelegar yang mengikutinya, lebih keras dan memyeramkan dari suara musik metal, hardcore sayatan gitar listrik dengan efek apapun itu. Suasana yang membuat orang berhenti untuk mencari perlindungan, tapi tidak dengan bocah yang satu ini, senyumnya seperti menantang coretan kilat berbalut gemuruh petir seraya meneriakkan dengan lantang sedahsyat petir “ Aku tidak takut, silahkan angin hembuskanlah, awan gandrungi langit segelap apapun, petir teriakan gemuruhmu lengkap dengan kilatannya” dan yang paling keras ditujukan pada hujan “ sirami, basahi, genangi turunkan semua air yang kau punya”. Terdengar sombong memang, tapi itu Cuma gambaran saja dari gesture bocah itu, dia tidak meneriakan sepatah katapun hanya mungkin hanya sedikit gelak tawa yang sesekali keluar dengan spontan bersama senyumnya.
Hari semakin dingin, hujan beserta rombonganya sekamin menjadi. Bocah melangkah mantap dibawah air menembus hujan, kakinya dihentakan pada genangan air yang memantulkan cerminan dirinya. Berhadapan bocah itu dengan genangan yang cukup besar, dipandanginya sendiri cerminan dirinya yang tergambar digenangan air keruh kecokelatan. Tersenyum dirinya menatap kembarannya yang dibuat genangan air, dengan mantap diangkat kaki kanannnya dan menghentakkannya digenangan dirinya itu. Senyumnya mengembang diikuti gelak tawa butiran percikan air berhamburan beberapa centimeter dari tanah, bocah itu menatap beberapa butiran air yang terlepas dari genangan dia bisa melihat pantulan wajahnya dari butiran air yang menghambur itu yang sebagian menempel dipakaiannya memberikan corak cokelat takberaturan. Gelak tawa sejenak seperti merayakan kemenangan setelah dia menghempasakan seseorang yang tergambar digenangan air. Banyak tatapan mengarah kepada bocah itu dari beberapa orang yang berteduh menghindari hujan disekitarnya, mencaci sebagian tersenyum terhibur dan beberapa lagi terheran – heran melihat tingkah si bocah.
Beberapa detik kilatan cahaya mengedip dari langit membentuk bayangan si bocah di tanah basah, tak perlu menunggu waktu lama sambaran gemuruh petir menggelegar dari sebelah kanan bocah itu, senyum tipis menyirat sedikit mungkin bermakna “hampir saja”. Bocah masih terdiam ditempat, “ hey bocah, cepat berlari pulang berlindung pada ibumu dan keringkan badanmu” teriak laki – laki tua yang berteduh tak jauh dari bocah berdiri. Bocah menengadahkan wajahnya kelangit awan gelap, coretan kilatan petir, air hujan yang terlihat samar – samar dibalas senyum bocah. Kilat kembali mengedip membuat bayangan bocah ditanah dalam tempo sangat cepat, diikuti gelegar petir yang terdengar dari telinga sebelah kiri bocah. Kakinya melangkah langkahnya makin cepat langkah nya berubah menjadi sedikit berlari larinya semakin cepat, sampai di sudut tikungan jalan kakinya tak menapak dengan mantap, kaki kiririnya selip menyenggol kaki kanan bocah terjatuh di tanah basah jatuh tertelungkup dia tidak segera bangkit, tapi membalikan badannya menjadi telentang bertatapan dengan langit yang masih meneteskan hujan. Dia menatap kemudian memejamkan matanya menikmati keadaannya yang basah bergumul dengan hujan, mungkin kalau orang dewasa merasakan orgasme diapun seperti merasakan hal yang sama.
Awan gelap belum bergeser dari tangkapan mata, air mengalir disungai berlomba berangsur tanpa putus kodok ditepian bernyanyi seperti ritual memanggil hujan atau ritual untuk mensyukuri datangnya hujan. Bocah berjalan menyusuri sungai tanpa pagar melihat arus air buih keputihan sampah menyatu berjalan bersama ketujuan yang sama bermuara kemuara yang sama. Mata sang bocah menatap dengan focus seperti terbawa seretan arus sungai, terombang ambing basah berbuih diiringi paduan suara kodok disepanjang sungai. Bocah mengamati kodok yang berbaris dipinggir sungai sementara dirinya masih terhanyut mengikuti aliran sungai, dia melihat kearah mulut kodok karena penasaran akan alunan harmonisasi nyanyian hujan dari mulut kodok. “mereka bukan bernyanyi mereka berdo’a “ tarikan kesimpulan sementara dari sang bocah. “mengapa kalian berdo’a, apa yang kalian munajatkan?” bocah bertanya pada sekumpulan kodok dipinggir sungai, sambil memegang akar pohon yang menjulur ditepian sungai untuk menahannya sementara agar tidak mengalir bersama air. “memang kami berdo’a, bukan bernyanyi seperti persepsi manusia selama ini. Tidakkah kau mengetahui saat hujan adalah salah satu waktu yang baik untuk berdo’a. Hujan adalah berkahNYA, dan memohonlah engkau untuk rahmatNYA saat berkahNYA turun.”
Cipratan air dari sepeda motor yang melintas menyentak bocah untuk kembali pada kenyataan. Dilihatnya ke langit tapi yang terlihat hanya kelabu selimut awan diselingi kilatan petir. Gelegar terasa begitu dekat dari sang bocah, dia berlari sementara angi berhembus berlawanan dengan lajunya. Tusukan jarum air menghujam pada dirinya, matanya menyipit menahan terpaan angin dan hujaman jarum air. Kilat melintas diatas kepalanya petir menyusul sambaran tepat pada pohon yang baru dilewatinya, bocah menoleh kearah pohon tua yang sebagian terbakar terbelah ranting berjatuhan daun tak lagi hijau kebanyakan mengering dan hancur badan pohon tua terbelah tak merata tak sama besar di bagian tebasannya menyala api merah yang tak gentar ditengah hujan bergoyang dihembus angin membantunya menyebar kebagian batang pohon yang lain. Bocah berlari agak pucat wajahnya, dia berpikir hujannya tak lagi bersahabat. Jalan aspal meronakan paduan warna seperti pelangi bocah terpeleset aroma minyak tanah tercium dari tempatnya jatuh di bagian yang berwarna seperti pelangi yang tak lain campuran air dan sedikit tumpahan minyak tanah. Setelah bangkit bocah hanya bejalan sambil menahan memar dengkulnya, kilat mengedip sambaran petir menggelegar bocah kembali berlari dilupakannya rasa sakit dan memar didengkulnya. sejenak dia masih sempat tersenyum teringat hujatan gurunya disekolah saat dia melakukan kebodohan, bersikap membangkang “ otakmu didengkul ya!!” dengan nada membentak dan ekspresi wajah yang tidak pantas ditunjukan oleh pahlawan tanpa tanda jasa kepada anak yang masih perlu banyak belajar dari kesalahan. Kalau otaknya didengkul mungkin dia sudah gegar otak karena benturan dengkulnya dengan aspal saat dia jatuh, sekarang dia punya senjata untuk membalas hujatan gurunya tapi dia tahu itu tak harus diucapkan.
Langkahnya seperti terhambat semakin berat, dia menundukan kepalanya dilihat kearah kakinya dengkulnya mengeluarkan darah tapi bukan itu yang menghambatnya, melainkan genangan air keruh cokelat yang menggenanginya setinggi matakaki. Bocah berusaha berlari, dia hanya mendapat beberapa meter dari usahanya keringat menyatu dengan air hujan dari kepala sampai kaki membawa serta darah dari dengkulnya mengalir melewati kakinya sampai di genangan air yang membanjiri jalannya. Dia kelelahan melawan air banjir dia berlutut seperti prajurit yang ditodongkan senjata oleh lawannya dalam perang, kelelahan tak berdaya. Bayangannya tercermin digenangan air, bayangannya tersenyum tapi tidak dengannya seperti memancarkan dirinya dalam kondisi sebelumnya, sebelum melihat sambaran petir yang dengan kejam membelah pohon tua. Sekarang ekspresinya mengkerut takut, bayangnnya masih tersenyum bahkan tertawa menertawakan dirinya dengan muka pucat tangan gemetar merinding berpadu dingin dan takut. Kilatan cahaya memecah bayangannya gelegar petir menggelegar, bocah bangkit mencoba berlari hanya beberapa meter dia sudah berhenti karena lelah berlari melawan air yang menggenanginya, dia hanya berjalan disusul kilatan dan petir yang menggelegar, dia berhenti melangkah mendongakkan wajahnya menatap awan tebal kelabu yang terlihat muram kilat dan petir menggertaknya bocah tersenyum. Dalam keadaan tak berdaya tak mampu melawan, bocah berpikir tak ada gunanya lagi takut. Petir terlihat lebih tenang seiring suasana hatinya, dia melanjutkan perjalanannya berjalan gontai dengan langkah yang terseret melawan arus air.
Kilat menyinari diatas kepalanya, 1 2 3 detik petir menyambar deras kearah kilatan cahaya tadi, bocah sudah tak terlihat diikuti suara hiseteris wanita dari dalam rumahnya. Bau gosong daging terbakar, sekarang si bocah bebas berlari bermain tertawa disetiap hujan turun tanpa ada yang harus ditakuti, tanpa harus merasakan basah secara fisik tanpa harus takut petir, karena sekarang dia bagian dari hujan. Setiap hujan ada air awan mendung angin kilat petir dan si bocah. Bocah hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar