Powered By Blogger

Sabtu, 07 Mei 2011

Mencari Damai

Mencari Damai

Terbangun dari tidur yang rasanya hanya sebentar, aku bahkan tidak ingat apakah tadi aku sempat bermimpi atau tidak. Sepertinya memang aku tadi tidak bermimpi, hampa rasanya tidur tanpa bermimpi karena paling tidak aku bisa merasakan sesuatu yang tidak bisa aku capai di dunia nyata tapi terkadang aku bisa mendapatkannya di alam mimpi. Tapi belakangan ini aku tidak pernah mendapatkan mimpi di saat tidur, mungkin juga karena tidur ku yang tidak terlalu lama bahkan tidak terlalu pulas. Aku nyalakan lampu kamar, aku arahkan pandangan ke jam dinding yang terpaku di dinding kamar. Jarum pendek menunjuk di angka dua dan jarum panjang menunjuk angka satu, jam dua dinihari aku terjaga di tengah sunyi seperti hari kemarin. Aku berdiri beranjak dari ranjang, aku ambil minuman alkohol di atas meja, aku tenggak tanpa gelas sambil berharap pikiran ku akan lebih tenang dari sebelumnya. Satu teguk dua teguk tiga teguk aku belum menemukan ketenangan dan rasa damai di kepala dan hatiku, aku bakar lintingan ganja sambil menghisap dalam-dalam sampai terasa memenuhi paru-paru aromanya terhisap kedalam otak melalui lubang hidungku, sambil terbatuk aku masih merasakan semua gusar dan penat yang memenuhi kepala. Aku masih tidak juga menemukan kedamaian dalam hati ini, aku tenggak lagi alkohol yang masih setengah botol sambil berharap semoga aku segera menemukan kedamaian dengan bantuan barang-barang ini. Alkohol telah habis kuminum ganja pun sudah menyatu kedalam paru-paru, yang kurasakan hanya pusing dikepala tanpa mendapat ketenangan sedikit pun bahkan suara detak jarum jam setiap detiknya begitu mengganggu kupingku,.
Mata merah karena kurang tidur dan pengaruh zat yang aku konsumsi tadi, aku seperti melihat bintang bintang yang berputar mengelilingi kepalaku yang bahkan bintang-bintang di langitpun tidak ada tertutup awan mendung. Aku duduk dilantai di pojok kamar yang tidak jauh dari jendela, kubuka sedikit tirai yang menutupi jendela dan kulemparkan pandangan kejalan di samping rumah. Aku hanya termangu dengan tatapan kosong diikuti hujan yang turun mendinginkan malam. Ayam berkokok hujan telah berhenti sejak tadi, matahari pun perlahan mulai naik dan menyebarkan sinarnya, aku masih melihat dari jendela semua orang sudah mulai dengan kegiatannya hari ini tapi aku masih duduk dengan tatapan kosong di lantai yang dingin, padahal hari ini ada kelas pagi jam delapan. Aku sudah tidak berminat mengikuti kuliah, fakultas teknik  yang tidak aku sukai dan ku anggap sebuah kesalahan karena memilih itu. Matahari sudah semakin naik aku meniggalkan rumah tanpa arah yang jelas, berputar mengelilingi padatnya Jakarta berpindah-pindah angkutan umum melihat sekeliling mencari kedamaian, pemandangan yang menyenangkan. Banyak orang disini tapi aku merasa sepi karena tidak ada yang ku kenal, handphone tak bersuara tak ada panggilan tak ada pesan tak ada yang menanyakan ku saat aku tidak ada diantara mereka sepi terasa kehidupan ini, punya teman tapi aku seperti tidak melihat mereka, keluarga memperhatikan tapi aku yang merasa tak nyaman oleh semua perhatian mereka, bahkan aku tak mampu mengungkapkan perasaan ke perempuan yang aku suka dan aku perhatikan diam-diam
. Hari sudah melewati setengahnya tapi matahari tidak tampak di atas kepala karena langit tertutup awan mendung yang tebal. Kilat berselingan dengan petir yang bergemuruh diikuti hujan mendadak aku merasa takut seperti anak kecil yang kehilangan seorang ibu di tengah badai. Hujan turun semakin deras, aku berlari menghindarinya tapi hujan itu tidak turun dari belakang jadi aku tidak bisa kabur menghindari nya secepat apapun aku berlari. Ketika sedang berlari aku melihat masjid, aku memang muslim tapi aku sudah lama tidak menginjakan kaki di tempat itu. Karena hujan semakin deras aku beranikan masuk ke masjid, tapi aku hanya berhenti di pekarangan masjid yeng memang sudah beratap jadi aku tidak kehujanan meskipun tidak masuk kedalam masjid. Aku masih berdiri di halaman menatapi hujan yang terus menjadi-jadi derasnya, aku melihat pria tua baru datang memasuki halaman gerbang masjid, dia melintas di hadapanku dia melihatku sambil melemparkan sedikit senyum tanpa sungkan karena kita tidak saling mengenal. Aku menoleh kearahnya yang sudah membelakangi ku, entah karena mataku terganggu atau memang nyata bajunya tidak basah terkena hujan, padahal dia tidak memakai payung atau pelindung apapun dan dia berjalan dibawah hujan dengan santai tanpa berlari sepertiku tadi. Setelah merenungkannya sebentar aku menoleh ke belakang kedalam masjid ku lihat pria tua itu sedang sholat, aku kembalikan lagi pandangan kedepan kearah hujan yang belum berhenti bahkan semakin deras, aku menoleh kembali kedalam masjid dan tak kutemui lagi pria tua itu, aku terheran sambil bertanya-tanya kemana dia?
Hujan semakin deras udara semakin dingin, aku tak tahan maka aku beranikan diri memasuki masjid setelah bersuci terlebih dulu, aku tidak tahu apakah tubuhku ini sudah bersih, bahkan aroma alkohol pun masih tercium dari tubuhku begitu juga bau asap ganja masih tercium dari hela nafasku. Aku sempat bimbang dan menghentikan langkah sesaat, tiba-tiba terlintas dipikiranku sesuatu yang memberanikan diri untuk melangkah masuk masjid,”hujan ini, hujan yang diturunkannya ini ku anggap sebagai jalan yang ditunjukannya mengantarku untuk berlindung dan bersujud kepadanya” mudah-mudahan benar adanya. Aku menyembahnya aku berdo’a aku bertanya kepadanya,
“ tuhan dimana kedamaian yang aku cari selama ini, mengapa hati ini terus gelisah banyak pertentangan menyesali semua tidak pernah merasa senang dengan keadaan ini?”.
Tiba-tiba ada yang berkata dari sebelah kanan ku,
“ kau duduk berlama-lama karena berdo’a atau menghindari hujan?” ,
aku menghiraukannya sambil tidak menoleh kearah pemilik suara itu, tapi dia mengulangi pertanyaannya,
“ kau duduk berlama-lama karena berdo’a atau menghindari hujan?”
kali ini aku menoleh kearahnya tapi tidak menjawab pertanyaannya, ternyata pria tua tadi yang kutemui di depan masjid. Kembali dia mengulang pertanyaannya,
“ kau duduk berlama-lama karena berdo’a atau menghindari hujan?”,
aku lagi-lagi tidak menjawabnya, aku langsung bergegas pergi keluar masjid menuju sepatuku yang aku tinggalkan didepan pintu masjid aku memakai sepatu aku berniat berjalan meskipun hujan masih deras, pria tua itupun mendekatiku dan berkata,
“ aku bisa membaca matamu yang sedang menahan tangis, apa kau malu untuk menangis bahkan didepan tuhan mu? Menangislah didalam do’a mu dihadapannya “.
Aku masih menghiraukannya akupun berdiri menandakan aku siap berjalan dibawah hujan. Aku berjalan meninggalkan masjid dan pria tua itu, berjalan dibawah hujan tubuhku basah. Aku memikirkan perkataan pria tua tadi, memang benar mataku menahan tangis setelah keluhan yang begitu banyak yang aku ungkapkan dalam do’a ku tadi. Ada benarnya perkataan pria tua itu, aku malu mengeluarkan air mata, maka dari itu aku memutuskan berjalan dibawah hujan tanpa menyari tempat teduh lain selain masjid tadi. Sekarang aku bisa mengeluarkan airmata tanpa diketahui oranglain karena air mataku hanyut dan tersamarkan oleh air hujan. Aku menangis sambil melanjutkan do’a yang tadi sempat terhenti dengan terus berjalan,
“ Tuhan dimana kedamaian, dimana aku bisa menemukan kedamaian untuk menenangkan jiwa dan pikiranku dan jika mati itu menemukan kedamaian maka cabutlah nyawaku atau nanti aku yang akan menciptakan kematian untuk diriku sendiri, tuhan mungkin orang lain tidak tahu aku menangsis saat ini, tapi engkau tetap saja tahu, maka sebenarnya aku berdo’a memohon kepada mu dengan tulus dan diikuti airmata “.
Pikiranku tidak lagi menentu aku melewati persimpangan jalan, aku tidak lagi memperhatikan langkahku. Tiba-tiba sesuatu menghantamku dari samping dan aku terpental beberapa meter akupun merasakan benturan dikepalaku, terkapar tubuhku di atas aspal dingin, air hujan terus menghujani tanpa belas kasihan, tubuh menyatu dengan air genangan yang berwarna kecoklatan yang menghanyutkan darah ke saluran drainase hingga ke muara sungai dan berakhir di lautan. Aku tak yakin aka nada yang menolongku di tengah badai seperti ini, setelah itu semua gelap. Beberapa saat kemudian aku sudah bisa melihat lepas dari tempat gelap tadi, tapi tempat apa ini? Ini tempat yang asing.
“apa aku sudah sampai di dunia setelah kehidupan?”.
Pemandangan begitu menyeramkan banyak jeritan, hawa panas menyengat. Aku masih bingung tempat apa ini, apa aku sudah berakhir di neraka? Aku benar-benar marasa takut sekarang, melebihi rasa takut saat aku berlari dibawah badai tadi. Ada apa ini, dimana aku? Tiba-tiba terdengar orang berbicara disampingku, berbicara kepadaku,
“ kau mencari kedamaian dan ketenangan untuk hati mu bahkan dengan menciptakan kematian ? sesungguhnya inilah yang kau dapatkan jika kematian menjemputmu saat ini, kau akan berakhir di neraka tanpa mendapat kedamaian dan ketenangan untuk hatimu”. Aku terkejut, ternyata dia pria tua tadi yang berbicara kepadaku, aku berlari menghindarinya dan aku mendengar dia berteriak,
 “ kedamaian berasal dari jiwa dan hati yang bersih nak! Jika engkau hanya mengeluh dan menghitamkan hatimu dengan perbuatan mu, maka kau tak akan merasa damai”.
Aku berhenti berlari begitu aku tidak mendengar suara pria tua itu, aku menoleh dan tidak kutemukan wujudnya di belakangku, aku berlutut dan berkata ”tuhan bila ini bukan waktu ku untuk mati, maka kembalikanlah aku kedunia, aku tidak akan menciptakan kematian ku lagi karena aku belum mau mati dan aku masih mau mencari kedamaian di dunia aku masih ingin ke tempat ibadah mu tanpa menghindari badai dunia tapi untuk menghindari badai yang ada dalam hatiku karena perbuatanku dan aku ingin menghargai semua perhatian keluargaku, bersikap ramah terhadap teman-teman yang menyapaku dan bilang cinta ke Sully apapun respon yang dia berikan. Tiba-tiba aku bertemu dengan ruang gelap lagi beberapa saat kemudian aku sudah bisa melihat sekitar, aku tdak tahu dimana ini ranjang putih selimut tirai hijau dan alat bantu pernapasan serta infuse yang menancap ditangan kiri. Terima kasih tuhan aku masih hidup dan hanya berakhir dirumah sakit. Aku berbisik pada hatiku sendiri
 “ maaf hatiku, aku membawamu ketempat yang gelap tanpa cahaya sedikitpun hanya lembah hitam menuju kehancuran”.
Dan berbisiklah aku juga untuk nurani,
“mengapa kau tidak mengingatkanku sampai sudah sejauh ini aku tersesat dalam kebodohan yang mencelakakan diri ini”.
Kita adalah satu kesatuan, bila pikiran tidak sejalan dengan hati maka kebimbanganlah yang kita temui, karena sebenarnya setiap kita melakukan sesuatu kita harus menggunakan hati dan pikiran agar menemukan keseimbangan tanpa rasa galau dan pertempuran dalam diri kita sendiri yang akhirnya membuat kita bimbang ragu dan melakukan hal bodoh, bahkan kita tidak menemukan kedamaian dalam diri kita dan selalu menyalahkan keadaan.

11/25/2010 1:11:16 AM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar