Powered By Blogger

Kamis, 26 April 2012

Aku Tidak Sakit



Aku merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian. Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang dirikuapa yang kurasakan. Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka – angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini dia yang menafkahi ku.
Sully punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau sayang aku?”
“Tentu saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau cinta aku?”
“Tentu saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa. Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi. Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau menikah dalam waktu dekat?
Bahkan pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak mungkin. Kecuali....
“Kamu enggak mau?”
“Kamu enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?” Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan calon anak kami.
Sudah dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya, dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai pengangguran.
Ibuku terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia mungkin masih agak shock dengan pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar, merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka dan inputan data – data di layar komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan keluarga.
Lengkingan suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan, sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih melihat Sully tersenyum dalam background ruang yang hitam.
****
Aku terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk tubuhnya.
“Badanmu dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana anak kita?”
“Masih sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih pelan.
Hari – hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana hangat kembali.
Tapi ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka, ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku mengatakan pada mereka,
“Sully agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat Sully membangunkanku.
****
Pagi yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin, dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku pedulikan quality time bersama Sully.
Aku semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh. Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup, kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully dimalam berikutnya.
“Dia tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani terdengar sangat emosional.
“Dokter bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.” Ibuku menenangkan Rani.
“Aku muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok, bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan guling?”
“Mungkin Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak Rani.
“Adam yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk, menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini jelas bAku Tidak Sakit
Aku merasa baik – baik saja, bahkan dokter dan perawat juga berpendapat demikian. Menurutku. Mereka tidak memberi obat, hanya menanyai beberapa hal aneh tentang dirikuapa yang kurasakan. Tentu saja aku bilang; “aku merasa baik”.
Sully memang tahu benar keadaanku. Dia tidak pernah bilang aku sakit. Dia tidak pernah membesuk ku saat aku dua hari menginap dirumah sakit. Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai akuntan. Dia memang selalu sibuk, bahkan dirumah pun tak jarang dia masih asik bertatapan dengan laptopnyamemanjakan angka – angka yang dengan genit menarik perhatiannya. Tapi akhir – akhir ini dia bilang akan berhenti. Dia ingin menjadi istri yang sebenarnya, yang sibuk dengan urusan rumah tangga. Aku senang dengan pernyataannya, meski untuk sementara ini dia yang menafkahi ku.
Sully punya alasan lain. Bukan karena dia sibuk dengan angka – angka di lembar kerjanya. Dia bilang, dia sependapat denganku. Aku tidak sakit, dia menolak membesukku karena alasan itu. Aku tidak sakit dan tidak perlu di besuk. Ibuku dan kakak perempuanku memang orang aneh, mereka membawaku ke rumah sakit. Aku tidak sakit, dan aku merasa baik.
****
“Kau sayang aku?”
“Tentu saja,” aku menjawab cepat pertanyaan Sully.
“Kau cinta aku?”
“Tentu saja. Ada apa?” Aku bingung dengan pertanyaannya.
“Nikahi aku secepatnya.” Pernyataan Sully mengagetkanku.
Jujur saja aku belum siap, aku masih dua puluh tiga tahun dan tidak punya apa – apa. Aku pernah memasang target menikah diatas usia dua puluh lima, dua puluh tujuh atau dua puluh delapan mungkin. Bahkan aku belum wisuda, masih tiga bulan lagi. Aku pengangguran, aku nafkahi apa dia nanti? Dan tentu saja, pernikahan butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu apa reaksi keluargaku nanti, jika mengatakan mau menikah dalam waktu dekat?
Bahkan pernikahan Rani, kakak perempuanku masih awal tahun depan. Itupun sudah direncanakan, bagaimana dengan yang tiba – tiba seperti ini? Rasanya tidak mungkin. Kecuali....
“Kamu enggak mau?”
“Kamu enggak siap, takut atau apa?” Sully memberondongku dengan pertanyaan.
“Ini terdengar agak aneh dan terlalu terburu – buru. Aku belum siap dalam segi apapun.” Begitu pembelaanku.
“Tapi kita harus.” Aku bingung dengan kata “harus” yang dikatakannya.
“Harus?” Aku mengirim isyarat pertanyaan.
“Bayi lahir dalam usia kandungan sembilan bulan. Begitupun calon anak kita.”
Ini yang kumaksud tadi. Ini maksud dari kata “kecuali” dalam pikiranku. Sully tampak mengelus perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Aku hanya bisa berkeringat dengan degup jantung tak keruan.
****
Aku mulai pontang – panting mencari kerja. Bahkan sebelum upacara peresmian gelar sarjanaku dilaksanakan. Wisuda, aku sudah tak peduli lagi. Ada hal lebih penting yang bersemayam dipikiranku dari pada upacara itu. Aku punya Sully dan calon anak kami.
Sudah dua bulan semenjak acara resepsi pernikahan aku masih menganggur. Aku tidak mau terus begini, termasuk masih tinggal bersama orangtua. Aku tidak mau berakhir seperti tetanggaku yang menumpuk cucu dirumah orang tuanya. Sully lebih siap dengan semua ini, dia memang selalu berpikir lebih dewasa dari pada aku. Ya, dia memang lebih tua empat tahun dariku. Dia sudah bekerja sebagai akuntan dua tahun belakangan ini. Dia tidak mempermasalahkan hal itu, statusku sebagai pengangguran.
Ibuku terlihat semakin kurus dan rambutnya semakin berganti kelir warna putih. Dia mungkin masih agak shock dengan pernikahanku yang tiba – tiba dan calon cucunya yang diperkirakan dalam tujuh bulan akan menambah anggota keluarga kami. Gunjingan, cibiran dan apapun yang buruk – buruk tentang pernikahanku dengan Sully yang tiba- tiba. Hal – hal semacam itu yang berperan memicu uban dan penurunan berat badannya.
****
Pikiranku melayang kemana – mana. Bercabang seperti tanaman rambat. Membelit pagar, merayap ditanah, menjuntai dan menggantung dicelah – celah lubang pagar.
Angin dingin sore yang mendung hari terasa menerpa dari arah depan, aku melaju seperti melawan arus. Sully memelukku dari belakang di jok belakang motor. Aku merasakan kelelahannya setelah seharian bekerja, bergelut dengan angka – angka dan inputan data – data di layar komputer. Aku menjemputnya dari tempat kerjanya. Sejauh ini hanya itu kontribusiku untuk keluarga kecil kami.
Kami bahagia dengan keluarga kecil kami, kami berdua. Semenjak kami tinggal bersama dirumah keluargaku, suasana rumah menjadi terasa dingin. Aku tak ingat, kapan terakhir kali aku berbicara dengan kakak perempuanku. Bicara dengan ibuku pun bisa dihitung dengan jari dalam sebulan ini. Semua jadi aneh, tapi aku tak merasa mereka memusuhiku. Meski suasana ini terasa aneh untuk sebuah hubungan keluarga.
Lengkingan suara bising menarik pikiranku kembali ke atas jok sepeda motor, setelah melayang dan merambat kemana – mana. Suara itu keras, dari arah sebelah kanan, sorot lampu mengedip dari arah datangnya suara klakson.
Dekapan Sully semakin erat melingkar diperutku. Wajahnya menoleh kearah kiri. Aku bisa merasakannya bersandar dipunggungku. Dia seperti membuang muka, dia tak ingin bertatapan dengan malaikat maut. Tapi dia terlihat pasrah kepada Nya.
Aku dihantam keras dari arah kanan, terhempas. Semua gelap begitu saja. Aku masih melihat Sully tersenyum dalam background ruang yang hitam.
****
Aku terbaring, tapi langsung tahu ini dirumah sakit. Kepalaku pusing. Aku tak peduli, aku langsung bertanya tentang Sully. Mereka hanya menjawab dengan senyum bibir, tapi dengan ekspresi muka sedih. Membingungkan, aku tak mendapat jawaban yang memuaskan dari pertanyaanku.
****
Aku melihatnya setelah beberapa hari tak bertemu. Wajahnya masih cantik, sama seperti sebelum aku terbaring dirumah sakit.
“Aku kangen kamu sayang,” kalimat pertamaku saat bertemu dia, sambil memeluk tubuhnya.
“Badanmu dingin, kamu sakit?” Tanyaku. Dia menggeleng dan hanya tersenyum.
“Bagaimana anak kita?”
“Masih sehat dan makin aktif gerakannya.” Suaranya lembut dan terdengar sedikit lebih pelan.
Hari – hari kami kembali menyenangkan. Semua ingatan dan luka akibat kecelakaan tak berasa lagi. Keluargaku pun sekarang lebih sering mengajakku berbicara. Suasana hangat kembali.
Tapi ekspresi mereka agak aneh. Terlebih saat aku membicarakan kebahagiaan keluarga kecilku, Sully dan calon anakku.
Saat itu makan malam, aku mengajak Sully untuk makan bersama di meja makan bersama ibu dan Rani, seperti biasanya. Dia menolak, dia menyuruhku makan duluan. Selalu begitu, semenjak aku keluar dari rumah sakit, Sully jadi agak tertutup dengan keluargaku. Aku selalu berinisiatif membawakan makan malam kekamar untuknya.
Mereka, ibu dan kakak ku menggambarkan ekspresi bingung. Meski mereka tak bertanya, aku mengatakan pada mereka,
“Sully agak pemalu sekarang, mungkin karena bawaan kehamilannya,”
“Kuharap kalian mengerti dan tidak berpikir macam – macam tentangnya.”
Mereka terlihat bingung, tapi sepertinya mengerti. Aku menoleh kemeja makan, mereka saling bertatapan, seperti saling melemparkan pertanyaan tanpa suara.
“Ini makan malammu sayang, kamu harus menjaga asupan gizi untuk dirimu dan calon anak kita.” Sully hanya tersenyum.
Dia meletakkan piringnya di meja sebelah ranjang. Kemudian kami ngobrol sampai larut, sampai aku terlelap. Piring dan isinya sudah lenyap setiap pagi, saat Sully membangunkanku.
****
Pagi yang cerah, aku mengajaknya berjalan disekitar perumahan. Ini pertama kali kami keluar bersama semenjak kecelakaan. Kugandeng tangannya yang terasa dingin, dengan tanganku yang lebih hangat. Kami saling berbalas lelucon, tertawa bersama, kemudian menunjuk jari ke sesuatu yang menarik perhatian. Duduk melepas lelah dibangku taman. Membicarakan apa saja, tertawa dan tersenyum menyapa beberapa orang yang dianggap kenal.
Beberapa orang memandangi kami, pandangan mereka seperti heran atau menemukan sesuatu yang ganjil. Ada apa dengan pandangan mereka? Aku tak peduli, yang aku pedulikan quality time bersama Sully.
Aku semakin sering mengajaknya keluar, sambil mengenalkan udara segar kepada calon bayi kami. Tetap saja, setiap orang yang kami temui melemparkan pandangan aneh. Hey, ada apa dengan cara menatap kalian, tak ada yang aneh dengan kami! Aku mau saja melontarkan makian seperti itu kepada mereka, tapi Sully menahanku.
****
“Cukup, kau sakit!” Rani membentakku saat aku kembali membawa makan malam untuk Sully dimalam berikutnya.
“Dia tidak ada, tidakkah kau sadar itu!” Nada bicaranya masih tinggi.
Aku bingung. Ibuku menenangkannya. Aku meninggalkan mereka dan membawa piring makan malam untuk Sully. Aku mendengar mereka berdebat di meja makan.
“Dia sakit bu,” itu suara Rani.
“Dia menganggapnya masih hidup. Istrinya sudah mati saat kecelakaan itu.” Rani terdengar sangat emosional.
“Dokter bilang, dia agak tertekan. Trauma setelah kecelakaan. Dia masih labil Ran.” Ibuku menenangkan Rani.
“Aku muak mendengarnya berbicara sendiri dikamar. Mungkin bicara dengan tembok, bantal, guling. Sambil memanggil mereka Sully. Selanjutnya apa, bercinta dengan guling?”
“Mungkin Sully tidak hamil. Dia hanya ingin menikah karena dia tahu akan segera mati.”
“Cukup Rani! Sekarang kau malah yang terdengar seperti orang gila.” Ibuku membentak Rani.
“Adam yang gila bukan aku.” Suara Rani agak pelan.
“Dia sedang koma saat pemakaman Sully.”
Ibuku bahkan membenarkan ucapan kakak ku. Itu tidak benar sama sekali. Aku melihat dan merasakan Sully, disinisaat ini. Memeluk, menenangkan dan menghapus air mata ini. Itu tidak benar.
****
Ibu mengajakku ke suatu tempat. Dia tidak memberitahu tujuannya. Aku melihat sebuah gapura pemakaman umum. Tanah merah, nisan dan patok kayu sejauh mata memandang.
Dia berhenti disebuah makam dengan nisan yang belum kusam. Mungkin belum lama jasad orang ini dikuburkan didalamnya.
Ini jelas bukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya? Tidak mungkin.
“Ini makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku tak menjawab ucapannya.
“Sabar dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua gelap.
****
Ibuku mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya, Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka bilang aku sakit.”
“Kamu enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan senang.
 ukan makam almarhum ayahku, makamnya beberapa ratus meter dari makam ini. Tapi masih di komplek pemakaman yang sama. Ibu menabur kembang, aku melihat nisan makam. Benar saja, baru dimakamkan sebulan yang lalu. Namanya? Tidak mungkin.
“Ini makam istrimu nak,” suaranya pelan agak terisak.
Aku tak menjawab ucapannya.
“Sabar dan terimalah kenyataannya. Kami juga sayang dia.” Dia masih berkata, tapi semakin pelan, tersamar isak tangisnya.
Tidak mungkin istriku yang terkubur disini. Aku ingat, dia yang membangunkanku tadi pagi dan berbicara sepanjang malam. Kepalaku pusing, terasa ringan dan semua gelap.
****
Ibuku mengadakan selamatan peringatan empat puluh hari kematian. Aku mendengar ustad berkata tentang mengirim do’a untuk almarhumah Sully. Aku tertawa mendengarnya, Sully pun tersenyum. Aku menganggap mereka gila.
Aku menceritakan semua perkataan ibu kemarin kepadanya. Kami tertawa.
“Mereka bilang kamu meninggal,” ujarku. Dia hanya tersenyum.
“Mereka bilang aku sakit.”
“Kamu enggak sakit sama sekali sayang.” Sully berkata sambil tersenyum.
Kami tertawa. Dia benar, aku tidak sakit. Sayup – sayup suara ayat suci berkumandang dari ruang tengah. Kami masih tertawa. Aku tidak sakit, bahkan sehat dan senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar