Dia
merasa dia mempunyai kekuatan. Dia mengklaim memiliki indera keenam, feelingnya
kuat, peka dan lain sebagainya. Semenjak, cincin bermata giok berwarna hijau
itu melingkar di jari tengah tangan kirinya. Atas dasar itu pula, meja judi
jadi tempat tujuan favoritnya. Duduk, berkonsentrasi sejenak lalu tangan kiri
yang memulai menyentuh kartu remi. Ya, selalu diawali dengan sentuhan tangan
kirinya, tempat cincin giok berwarna hijau itu melingkar.
“Haha,
menang lagi”. Tawanya masih terdengar renyah, padahal dia sudah berkali – kali
tertawa. Tawa yang selalu mengiringinya setiap menutup permainan.
Semenjak
putaran pertama kartu dibagikan.
“Bangsatt”,
bentak laki – laki berperawakan hitam, keriting.
“Sudah,
kumpulkan saja uang sampean. Kalau habis bayar pakai apa sajalah, yang penting menarik”,
kata marwan sambil mengumpulkan uang yang berserakan dimeja. Memindahkan
kekantong kemejanya yang sudah tak terkancing rapih, hanya dua kancing dibagian
perutnya yang masih setia melekat dengan lubangnya.
Marwan
tertawa sambil mencium – ciumi cincin giok hijaunya sambil melihat teman –
teman berjudinya yang berlalu meninggalkan pos ronda dengan muka kusut dan
kantong kempis tak berisi. Kantong yang kini kelaparan, kantong yang beberapa
menit lalu terisi uang dari berbagai sumber. Hasil uang makan harian dari
pabrik, uang yang diperas secara halus dari dompet orang tua, uang hasil
memalak diterminal, uang hasil seharian menjajakan dagangan. Dari mana saja
mereka mengumpulkan uang yang hanya lewat dikantong, melewati meja judi dan
berakhir dikantong penjudi lainnya yang lebih beruntung atau lebih licik. Licik
dengan taktik yang halal atau licik dengan kecurangan sama saja, uang yang
diraup tetap dibilang haram.
****
Marwan
sedang asik menggosok – gosok cincinnya, saat istrinya baru memasak. Ini sudah
jam dua belas siang, tapi dapur dirumahnya baru mengepulkan asap. Itupun karena
Marwan pulang membawa hasil dari menguras kantung teman – temannya di pos
ronda. Dia memang tidak perlu pergi ke Las Vegas untuk menemukan meja judi. Dia
hanya perlu berjalan empat ratus meter ke pos ronda setiap malam. Kalau
nasibnya mujur, dia bisa tertawa sepanjang malam sampai suara adzan subuh
membubarkan permainan mereka. Adzan subuh memang seperti bell tanda permainan
harus berakhir, mereka tidak ingin mendengar ceramah dadakan ustad. Siddiq tentang
harta uang haram yang memanaskan kuping mereka.
Marwan
melihat kearah meja makan, hanya dua piring nasi putih berhias telur dadar
diatasnya. dia menambahkan dengan kecap manis diantara nasi putih dan telur
dadar. Marwan terlihat tak mempedulikan menu dimeja makannya, yang terpenting
dia tidak kelaparan. Dia bahkan tak peduli dengan koyo yang menghiasi kanan –
kiri keningnya.
“ini
sudah hari keenam menu makan kita sama”. Keluh Endah, istrinya.
“meski
kau menang dan membawa lebih dari cukup dari harga dua porsi nasi padang,
bahkan cukup untuk lima, enam, tujuh mungkin”.
“kita
sepertinya sedang tidak kekurangan uang beberapa hari ini”. Istrinya terus
memberondong marwan dengan keluhan – keluhan, seperti orator demonstrasi jalanan
yang sedang menuntut haknya.
Memang
dia belum bisa memberi keturunan dari lima tahun hidupnya dengan marwan. Tapi
Endah merasa layak mendapat lebih dari ini, dia merasa masih cantik, tidak
terlalu tua, baru tiga puluh tiga umurnya. Dia merasa mengurus marwan dengan
baik. Dia tidak terlalu keberatan meski beberapa minggu ini marwan hanya
luntang – lantung ke pos ronda setiap malam sejak marwan dipecat dari pabrik
cat tempatnya bekerja, meninggalkannya sendirian bergumul dengan dinginnya
angin malam.
Asalkan
marwan memberinya uang untuk membuatnya bisa sibuk dengan dentingan wajan dan
sodet didapur, dia tak terlalu
memikirkan asal uang yang disetorkan marwan ketangannya.
“aku
harus menabung, dan itu artinya kita harus berhemat.” Marwan akhirnya buka suara setelah sepiring
nasi dengan lauk telur dadar habis berpindah
keperutnya.
Dia
tidak mau merusak selera makannya dengan berdebat dengan istrinya. Dia memang
tidak pernah melarang istrinya protes tentang segala macam tetekbengek yang
terjadi dirumah kecilnya. Dia menerapkan paham demokrasi dengan baik
dirumahnya.
“menabung
dan berhemat untuk apa? Apa yang mau kau beli? Kita sudah cukup dengan segala
fasilitas yang ada dirumah ini. Selama kita hidup sesuai kebutuhan, bukan
sesuai dengan gengsi ,” istrinya tidak puas dengan alasan marwan.
“ini
bukan tentang membeli, tapi aku harus membuat sebuah peningkatan. Itupun pada
akhirnya untuk kita, bukan hanya aku.”
“oh,
kedengarannya menarik. Peningkatan seperti apa yang ingin kau buat dengan uang
panasmu itu.”
“kau
tahu cincin ini, kau tahu berapa uang yang ku berhasil kukuras dari penjudi
lain di pos ronda?” Ujar marwan sambil menunjuk cincin giok bermata hijau di
jarinya.
“aku
tidak sempat membuat pembukuan tentang pemasukan mu dari cincin yang kau
sombongkan itu. Aku bukan orang yang religius, tapi percaya dengan hal mistis
seperti itu akan membuatmu terlihat seperti orang gila.”
Endah
meninggikan suara. Dia mulai muak dengan sikap marwan yang memuja cincin giok
itu, bahkan dia juga muak dengan sikap marwan yang selalu mengelus cincinnya
lebih lembut dari mengelus dirinya. Cemburu
dengan cincin memang bukanlah hal yang bisa dibilang rasional, tapi dia merasa
sifatnya sudah tepat pada tempatnya. Endah yakin kalau cinicin itu bisa
berbicara dan meminta apapun dari marwan; makan enak, mandi kembang tujuh rupa,
tumbal atau bahkan bercinta. Dia jamin marwan akan menuruti semua perintah
cincin itu. Cincin itu sudah seperti saingannya dan seperti menjadi orang
ketiga, meskipun wujudnya benda.
Endah
mengungkapkan ingin cerai dari Marwan, ketika orang tua Marwan bertanya
alasannya; “saya cemburu dengan cincin giok Marwan.” Mereka menganggap Endah
sudah gila, tapi dia merasa Marwan lah yang sudah gila. Marwan bisa saja
menularkan kegilaannya itu dan itu juga menjadi salah satu pertimbangannya
untuk bercerai.
“aku mau pergi ke Vegas. Ya, Las Vegas.
Dengan begitu aku bisa meraup keuntungan lebih banyak.” Marwan menjelaskan
tentang peningkatan yang tadi dikatakannya.
“apa
kubilang, kau bahkan sudah gila sekarang.” Endah makin naik emosi, mendengar
ucapan Marwan.
“banyak
dolar disana sayang, dengan cincin ini aku bisa memenangi permainan apapun.”
Endah
berpikir Marwan sudah benar – benar gila akan uang atau bahkan gila judi. Dia
bahkan sudah berjudi dengan kehidupannya, kehidupan mereka berdua. Dia berjudi
tak hanya dimeja judi, tak hanya dengan kartu remi atau domino. Dia sudah gila
judi, pastilah ini bukan hanya tentang uang. Nafsu atau gairah berjudilah yang
menguasai Marwan, melebihi nafsu akan uang, nafsu makan yang hanya terpuaskan
dengan telur dadar, nafsu seksual yang lagi mereka lakukan karena setiap malam
Marwan sibuk bergumul dengan kartu dan uang yang pecahannya tak lebih besar
dari sepuluh ribu rupiah yang berserakan di pos ronda.
Endah
mencapai puncak emosinya, marwan berjudi dengan kehidupan dan melibatkan
dirinya juga. Entah sebagai barang yang dipertaruhkan atau sebagai lawan judi,
tapi kedua keadaan itu tak ada yang membuatnya senang. Persetan dengan uang
dolar yang dijanjikan Marwan, dia hanya ingin hidup normal sekarang dan
seterusnya.
“kau
mau ke vegas?”
“iya”
“kau
mau pergi ke vegas untuk berjudi?” Endah mempertegas pertanyaannya.
“ya!”
Marwan tak mau kalah dengan istrinya.
“aku
mau cerai” Endah seolah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk menjatuhkan
mental Marwan. Itupun kalau lelaki itu masih benar – benar menyayanginya.
“sayang,
aku melakukan ini untuk kita berdua. Kau masih suka uang bukan?” Marwan merayu
istrinya.
“cerai”
Endah membalas singkat.
“atau,
aku bisa mengajakmu ke Vegas” Marwan masih terus merayu.
“aku
tak mau menjadi yang ketiga. Setelah judi dan cincin bodoh mu itu.”
****
Marwan
berjalan gontai di jalan perkampungan yang belum terlapis aspal. Dia masih
memikirkan surat pemberhentian hubungan kerja yang diterimanya bersama ratusan
teman seperjuangannya, dari pabrik cat tempatnya bekerja. Sudah seminggu dia
lontang – lantung menjajakan diri membawa surat lamaran kerja lengkap dengan
kemeja, celana bahan dan sepatu hitam yang membungkus dirinya.
Rambutnya
tak lagi rapih seperti pagi hari tadi, kemejanya sudah menyembul dari celana
bahannya. Dia melintas didepan pos ronda kampungnya, dia melihat sosok lelaki
paruh baya asing duduk sendiri di pos ronda. Jidat menghitam, janggut tak
terurus, dengan gamis hitam dan membawa koper. Marwan sepintas mengingat
pemberitaan mengenai teroris yang dilihatnya di televisi. Perawakannya kurang
lebih seperti lelaki itu.
Lelaki
itu melihat kearah Marwan dan memanggilnya, kemudian memulai perbincangan.
Lelaki itu menonjolkan skap yang bijaksana dalam gestur dan cara bicaranya
untuk menarik simpati Marwan. Di akhir perbincangan yang bercabang kemana –
mana, melebar dan tak terstruktur, lelaki itu tiba – tiba mengeluarkan cincin
dari kantong gamisnya.
“cincin
ini bukan cincin biasa.” Kata lelaki tua itu dengan mimik serius.
“pakai
cincin ini saat kau berjudi, maka keberuntungan dan kemenangan kau dapat.”
Lelaki itu terus meyakinkan Marwan.
Tentu
saja Marwan tak percaya dengan ucapan lelaki tua itu, yang tak lebih seperti
omong kosong dan berakhir dengan bujukan untuk membeli cincin itu. Dia memang
tidak terlalu pintar, tapi dia juga tidak terlalu bodoh untuk percaya akan hal
itu. Marwan berusaha dengan menyibukan pikirannya, dia tidak boleh membiarkan
pikirannya kosong. Dia berpikir, bisa saja ini berakhir dengan kejahatan dengan
modus hipnotis, seperti berita kriminal yang dilihatnya di televisi kemarin.
Dia menggeser posisi duduknya agak menjauh untuk menghindari kontak badan yang
berakhir dengan dirinya terhipnotis dan menuruti setiap ucapan lelaki tua itu.
Marwan
beranjak dari pos ronda, tapi lelaki tua itu menahan tangannya. Sial, dia
menyentuhku. Apa aku akan terhipnotis. Marwan berusaha mempersiapkan diri
melawan setiap sugesti yang akan keluar dari lelaki tua itu.
“Santai
saja anak muda. Kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikannya dulu.
Kemudian jika kau menang kau baru boleh menemuiku untuk membayar cincin itu.
Dengan seluruh uang hasil kemenangan judi yang kau dapat. Dua hari lagi kita
bertemu disini, bagaimana?” lelaki tua itu terus meyakinkan Marwan.
“Baiklah.
Aku akan membuktikannya, kemudian lusa kita bertemu. Itupun kalau aku menang.”
Marwan mengambil cincin itu, meski dia ragu akan kebenaran ucapan lelaki tua
itu.
****
Marwan
memang mengurungkan niatnya ke Vegas, tapi Endah sudah memilih pulang kerumah
orang tuanya. Marwan memutuskan untuk ke pos ronda seperti biasanya, bertemu
dengan rekan seprofesinya. Dia masih menimbang – nimbang keputusannya untuk ke
Vegas, tapi meski sedikit, dia masih memikirkan kelangsungan rumah tangganya dengan
Endah. Mana yang harus dipilihnya, gairah judi dan uang atau Endah yang sudah
lima tahun menjadi istrinya. Marwan memutuskan untuk kembali merayu Endah
besok, seperti yang dilakukannya kemarin. Meski tidak berhasil.
Cincin
ini bisa membuatnya menang, meski pernah sesekali dia kalah juga. Tapi Marwan
selalu mencari alasan untuk pembenaran cincinnya sendiri. Pernah dia kalah dan
dia berpikir itu karena dia tidak mengusap – usap cincinnya sebelum berjudi, dilain
waktu dia kalah dan dia mencari – cari pembelaan untuk cincinnya sendiri. Entah
karena dia lupa mencium cincinnya, memandikan cincinnya, lupa meminum air
rendaman cincinnya. Pokoknya dia terus membela cincinnya, dalam pikirannya,
cincinnya itu membawa keberuntungan seperti yang dikatakan lelaki tua yang
menjualnya. Cincinnya punya kekuatan titik, begitu dia yang dia ucapkan
kehatinya sendiri dan yang dia ucapkan ke endah, hingga membuat perempuan itu
berpikir suaminya sudah gila dan tak lama dirinya juga bisa gila bila terus
bersama Marwan.
****
Tak
ada suara tawa marwan, dia menatap deretan kartu domino dengan kesal, penuh
amarah dan kebingungan. Tak ada dari kedua ujung kartu domino itu yang memiliki
sisi sama dengan sederet kartu yang ditangannya, dan parahnya lagi ini sudah
putaran ketiga dan dia belum pernah menarik uang yang berserakan dari meja pos
ronda yang berubah jadi meja judi. Hanya sekali dia menarik uang diawal
permainan, itupun saat taruhan belum dinaikkan menjadi uang pecahan lima puluh
ribu. Keringatnya keluar ditengah malam yang disusupi angin dingin. Marwan
terus mengusap cincinnya tapi sudah tak berpengaruh diputaran ini, dia sudah
ketinggalan banyak. Dia melihat kearah tangan Darto yang hanya menyisakan satu
kartu lagi, begitupun Ramli yang hanya memegang tiga kartu.
Marwan
pasrah melihat uangnya ditarik kekantong Darto, dia semakin muak dengan tawa
Darto yang terdengar seperti mencemoohnya, dia sangat ingin meninju mulut Darto
yang terlihat begitu mengesalkan dimatanya. Tawa yang dulunya lebih sering
dikeluarkannya kini sudah tak terdengar lagi, berpindah ke Darto bahkan Ramli.
Marwan semakin muak, sambil bertanya – tanya didalam hati. Ada apa dengan magis
cincinnya, kenapa cincinnya tak lagi berfungsi. Marwan terus mengusap – usap
cincinnya, mencium dan memohon kepada cincinnya didalam hati.
“naikkan
taruhannya, seratus ribu” Marwan frustasi dan emosi.
Teman
– temannya hanya bisa menuruti tantangan Marwan, karena mereka tahu mereka
diatas angin dan memegang kendali permainan. Mereka pasti sudah mencemooh,
meledek, menghujat Marwan didalam hati mereka, dari balik tawa mereka yang
semakin keras dan semakin menusuk kuping Marwan.
****
“
haha, puas kita menghabisi uang si bodoh Marwan.” Darto tertawa sambil membagi
– bagi uang kepada teman – temannya.
“ya,
kita hanya mengikuti ucapan Endah untuk mencuranginya dan membuatnya kecewa
dengan cincinnya.” Ramli menambahkan ucapan Darto.
“begitu
bodohnya Marwan yang percaya kekuatan cincinnya.”
“kalaupun
kekuatan itu benar adanya, paling tidak kita sudah membuktikan kita lebih
pintar dari dewi keberuntungan yang bersemayam di cincin Marwan.”
Marwan
pulang dengan babak belur, dia mengamuk setelah uangnya habis di pos ronda. Dia
memaki dengan segala macam sumpah serapah kearah teman – temannya. Dia
meneriaki teman – temannya curang, dia terus berteriak meracau. Tapi malah
bogem mentah menghujani tubuhnya. Tak ada cara lain yang terpikir oleh teman –
temannya untuk menghentikan teriakan Marwan.
Marwan
tak percaya dengan kekalahan telaknya di arena perjudian semalam. Dia menangisi
kepergian uangnya yang susah payah dia kumpulkan untuk perjalanannya ke Las
Vegas. Dia terus mengomel, membentak, menghardik kepada cincinnya. Setelah itu
dia baru ingat kepergian Endah, yang selalu menjadi urutan yang ketiga, setelah
judi dan uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar