Powered By Blogger

Kamis, 12 April 2012

capung jarum



Berlari telanjang kaki, tanpa kerikil mampu melukai kaki – kaki kecil yang tak berdosa. Rambut panjang menyebar digerai angin   melepas karet gelang pengikatnya. Gigi kelincinya mengering dihiasi liur yang tertarik menyerupai benang segaris yang menghiasi gelak tawanya. Gadis kecil yang terlihat merdeka tanpa beban, berlarian dibawah kawanan capung.
Langit merah jingga dengan awan tipis – tipis seperti kapas, sesekali melintas burung yang membuat kawanan capung menyebar. Legi merebah di lapangan rumput hijau dengan nafas terengah – engah, sesekali tawanya terdengar jika ada capung yang terbang rendah mendekatinya. Tangannya berusaha meraih – raih meski dia tahu tidak mungkin menangkap capung yang sedang terbang dengan tangan kosong. Orang – orang menyebut tanah lapang berumput hijau ini dengan nama taman capung, karena begitu banyak capung di taman itu kalau sore hari menjelang.
Legi  tersentak  menyadari hari sudah sore menjelang waktu maghrib, seharusnya dia sudah dirumah dalam keadaan bersih. Dia tahu benar resiko yang akan dihadapinya bila telat sampai rumah, ledakan sumpah serapah dari ayahnya   tapi itu sudah tidak terlalu ditakutinya lagi, tapi tangan ayahnya akan membekas merah    paling tidak sampai makan malam baru hilang bekasnya dan rasa sakitnya. Dia berlari cepat beranjak dari taman capung meninggalkan capung – capung kesayangannya yang menjadi teman bermainnya setiap sore hari.
Ayahnya ternyata sudah duduk dikursi goyang sambil menenteng cangkir kopi kesayangannya lengkap dengan isinya    kopi hitam panas, Legi berjalan pelan mengendap – endap seperti maling yang sedang menyatroni rumah korbannya ditengah malam yang sunyi. Gelegar menyentak gadis kecil itu seperti petir di siang bolong, tapi ada yang lebih ditakuti Legi daripada gelegar petir disiang bolong     ya, bentakan ayahnya dengan suara serak beraroma kopi bercampur tembakau. Ibunya menenangkan amarah ayahnya, Legi sering menyaksikan kejadian ini    seperti deja vu mungkin. Dia tahu ibunya tidak pernah berhasil menenangkan amarah ayahnya yang terlihat seperti memusuhi Legi. Tapi kali ini ayahnya tidak mengakhiri bentakannya dengan tebasan tangan kanannya, Legi mengira    hari ini ibunya berhasil meredam amarah ayahnya, tapi sebenarnya tidak juga. Ayahnya lagi senang hatinya karena menang judi siangnya.
Hari sudah tidak begitu pagi tapi belum bisa dibilang siang, legi terpaksa harus membuka matanya saat ayahnya menarik tangannya.
“ Bangun dasar pemalas, cuma perempuan malam yang masih sibuk dengan gulingnya ginihari”.
Legi merasa tidak bersalah  karena dia memang tidak punya kewajiban untuk bangun pagi. Dia sudah sepuluh tahun, tapi tidak bersekolah. Seragam putih – merah yang sudah menjadi hak tidak didapat olehnya. Masalahnya klise, tentang biaya dan sekolahpun masih tergolong jarang didesanya    sekalipun ada kondisinya juga tidak begitu bagus. Tembok berjamur, atap dipenuhi kerlip dari bintik – bintik cahaya matahri yang menembus lubang - lubang dengan ruang kelas seadanya dan guru yang kurang. Legi hanya belajar membaca, menulis dan berhitung seadanya dari tetangganya yang bernasib lebih beruntung darinya.
Dingin air sumur menghapus bekas cengkeraman tangan ayahnya, mengguyur dari atas kepala    menyamarkan sedikit air matanya. Dia memang tidak  terlalu sakit akibat cengkeraman ayahnya, dia hanya bertanya   apa salahnya? Ayahnya terlihat sangat membencinya, seperti sudah memasukannya ke daftar musuh.
“ Dia meyayangimu, jangan berpikir macam – macam dan jangan dendam. Dia ayahmu”, ibunya seperti bisa membaca pikirannya, berusaha menangkis semua prasangka buruk legi kepada ayahnya.
“ Kamu cuma harus terlihat lebih baik dihadapannya, menjadi seperti maunya dan turuti saja perkataannya “, tambah ibunya menasihati Legi.
“Apa aku tidak terlihat seperti anak baik ?”, Legi bertanya kepada ibunya sambil menunduk, “kamu masih terlihat baik dimata ibu, bahkan sangat baik. Bahkan  tuhan memberi bonus senyum manis, sama seperti namamu legi yang berarti manis”.
Legi hanya tersenyum mendengar ibunya yang memang paling pintar menyenangkan hati anaknya.
Setelah selesai belajar baca tulis dirumah mba wani tetangganya, Legi langsung berlari cepat. Dia tidak perlu lagi izin akan kemana kepada ibunya, karena ibunya sudah tahu arah kaki kecilnya melangkah. Berlari melawan angin sampai rambutnya melayang terbawa angin yang berhembus membelakanginya. Matahari masih terik menyoroti padang rumput hijau yang memantulkan bayangan seorang gadis kecil, capung terbang seperti hanya mengambang   bergerombol diatas gadis kecil yang tertawa – tawa sambil mendongakkan wajahnya. Tiba – tiba gerombolan capung terbang agak menyebar seperti hendak menghindari ancaman, seiring dengan suara teriakan lelaki dari pinggir lapangan dengan penuh amarah dan menghamburkannya pada gadis kecil yang membaur diantara gerombolan capung.
 “ Legi! Apa yang kau lakukan disini, matahari terik akan menghitamkan kulitmu. Orang kaya mana yang mau dengan perempuan dekil dan hitam, pulang   ambil wudhu dan berdo’a untuk ayahmu ini agar dapat uang banyak”.
Tangan pria itu menarik tangan Legi dengan keras, sampai dia terjatuh di rumput hijau yang tingginya tidak merata. Sejenak langkah pria itu berhenti    membiarkan Legi segera berdiri dengan bantuan tebasan tangannya, seperti kusir yang mencambuk kuda agar lekas jalan. Menahan sakit, Legi merasa percuma menagis   itu tak akan membuat pria yang disebutnya ayah bersikap lebih baik padanya. Dia menghapus air matanya, dengan tangannya yang kotor dan kini membekas dipipinya. Dia tahu air matanya hanya akan menularkan kesedihan kepada ibunya.
Percekcokan suami istri menggema dirumah kecil ini, Legi bersembunyi dikamarnya untuk menghindari raungan caci maki kedua mulut orang tuanya. Samar – samar dia mendengar bentakan ayahnya,
“ lihat kelakuan anak kesayanganmu yang makin hari makin mengesalkan saja”,
“itu karena kau selalu mencari – cari kesalahan anak kecil yang belum mengerti apa – apa. Semua tentang legi salah dimatamu”, sahut ibunya membela.
 “ Itu karena aku selalu teringat saat pertama kali melihatnya, anak yang tak jelas asal – usulnya  itu. Aku keluar penjara setelah dua tahun membusuk disana tanpa kau besuk, dan kau dengan enteng menyebut dia anak kita“.
Suasana senyap setelah terdengar hentakan keras daun pintu. Ibu menghampiri Legi yang meringkuk ketakutan dikamar, dia membersihkan tubuh Legi yang kotor dan membasuh lukanya.
“ Aku terjatuh saat berlarian ditaman capung “, Legi menjawab sebelum ditanya ibunya tentang luka disiku-nya.
Ibunya hanya tersenyum menanggapi ucapannya, tapi tak mengindikasikan dia percaya dengan ucapan legi.
“ Dia tetap ayahmu “, ucap ibunya menenangkan Legi.
Tapi seiring seringnya Legi mendengar ucapan itu, semakin dia menyangsikan kebenarannya. Mana ada  orangtua yang tega memaki dan dengan ringan melayangkan tangannya memukul anaknya sendiri seperti memukul musuhnya.
Langit merah jingga dengan awan tipis – tipis seperti kapas, sesekali melintas burung yang membuat kawanan capung menyebar. Legi merebah di lapangan rumput hijau dengan nafas terengah – engah, sesekali tawanya terdengar jika ada capung yang terbang rendah mendekatinya. Tangannya berusaha meraih – raih meski dia tahu tidak mungkin menangkap capung yang sedang terbang dengan tangan kosong. Sementara ini dia bisa melupakan kejadian siang tadi. Dia bangkit duduk diatas rumput, pandangannya tercuri pada capung yang hinggap di ilalang. Dia bercerita, seraya berbicara pada capung yang hinggap di batang ilalang. Legi bercerita tentang kejadian siang tadi, dia juga bercerita tentang hubungannya dengan ayahnya selama ini. Dia tahu benar capung itu tidak mengerti apa yang diucapkannya atau mengerti tentang bahasa yang dia gunakan.
Capung itu terbang setelah legi menutup ceritanya dengan helaan nafas. Dia menatap kelangit mencari jejak capung tadi, tapi tak ditemukannya lagi    sampai pandangannya kembali teralihkan oleh capung lain yang hinggap di ilalang yang sama tempat capung sebelumnya hinggap. Dia memperhatikan capung itu, bentuknya asing baginya. Selama dia bermain di taman capung ini, belum pernah dia melihat capung seperti ini. Bentuknya lebih kecil bahkan lebih tipis dari capung biasanya, sayapnya pun terlipat kebelakang saat hinggap   terlihat berbeda dengan capung lainnya. Legi tertarik dan ingin menangkapnya, dia merasa ingin memiliki capung unik yang jarang dilihat olehnya. Tangannya sudah bersiap, selaras dengan kuda – kuda kakinya, hampir saja dia menangkap capung itu    hanya beberapa sentimeter saja.
“ Jangan kau menangkap capung itu “, tiba – tiba ada suara yang membuatnya berhenti dan mengalihkan perhatiannya ke sumber suara.
 “ Itu capung jarum, yang umur hidupnya sangat pendek. Mungkin beberapa hari saja “.
Ekspresi Legi yang tadinya antusias ingin menangkap capung itu, tiba – tiba berubah menjadi iba melihat capung itu.
“ Jika kau membunuhnya, maka orangtua mu akan mati juga sebagai karmanya”. Legi terkejut mendengar ucapan anak asing yang baru dia lihat bersamaan dengan baru dilihatnya capung jarum yang aneh sekaligus menyeramkan baginya.
Dia berlari meninggalkan anak misterius itu dan capung jarum yang tadi ingin ditangkapnya. Beberapa langkah dia berlari sambil menoleh kebelakang, dia tidak melihat anak misterius itu lagi. Dia bertanya – tanya kemana anak itu, kenapa dia bisa menghilang begitu cepat. Dia terjatuh tersandung akar tumbuhan yang menghalangi langkahnya, tapi kali ini rasa takutnya lebih besar dari rasa penasarannya. Dia cepat bangun dan melanjutkan larinya dibawah langit sore.
Legi mendapati luka memar merah, bukan didengkulnya yang tadi menghantam tanah lapang ditaman capung. Dia melihat di pipi kiri ibunya, sama seperti yang biasa dia lihat ditangannya jika ayahnya marah. Legi tahu benar penyebab memar merah itu. Amarahnya seperti ingin meledak, tapi tertahan oleh tubuh kecil dan rasa takut akan ayahnya.
Legi belum bisa memejamkan matanya sambil merangkum dan mengingat kembali kejadian sepanjang hari ini, tentang ayahnya, ibunya, capung jarum dan anak laki – laki misterius ditaman capung. Tapi dia paling tertarik mengingat tentang capung jarum dan mitosnya.
Suara pintu terbuka menghantam tembok rumahnya dengan keras, diiringi suara teriakan sumpah serapah lelaki yang tak asing lagi baginya. Bau alkohol menyeruak. Dia mengintip dari pintu yang terbuka sedikit. Dia tidak ingin melihat lanjutan pemandangan di ruang tamu rumah kecilnya. Dipejamkannya mata dan naik ke atas kasur.
Legi terjaga dari tidurnya, matanya terbuka perlahan agak berat. Dia melihat siluet sosok manusia, belum sempat dia bersuara, mulutnya telah disumpal kain. Tubuh kecilnya meronta – ronta ditindih tubuh yang dua kali, bahkan mungkin tiga kali lebih besar dari tubuhnya. Dia sudah kehabisan daya, tubuhnya dingin berkeringat bercampur dengan keringat asing yang bukan keluar dari pori – pori kullitnya. Dia hafal aroma tubuh itu meski tersamar bau alkohol, lelaki satu – satunya dirumah ini yang sudah bosan dengan tubuh ibunya. Legi merasakan rasa sakit yang luar biasa yang berawal dari satu titik yang kemudian menjalar naik ke dada dan menjalar berputar – putar dikepala. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang dirasakannya hanya sakit luar biasa dan rasa lelah yang hebat. Dia tak tahu sekeras apa tangis dan teriakannya jika mulutnya tak tersumbat baju tidurnya. Air matanya mengalir pelan dari sudut matanya dan merembes di seprai kasur. Lelaki itu tak peduli apapun, paling tidak dia tak perlu melihat ekspresi wajah anaknya karena remang temaram kamar yang hanya samar – samar ditembus sinar bulan dari jendela yang dilapis gorden tipis. Napasnya terengah – engah seperti kuda pacu dibalas air mata yang mulai mengalir jarang – jarang, Legi sudah mati rasa dibuatnya. Setelah puas bergumul dengan nafsu, lelaki itu meninggalkan Legi yang sudah terkulai tak berdaya tak sadarkan diri. Baju tidur yang tadi menyumpal mulutnya sudah terpasang kembali dibadannya meski tidak begitu rapih.
Matahari pukul 11 menembus jendela kamar menerobos begitu saja gorden yang bersembunyi dibalik kaca jendela, memaksa sepasang mata untuk terbuka. Legi tidak tahu apa yang terjadi dinihari tadi, yang dia rasakan hanya sakit. Dia hanya menganggap itu sama seperti siksaan – siksaan sebelumnya, tapi siksaan ini lebih terasa dan membekas sakitnya. Telapak tangan ayahnya biasa mendarat keras ditubuhnya, pun dengan kejadian dinihari tadi. Dia hanya menganggap sepeti itu, hanya saja dengan bagian tubuh lain dan menusuk pada bagian tubuh yang tak biasanya dihinggapi tangan setan ayahnya. Ayahnya tahu benar kepolosan Legi seperti itu, paling tidak dia tidak perlu khawatir dan harus repot – repot membungkam Legi. Dan paling tidak dia tidak harus membayar seperti biasanya saat melampiaskan nafsunya dengan pelacur yang biasa dia temui di warung remang – remang. Satu lagi yang membuat makhluk bejat ini merasa tak berdosa dan bisa bernafas lega, Legi paling pintar menyimpan dan menahan rasa sakitnya sendiri. Dia tahu benar akan hal itu dan memang demikian adanya.
Sepasang kaki kecil melangkah perlahan, rasa nyeri masih terasa di celah antara kakinya, menahan kakinya berjalan perlahan. Kali ini tak ditemani senyum diwajah legi. Debar jantung berlomba dengan langkah kaki, was – was    canggung   gelisah    menggantikan rasa riang di potongan hatinya.
Tiba di taman capung   masih tak tampak wajah sumringah bahagia seperti biasanya. Legi mendongakkan wajahnya kelangit, kearah gerombolan capung yang terbang tenang seperti mengambang. Dia melepas sendal dari kaki sebelah kanannya, melangkah pelan diatas rumput hijau yang beberapa bagiannya sudah menguning kering. Dia seperti mencari sesuatu, pandangannya awas menyisir ujung – ujung ilalang sambil sesekali memandang keatas. Dia terdiam terpaku pada suatu objek, didekatinya dengan langkah perlahan lebih senyap dari desis ular yang melata, digenggamnya dengan kuat sendal di tangan kanannya    keringat merembes keluar dari dahinya, debar jantung menggoyangkan niat jahatnya. Legi menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan – pelan,  dia urungkan niatnya sambil duduk diatas rumput. Direbahkan tubuhnya   matanya pun terpejam. Legi melihat capung jarum yang terbang, semakin tinggi     semakin tinggi   semakin tinggi  sampai mendekati awan, tapi dia masih bisa melihatnya dengan jelas. Warnanya biru tua, sayapnya yang bening terlihat rapuh. Capung jarum itu seperti menggodanya, terbang mendekat kemudian menjauh, mendekat dan menjauh lagi     sampai kemudian capung jarum itu menjauh, tapi Legi masih bisa melihatnya    hingga gelegar petir menyambar membelah tubuh capung jarum yang rapuh tepat ditengah capung itu dan memisahkan kedua pasang sayap beningnya.
Legi tersentak kembali kedunia nyata diatas rumput hijau tempatnya merebahkan badan. Dilihatnya kesebelah kiri, tubuhnya merangkak pelan   hati – hati, dihantamkannya sendal sekuat – kuatnya. Diambilnya kemudian sendal yang tadi dihempaskannya ke sebatang ilalang, dia tidak menemukan apa – apa, yang dilihat hanya beberapa batang ilalang yang rebah karena hantaman sendal jepitnya. Dia melihat bagian bawah sendal, didapatinya bangkai capung jarum menempel dibagian bawah sendal jepitnya, dengan bentuk yang sudah tidak terlihat seperti capung lagi. Dia gemetar melihat bangkai capung jarum itu, tapi sedikit lega    karena dia hanya membunuh satu dari sepasang capung jarum yang hinggap di ilalang tadi. Perasaannya tak keruan, memandangi bangkai capung jarum yang sudah gepeng dan menempel disendal. Apa mitos tentang capung jarum itu benar adanya, apa dia hanya membunuh capung jarum yang tak berdosa ini  atau dia juga membunuh? Beribu pertanyaan memadati kepalanya yang tidak seberapa besar. Legi merasa lemas dan tubuhnya ambruk begitu saja, sejenak dia hanya melihat ruang hitam yang kosong. Saat matanya terbuka, langit sore telah berubah gelap     dia bangkit dan berjalan pelan pulang.
Legi mendapati rumahnya sudah ramai oleh tetangga sekitar rumahnya. Dia bertanya – tanya apa yang terjadi? Dia melangkah cemas.
 “ sabar nak, ikhlaskan saja takdir ini “, salah seorang menepuk punggungnya dengan ekspresi muka melas penuh iba.
 Apakah ini benar terjadi, mitos itu? Tanyanya dalam hati. Dia mencari ibunya, tapi tak ditemui ibunya. Legi berdiri didepan pintu kamar ibunya yang terbuka, dia terdiam mematung. Dilihatnya ayahnya yang terduduk mengurai air mata, disebelah sesosok tubuh manusia yang terbujur tertutup kain putih dari ujung kaki sampai kepala, meski begitu dia merasa mengenali tubuh yang terbujur kaku yang tersembunyi dibalik kain putih itu. Ayahnya menoleh kearahnya, mata kedua anak – ayah itu saling bertemu, yang satu menyorot tajam seperti karnivora yang melihat mangsanya, sedangkan lawannya membalas dengan tatapan kosong penuh kebingungan. Ayahnya menghampiri legi dengan penuh amarah dan berniat menjadikan anaknya pelampiasan marahnya, Legi menepis tangan ayahnya   menerobos tubuh ayahnya yang berkali – kali lebih besar darinya    mendekati tubuh yang terbaring tak bergerak dibalik kain putih. Air matanya tak tertahan setelah dia menyingkap kain yang menutupi wajah sang mayat. Apa yang kulakukan, apa aku yang membunuhnya. Legi hanya berani berteriak dan bertanya dalam hati.
“ Ini salahmu, kau membunuhnya. Dasar anak tak berguna”, hardik ayah Legi yang sedari tadi ingin melampiaskan kemarahan dan kesedihan kepadanya.
 Legi teringat tentang capung jarum ditaman yang meregang nyawa akibat tebasan sendal jepitnya, dia membunuh capung jarum itu. Legi teringat tentang karma atau kutukan yang dia dengar dari anak misterius ditaman sehari sebelumnya. Aku membunuh nya, aku membunuh capung jarum itu. Secara tak langsung aku juga membunuh ibu, karena kutukan capung jarum itu benar adanya. Terjadi.
Tangan ayahnya mendorong tubuh Legi menjauh dari jasad ibunya,
“ dia pasti terkena serangan jantung karena setiap hari sibuk memikirkan kelakuanmu yang semakin liar saja “.
Ayahnya mengeluarkan hardikan sejadi – jadinya tanpa mempedulikan suasana sekitar, kerabatnya hanya bisa menahannya agar tenang dan berhenti menyalahkan dan memukul legi.
Tak ada laporan untuk kepolisian, tak ada istilah otopsi, tak ada kecurigaan, tak ada hal yang ganjil dalam pandangan setiap orang yang mengetahui kematian ibunya. Gagal jantung, nyeri dada, sesak napas, kolaps dan mati begitu saja. Semua percaya cerita yang dikisahkan ayah Legi. Sementara Legi punya pandangan lain, ibunya mati oleh kutukan capung yang dibunuhnya. Atau lelaki yang menyiksanya selama ini. Siapa pembunuh diantara mereka?  
Tanah merah kuburan ibunya belum juga kering, legi sudah berjalan gontai ke taman capung sambil memikirkan tentang luka memar dan lebam dijasad ibunya yang terlihat lebih banyak dan masih segar. Dalam hatinya meracau tak keruan, sakit jantung! Sakit jantung! Sakit jantung! Aku yang membunuhnya? Atau lelaki itu membunuhnya, hanya ada dua kemungkinan itu.
Legi merebahkan diri ditaman capung sambil memikirkan kelanjutan hidupnya dirumah yang lebih mirip seperti neraka baginya sekarang. Apakah dia akan mengalami nasib seperti anak – anak perempuan dalam berita kriminal yang dia lihat di televisi, jadi korban kekerasan ayahnya, pelampiasan amarah bahkan seks? Yang semuanya sebenarnya tanpa sadar telah diterimanya. Atau dia akan mendapat tambahan siksaan dari ibu tirinya kelak? Sempat terlintas dibenaknya untuk menetap ditaman capung bersama teman – teman capungnya, atau dia akan bertemu kembali dengan anak laki misterius kemarin dan menjadi teman,  mungkin.
Hari semakin gelap   matahari pun sudah berpindah menyinari belahan bumi lain, Legi masih bertahan ditaman capung. Dilihatnya capung jarum, meski semua capung jarum terlihat sama tapi dia merasa mengenali wujud capung jarum yang satu ini. Dia teringat tentang capung jarum yang dibunuhnya kemarin, ini pasangannya. Legi mengibas – kibaskan tangannya ke arah capung jarum itu untuk mengusirnya, capung jarum itu tak beranjak menghindar    bahkan seperti mempersilahkan legi membunuhya seperti yang dilakukannya kepada pasangannya. Legi bingung dengan tingkah capung jarum itu, dia merasa bersalah dan meminta maaf kepada capung jarum itu,
“ Kemarin aku membunuh pasanganmu, kemudian ibuku meninggal sebagai karmanya”.
Legi tahu capung jarum itu tak akan mengerti apa yang diucapkannya, tapi paling tidak dia lega mengungkapkan isi hatinya dan meminta maaf kepada capung jarum itu.
“ Kita sudah impas bukan? Aku hidup sendiri tanpa ibuku dan kau tanpa pasanganmu”.
Legi melihat kilat dilangit gelap, dia teringat petir yang membelah tubuh capung kemarin. Dia menoleh kesebelah kirinya, dia masih mendapati capung jarum yang sama. Legi memandangi capung jarum itu, dia seperti melihat air mata dikeluarkan capung jarum itu. Legi terus memandangi capung jarum itu,
“ bunuhlah aku, maka aku akan bertemu kembali dengan pasanganku dan kau akan terbebas dari ayahmu “.
Suara itu mengagetkan legi, apa capung jarum yang dilihatnya seperti mengeluarkan air mata, sekarang malah berbicara bahasa yang bisa dimengertinya? Suara itu terus berulang – ulang sampai memekakan kupingnya, apa yang harus kulakukan? Tanyanya dalam hati. Ditengah kebingungannya, dia seperti tak punya pilihan untuk meredam seruan itu yang mulai mengganggunya. Paling tidak kali ini dia punya kesempatan untuk mengetahui tentang kebenaran kutukan yang menimpa ibunya dan dia juga ingin membuktikan apakah dia pembunuh ibunya atau bukan.
Legi berjalan meninggalkan taman capung, dia berhenti dan menoleh kebelakang. Dilihatnya anak laki misterius yang beberapa hari lalu melarangnya membunuh capung jarum. Legi memandang anak itu, anak laki itu membalasnya dengan senyuman. Legi berlari kearah rumahnya. Dia agak melambatkan langkahnya ketika dia sudah mendekati rumahnya, kali ini tidak seperti kemarin, tidak ada keramaian tetangganya atau kerabatnya dengan muka sedih. Rumahnya hanya rumah sepi seperti tak berpenghuni, dia mengendap – endap mendekati  jendela rumahnya. Dia melihat samar – samar seperti bentuk kaki manusia, selebihnya terhalang sekat pembatas rumahnya.  Keringatnya merembes didahinya, jantungnya berdebar lebih keras. Tapi sebentar perasaan itu hilang berganti senyum kecil, dia meraih ranting kayu dan memukulkannya ketangan kanannya. Tangan yang dua kali digunakannya untuk membunuh.
****
Legi merasa nyaman sekarang, disebelah neneknya. Luka ditangan kanannya pun dibasuh dengan air hangat dan handuk, sesekali terasa sakit, sekaligus ada rasa kepuasan dan ketenangan dihatinya.
“ Ayah tirimu memang keterlaluan, beraninya dia memukul anak kecil sampai memar seperti ini”.
Legi hanya tersenyum sambil menahan sakit ditangannya. Dia tidak membenarkan tudingan neneknya tapi tidak menyangkalnya juga. Dia hanya menyesal membunuh capung jarum yang menyebabkan kutukan terhadap ibunya, tapi dia menolak menyesal membunuh capung jarum yang satunya lagi.
Dia tidak bodoh, dia bisa membedakan hal yang benar dan yang salah. Ibunya mengajarinya dengan baik tentang hal itu. Dia hanya belum mau melakukan hal yang benar, karena ayahnya dengan sangat baik juga mengajari tentang hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar