Powered By Blogger

Kamis, 19 April 2012

cincin penjudi


Dia merasa dia mempunyai kekuatan. Dia mengklaim memiliki indera keenam, feelingnya kuat, peka dan lain sebagainya. Semenjak, cincin bermata giok berwarna hijau itu melingkar di jari tengah tangan kirinya. Atas dasar itu pula, meja judi jadi tempat tujuan favoritnya. Duduk, berkonsentrasi sejenak lalu tangan kiri yang memulai menyentuh kartu remi. Ya, selalu diawali dengan sentuhan tangan kirinya, tempat cincin giok berwarna hijau itu melingkar.
“Haha, menang lagi”. Tawanya masih terdengar renyah, padahal dia sudah berkali – kali tertawa. Tawa yang selalu mengiringinya setiap menutup permainan.
Semenjak putaran pertama kartu dibagikan.
“Bangsatt”, bentak laki – laki berperawakan hitam, keriting.
“Sudah, kumpulkan saja uang sampean. Kalau habis bayar pakai apa sajalah, yang penting menarik”, kata marwan sambil mengumpulkan uang yang berserakan dimeja. Memindahkan kekantong kemejanya yang sudah tak terkancing rapih, hanya dua kancing dibagian perutnya yang masih setia melekat dengan lubangnya.
Marwan tertawa sambil mencium – ciumi cincin giok hijaunya sambil melihat teman – teman berjudinya yang berlalu meninggalkan pos ronda dengan muka kusut dan kantong kempis tak berisi. Kantong yang kini kelaparan, kantong yang beberapa menit lalu terisi uang dari berbagai sumber. Hasil uang makan harian dari pabrik, uang yang diperas secara halus dari dompet orang tua, uang hasil memalak diterminal, uang hasil seharian menjajakan dagangan. Dari mana saja mereka mengumpulkan uang yang hanya lewat dikantong, melewati meja judi dan berakhir dikantong penjudi lainnya yang lebih beruntung atau lebih licik. Licik dengan taktik yang halal atau licik dengan kecurangan sama saja, uang yang diraup tetap dibilang haram.
****
Marwan sedang asik menggosok – gosok cincinnya, saat istrinya baru memasak. Ini sudah jam dua belas siang, tapi dapur dirumahnya baru mengepulkan asap. Itupun karena Marwan pulang membawa hasil dari menguras kantung teman – temannya di pos ronda. Dia memang tidak perlu pergi ke Las Vegas untuk menemukan meja judi. Dia hanya perlu berjalan empat ratus meter ke pos ronda setiap malam. Kalau nasibnya mujur, dia bisa tertawa sepanjang malam sampai suara adzan subuh membubarkan permainan mereka. Adzan subuh memang seperti bell tanda permainan harus berakhir, mereka tidak ingin mendengar ceramah dadakan ustad. Siddiq tentang harta uang haram yang memanaskan kuping mereka.
Marwan melihat kearah meja makan, hanya dua piring nasi putih berhias telur dadar diatasnya. dia menambahkan dengan kecap manis diantara nasi putih dan telur dadar. Marwan terlihat tak mempedulikan menu dimeja makannya, yang terpenting dia tidak kelaparan. Dia bahkan tak peduli dengan koyo yang menghiasi kanan – kiri keningnya.
“ini sudah hari keenam menu makan kita sama”. Keluh Endah, istrinya.
“meski kau menang dan membawa lebih dari cukup dari harga dua porsi nasi padang, bahkan cukup untuk lima, enam, tujuh mungkin”.
“kita sepertinya sedang tidak kekurangan uang beberapa hari ini”. Istrinya terus memberondong marwan dengan keluhan – keluhan, seperti orator demonstrasi jalanan yang sedang menuntut haknya.
Memang dia belum bisa memberi keturunan dari lima tahun hidupnya dengan marwan. Tapi Endah merasa layak mendapat lebih dari ini, dia merasa masih cantik, tidak terlalu tua, baru tiga puluh tiga umurnya. Dia merasa mengurus marwan dengan baik. Dia tidak terlalu keberatan meski beberapa minggu ini marwan hanya luntang – lantung ke pos ronda setiap malam sejak marwan dipecat dari pabrik cat tempatnya bekerja, meninggalkannya sendirian bergumul dengan dinginnya angin malam.
Asalkan marwan memberinya uang untuk membuatnya bisa sibuk dengan dentingan wajan dan sodet didapur, dia  tak terlalu memikirkan asal uang yang disetorkan marwan ketangannya.
“aku harus menabung, dan itu artinya kita harus berhemat.”  Marwan akhirnya buka suara setelah sepiring nasi dengan lauk telur dadar  habis berpindah keperutnya.
Dia tidak mau merusak selera makannya dengan berdebat dengan istrinya. Dia memang tidak pernah melarang istrinya protes tentang segala macam tetekbengek yang terjadi dirumah kecilnya. Dia menerapkan paham demokrasi dengan baik dirumahnya.
“menabung dan berhemat untuk apa? Apa yang mau kau beli? Kita sudah cukup dengan segala fasilitas yang ada dirumah ini. Selama kita hidup sesuai kebutuhan, bukan sesuai dengan gengsi ,” istrinya tidak puas dengan alasan marwan.
“ini bukan tentang membeli, tapi aku harus membuat sebuah peningkatan. Itupun pada akhirnya untuk kita, bukan hanya aku.”
“oh, kedengarannya menarik. Peningkatan seperti apa yang ingin kau buat dengan uang panasmu itu.”
“kau tahu cincin ini, kau tahu berapa uang yang ku berhasil kukuras dari penjudi lain di pos ronda?” Ujar marwan sambil menunjuk cincin giok bermata hijau di jarinya.
“aku tidak sempat membuat pembukuan tentang pemasukan mu dari cincin yang kau sombongkan itu. Aku bukan orang yang religius, tapi percaya dengan hal mistis seperti itu akan membuatmu terlihat seperti orang gila.”
Endah meninggikan suara. Dia mulai muak dengan sikap marwan yang memuja cincin giok itu, bahkan dia juga muak dengan sikap marwan yang selalu mengelus cincinnya lebih lembut dari  mengelus dirinya. Cemburu dengan cincin memang bukanlah hal yang bisa dibilang rasional, tapi dia merasa sifatnya sudah tepat pada tempatnya. Endah yakin kalau cinicin itu bisa berbicara dan meminta apapun dari marwan; makan enak, mandi kembang tujuh rupa, tumbal atau bahkan bercinta. Dia jamin marwan akan menuruti semua perintah cincin itu. Cincin itu sudah seperti saingannya dan seperti menjadi orang ketiga, meskipun wujudnya benda.
Endah mengungkapkan ingin cerai dari Marwan, ketika orang tua Marwan bertanya alasannya; “saya cemburu dengan cincin giok Marwan.” Mereka menganggap Endah sudah gila, tapi dia merasa Marwan lah yang sudah gila. Marwan bisa saja menularkan kegilaannya itu dan itu juga menjadi salah satu pertimbangannya untuk bercerai.
  “aku mau pergi ke Vegas. Ya, Las Vegas. Dengan begitu aku bisa meraup keuntungan lebih banyak.” Marwan menjelaskan tentang peningkatan yang tadi dikatakannya.
“apa kubilang, kau bahkan sudah gila sekarang.” Endah makin naik emosi, mendengar ucapan Marwan.
“banyak dolar disana sayang, dengan cincin ini aku bisa memenangi permainan apapun.”
Endah berpikir Marwan sudah benar – benar gila akan uang atau bahkan gila judi. Dia bahkan sudah berjudi dengan kehidupannya, kehidupan mereka berdua. Dia berjudi tak hanya dimeja judi, tak hanya dengan kartu remi atau domino. Dia sudah gila judi, pastilah ini bukan hanya tentang uang. Nafsu atau gairah berjudilah yang menguasai Marwan, melebihi nafsu akan uang, nafsu makan yang hanya terpuaskan dengan telur dadar, nafsu seksual yang lagi mereka lakukan karena setiap malam Marwan sibuk bergumul dengan kartu dan uang yang pecahannya tak lebih besar dari sepuluh ribu rupiah yang berserakan di pos ronda.
Endah mencapai puncak emosinya, marwan berjudi dengan kehidupan dan melibatkan dirinya juga. Entah sebagai barang yang dipertaruhkan atau sebagai lawan judi, tapi kedua keadaan itu tak ada yang membuatnya senang. Persetan dengan uang dolar yang dijanjikan Marwan, dia hanya ingin hidup normal sekarang dan seterusnya.
“kau mau ke vegas?”
“iya”
“kau mau pergi ke vegas untuk berjudi?” Endah mempertegas pertanyaannya.
“ya!” Marwan tak mau kalah dengan istrinya.
“aku mau cerai” Endah seolah mengeluarkan jurus pamungkasnya untuk menjatuhkan mental Marwan. Itupun kalau lelaki itu masih benar – benar menyayanginya.
“sayang, aku melakukan ini untuk kita berdua. Kau masih suka uang bukan?” Marwan merayu istrinya.
“cerai” Endah membalas singkat.
“atau, aku bisa mengajakmu ke Vegas” Marwan masih terus merayu.
“aku tak mau menjadi yang ketiga. Setelah judi dan cincin bodoh mu itu.”
****
Marwan berjalan gontai di jalan perkampungan yang belum terlapis aspal. Dia masih memikirkan surat pemberhentian hubungan kerja yang diterimanya bersama ratusan teman seperjuangannya, dari pabrik cat tempatnya bekerja. Sudah seminggu dia lontang – lantung menjajakan diri membawa surat lamaran kerja lengkap dengan kemeja, celana bahan dan sepatu hitam yang membungkus dirinya.
Rambutnya tak lagi rapih seperti pagi hari tadi, kemejanya sudah menyembul dari celana bahannya. Dia melintas didepan pos ronda kampungnya, dia melihat sosok lelaki paruh baya asing duduk sendiri di pos ronda. Jidat menghitam, janggut tak terurus, dengan gamis hitam dan membawa koper. Marwan sepintas mengingat pemberitaan mengenai teroris yang dilihatnya di televisi. Perawakannya kurang lebih seperti lelaki itu.
Lelaki itu melihat kearah Marwan dan memanggilnya, kemudian memulai perbincangan. Lelaki itu menonjolkan skap yang bijaksana dalam gestur dan cara bicaranya untuk menarik simpati Marwan. Di akhir perbincangan yang bercabang kemana – mana, melebar dan tak terstruktur, lelaki itu tiba – tiba mengeluarkan cincin dari kantong gamisnya.
“cincin ini bukan cincin biasa.” Kata lelaki tua itu dengan mimik serius.
“pakai cincin ini saat kau berjudi, maka keberuntungan dan kemenangan kau dapat.” Lelaki itu terus meyakinkan Marwan.
Tentu saja Marwan tak percaya dengan ucapan lelaki tua itu, yang tak lebih seperti omong kosong dan berakhir dengan bujukan untuk membeli cincin itu. Dia memang tidak terlalu pintar, tapi dia juga tidak terlalu bodoh untuk percaya akan hal itu. Marwan berusaha dengan menyibukan pikirannya, dia tidak boleh membiarkan pikirannya kosong. Dia berpikir, bisa saja ini berakhir dengan kejahatan dengan modus hipnotis, seperti berita kriminal yang dilihatnya di televisi kemarin. Dia menggeser posisi duduknya agak menjauh untuk menghindari kontak badan yang berakhir dengan dirinya terhipnotis dan menuruti setiap ucapan lelaki tua itu.
Marwan beranjak dari pos ronda, tapi lelaki tua itu menahan tangannya. Sial, dia menyentuhku. Apa aku akan terhipnotis. Marwan berusaha mempersiapkan diri melawan setiap sugesti yang akan keluar dari lelaki tua itu.
“Santai saja anak muda. Kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikannya dulu. Kemudian jika kau menang kau baru boleh menemuiku untuk membayar cincin itu. Dengan seluruh uang hasil kemenangan judi yang kau dapat. Dua hari lagi kita bertemu disini, bagaimana?” lelaki tua itu terus meyakinkan Marwan.
“Baiklah. Aku akan membuktikannya, kemudian lusa kita bertemu. Itupun kalau aku menang.” Marwan mengambil cincin itu, meski dia ragu akan kebenaran ucapan lelaki tua itu.
****
Marwan memang mengurungkan niatnya ke Vegas, tapi Endah sudah memilih pulang kerumah orang tuanya. Marwan memutuskan untuk ke pos ronda seperti biasanya, bertemu dengan rekan seprofesinya. Dia masih menimbang – nimbang keputusannya untuk ke Vegas, tapi meski sedikit, dia masih memikirkan kelangsungan rumah tangganya dengan Endah. Mana yang harus dipilihnya, gairah judi dan uang atau Endah yang sudah lima tahun menjadi istrinya. Marwan memutuskan untuk kembali merayu Endah besok, seperti yang dilakukannya kemarin. Meski tidak berhasil.
Cincin ini bisa membuatnya menang, meski pernah sesekali dia kalah juga. Tapi Marwan selalu mencari alasan untuk pembenaran cincinnya sendiri. Pernah dia kalah dan dia berpikir itu karena dia tidak mengusap – usap cincinnya sebelum berjudi, dilain waktu dia kalah dan dia mencari – cari pembelaan untuk cincinnya sendiri. Entah karena dia lupa mencium cincinnya, memandikan cincinnya, lupa meminum air rendaman cincinnya. Pokoknya dia terus membela cincinnya, dalam pikirannya, cincinnya itu membawa keberuntungan seperti yang dikatakan lelaki tua yang menjualnya. Cincinnya punya kekuatan titik, begitu dia yang dia ucapkan kehatinya sendiri dan yang dia ucapkan ke endah, hingga membuat perempuan itu berpikir suaminya sudah gila dan tak lama dirinya juga bisa gila bila terus bersama Marwan.
****
Tak ada suara tawa marwan, dia menatap deretan kartu domino dengan kesal, penuh amarah dan kebingungan. Tak ada dari kedua ujung kartu domino itu yang memiliki sisi sama dengan sederet kartu yang ditangannya, dan parahnya lagi ini sudah putaran ketiga dan dia belum pernah menarik uang yang berserakan dari meja pos ronda yang berubah jadi meja judi. Hanya sekali dia menarik uang diawal permainan, itupun saat taruhan belum dinaikkan menjadi uang pecahan lima puluh ribu. Keringatnya keluar ditengah malam yang disusupi angin dingin. Marwan terus mengusap cincinnya tapi sudah tak berpengaruh diputaran ini, dia sudah ketinggalan banyak. Dia melihat kearah tangan Darto yang hanya menyisakan satu kartu lagi, begitupun Ramli yang hanya memegang tiga kartu.
Marwan pasrah melihat uangnya ditarik kekantong Darto, dia semakin muak dengan tawa Darto yang terdengar seperti mencemoohnya, dia sangat ingin meninju mulut Darto yang terlihat begitu mengesalkan dimatanya. Tawa yang dulunya lebih sering dikeluarkannya kini sudah tak terdengar lagi, berpindah ke Darto bahkan Ramli. Marwan semakin muak, sambil bertanya – tanya didalam hati. Ada apa dengan magis cincinnya, kenapa cincinnya tak lagi berfungsi. Marwan terus mengusap – usap cincinnya, mencium dan memohon kepada cincinnya didalam hati.
“naikkan taruhannya, seratus ribu” Marwan frustasi dan emosi.
Teman – temannya hanya bisa menuruti tantangan Marwan, karena mereka tahu mereka diatas angin dan memegang kendali permainan. Mereka pasti sudah mencemooh, meledek, menghujat Marwan didalam hati mereka, dari balik tawa mereka yang semakin keras dan semakin menusuk kuping Marwan.
****
“ haha, puas kita menghabisi uang si bodoh Marwan.” Darto tertawa sambil membagi – bagi uang kepada teman – temannya.
“ya, kita hanya mengikuti ucapan Endah untuk mencuranginya dan membuatnya kecewa dengan cincinnya.” Ramli menambahkan ucapan Darto.
“begitu bodohnya Marwan yang percaya kekuatan cincinnya.”
“kalaupun kekuatan itu benar adanya, paling tidak kita sudah membuktikan kita lebih pintar dari dewi keberuntungan yang bersemayam di cincin Marwan.”
Marwan pulang dengan babak belur, dia mengamuk setelah uangnya habis di pos ronda. Dia memaki dengan segala macam sumpah serapah kearah teman – temannya. Dia meneriaki teman – temannya curang, dia terus berteriak meracau. Tapi malah bogem mentah menghujani tubuhnya. Tak ada cara lain yang terpikir oleh teman – temannya untuk menghentikan teriakan Marwan.
Marwan tak percaya dengan kekalahan telaknya di arena perjudian semalam. Dia menangisi kepergian uangnya yang susah payah dia kumpulkan untuk perjalanannya ke Las Vegas. Dia terus mengomel, membentak, menghardik kepada cincinnya. Setelah itu dia baru ingat kepergian Endah, yang selalu menjadi urutan yang ketiga, setelah judi dan uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar