Berlari telanjang kaki,
tanpa kerikil mampu melukai kaki – kaki kecil yang tak berdosa. Rambut panjang
menyebar digerai angin melepas karet
gelang pengikatnya. Gigi kelincinya mengering dihiasi liur yang tertarik menyerupai
benang segaris yang menghiasi gelak tawanya. Gadis kecil yang terlihat merdeka
tanpa beban, berlarian dibawah kawanan capung.
Langit merah jingga
dengan awan tipis – tipis seperti kapas, sesekali melintas burung yang membuat
kawanan capung menyebar. Legi merebah di lapangan rumput hijau dengan nafas
terengah – engah, sesekali tawanya terdengar jika ada capung yang terbang
rendah mendekatinya. Tangannya berusaha meraih – raih meski dia tahu tidak
mungkin menangkap capung yang sedang terbang dengan tangan kosong. Orang –
orang menyebut tanah lapang berumput hijau ini dengan nama taman capung, karena
begitu banyak capung di taman itu kalau sore hari menjelang.
Legi tersentak menyadari hari sudah sore menjelang waktu
maghrib, seharusnya dia sudah dirumah dalam keadaan bersih. Dia tahu benar
resiko yang akan dihadapinya bila telat sampai rumah, ledakan sumpah serapah
dari ayahnya tapi itu sudah tidak
terlalu ditakutinya lagi, tapi tangan ayahnya akan membekas merah paling tidak sampai makan malam baru hilang
bekasnya dan rasa sakitnya. Dia berlari cepat beranjak dari taman capung meninggalkan
capung – capung kesayangannya yang menjadi teman bermainnya setiap sore hari.
Ayahnya ternyata sudah
duduk dikursi goyang sambil menenteng cangkir kopi kesayangannya lengkap dengan
isinya kopi hitam panas, Legi berjalan
pelan mengendap – endap seperti maling yang sedang menyatroni rumah korbannya
ditengah malam yang sunyi. Gelegar menyentak gadis kecil itu seperti petir di
siang bolong, tapi ada yang lebih ditakuti Legi daripada gelegar petir disiang
bolong ya, bentakan ayahnya dengan
suara serak beraroma kopi bercampur tembakau. Ibunya menenangkan amarah
ayahnya, Legi sering menyaksikan kejadian ini
seperti deja vu mungkin. Dia tahu ibunya tidak pernah berhasil
menenangkan amarah ayahnya yang terlihat seperti memusuhi Legi. Tapi kali ini
ayahnya tidak mengakhiri bentakannya dengan tebasan tangan kanannya, Legi
mengira hari ini ibunya berhasil
meredam amarah ayahnya, tapi sebenarnya tidak juga. Ayahnya lagi senang hatinya
karena menang judi siangnya.
Hari sudah tidak begitu
pagi tapi belum bisa dibilang siang, legi terpaksa harus membuka matanya saat
ayahnya menarik tangannya.
“ Bangun dasar pemalas,
cuma perempuan malam yang masih sibuk dengan gulingnya ginihari”.
Legi merasa tidak
bersalah karena dia memang tidak punya
kewajiban untuk bangun pagi. Dia sudah sepuluh tahun, tapi tidak bersekolah.
Seragam putih – merah yang sudah menjadi hak tidak didapat olehnya. Masalahnya
klise, tentang biaya dan sekolahpun masih tergolong jarang didesanya sekalipun ada kondisinya juga tidak begitu
bagus. Tembok berjamur, atap dipenuhi kerlip dari bintik – bintik cahaya
matahri yang menembus lubang - lubang dengan ruang kelas seadanya dan guru yang
kurang. Legi hanya belajar membaca, menulis dan berhitung seadanya dari
tetangganya yang bernasib lebih beruntung darinya.
Dingin air sumur
menghapus bekas cengkeraman tangan ayahnya, mengguyur dari atas kepala menyamarkan sedikit air matanya. Dia memang
tidak terlalu sakit akibat cengkeraman
ayahnya, dia hanya bertanya apa
salahnya? Ayahnya terlihat sangat membencinya, seperti sudah memasukannya ke
daftar musuh.
“ Dia meyayangimu,
jangan berpikir macam – macam dan jangan dendam. Dia ayahmu”, ibunya seperti
bisa membaca pikirannya, berusaha menangkis semua prasangka buruk legi kepada
ayahnya.
“ Kamu cuma harus
terlihat lebih baik dihadapannya, menjadi seperti maunya dan turuti saja
perkataannya “, tambah ibunya menasihati Legi.
“Apa aku tidak terlihat
seperti anak baik ?”, Legi bertanya kepada ibunya sambil menunduk, “kamu masih
terlihat baik dimata ibu, bahkan sangat baik. Bahkan tuhan memberi bonus senyum manis, sama seperti
namamu legi yang berarti manis”.
Legi hanya tersenyum
mendengar ibunya yang memang paling pintar menyenangkan hati anaknya.
Setelah selesai belajar
baca tulis dirumah mba wani tetangganya, Legi langsung berlari cepat. Dia tidak
perlu lagi izin akan kemana kepada ibunya, karena ibunya sudah tahu arah kaki
kecilnya melangkah. Berlari melawan angin sampai rambutnya melayang terbawa
angin yang berhembus membelakanginya. Matahari masih terik menyoroti padang
rumput hijau yang memantulkan bayangan seorang gadis kecil, capung terbang
seperti hanya mengambang bergerombol
diatas gadis kecil yang tertawa – tawa sambil mendongakkan wajahnya. Tiba –
tiba gerombolan capung terbang agak menyebar seperti hendak menghindari
ancaman, seiring dengan suara teriakan lelaki dari pinggir lapangan dengan
penuh amarah dan menghamburkannya pada gadis kecil yang membaur diantara
gerombolan capung.
“ Legi! Apa yang kau lakukan disini, matahari
terik akan menghitamkan kulitmu. Orang kaya mana yang mau dengan perempuan
dekil dan hitam, pulang ambil wudhu dan
berdo’a untuk ayahmu ini agar dapat uang banyak”.
Tangan pria itu menarik
tangan Legi dengan keras, sampai dia terjatuh di rumput hijau yang tingginya
tidak merata. Sejenak langkah pria itu berhenti membiarkan Legi segera berdiri dengan
bantuan tebasan tangannya, seperti kusir yang mencambuk kuda agar lekas jalan. Menahan
sakit, Legi merasa percuma menagis itu
tak akan membuat pria yang disebutnya ayah bersikap lebih baik padanya. Dia
menghapus air matanya, dengan tangannya yang kotor dan kini membekas dipipinya.
Dia tahu air matanya hanya akan menularkan kesedihan kepada ibunya.
Percekcokan suami istri
menggema dirumah kecil ini, Legi bersembunyi dikamarnya untuk menghindari
raungan caci maki kedua mulut orang tuanya. Samar – samar dia mendengar
bentakan ayahnya,
“ lihat kelakuan anak
kesayanganmu yang makin hari makin mengesalkan saja”,
“itu karena kau selalu
mencari – cari kesalahan anak kecil yang belum mengerti apa – apa. Semua
tentang legi salah dimatamu”, sahut ibunya membela.
“ Itu karena aku selalu teringat saat pertama
kali melihatnya, anak yang tak jelas asal – usulnya itu. Aku keluar penjara setelah dua tahun
membusuk disana tanpa kau besuk, dan kau dengan enteng menyebut dia anak kita“.
Suasana senyap setelah
terdengar hentakan keras daun pintu. Ibu menghampiri Legi yang meringkuk
ketakutan dikamar, dia membersihkan tubuh Legi yang kotor dan membasuh lukanya.
“ Aku terjatuh saat
berlarian ditaman capung “, Legi menjawab sebelum ditanya ibunya tentang luka
disiku-nya.
Ibunya hanya tersenyum
menanggapi ucapannya, tapi tak mengindikasikan dia percaya dengan ucapan legi.
“ Dia tetap ayahmu “,
ucap ibunya menenangkan Legi.
Tapi seiring seringnya
Legi mendengar ucapan itu, semakin dia menyangsikan kebenarannya. Mana ada orangtua yang tega memaki dan dengan ringan
melayangkan tangannya memukul anaknya sendiri seperti memukul musuhnya.
Langit merah jingga
dengan awan tipis – tipis seperti kapas, sesekali melintas burung yang membuat
kawanan capung menyebar. Legi merebah di lapangan rumput hijau dengan nafas
terengah – engah, sesekali tawanya terdengar jika ada capung yang terbang
rendah mendekatinya. Tangannya berusaha meraih – raih meski dia tahu tidak
mungkin menangkap capung yang sedang terbang dengan tangan kosong. Sementara
ini dia bisa melupakan kejadian siang tadi. Dia bangkit duduk diatas rumput,
pandangannya tercuri pada capung yang hinggap di ilalang. Dia bercerita, seraya
berbicara pada capung yang hinggap di batang ilalang. Legi bercerita tentang
kejadian siang tadi, dia juga bercerita tentang hubungannya dengan ayahnya
selama ini. Dia tahu benar capung itu tidak mengerti apa yang diucapkannya atau
mengerti tentang bahasa yang dia gunakan.
Capung itu terbang
setelah legi menutup ceritanya dengan helaan nafas. Dia menatap kelangit
mencari jejak capung tadi, tapi tak ditemukannya lagi sampai pandangannya kembali teralihkan oleh
capung lain yang hinggap di ilalang yang sama tempat capung sebelumnya hinggap.
Dia memperhatikan capung itu, bentuknya asing baginya. Selama dia bermain di
taman capung ini, belum pernah dia melihat capung seperti ini. Bentuknya lebih
kecil bahkan lebih tipis dari capung biasanya, sayapnya pun terlipat kebelakang
saat hinggap terlihat berbeda dengan
capung lainnya. Legi tertarik dan ingin menangkapnya, dia merasa ingin memiliki
capung unik yang jarang dilihat olehnya. Tangannya sudah bersiap, selaras
dengan kuda – kuda kakinya, hampir saja dia menangkap capung itu hanya beberapa sentimeter saja.
“ Jangan kau menangkap
capung itu “, tiba – tiba ada suara yang membuatnya berhenti dan mengalihkan
perhatiannya ke sumber suara.
“ Itu capung jarum, yang umur hidupnya sangat
pendek. Mungkin beberapa hari saja “.
Ekspresi Legi yang
tadinya antusias ingin menangkap capung itu, tiba – tiba berubah menjadi iba
melihat capung itu.
“ Jika kau membunuhnya,
maka orangtua mu akan mati juga sebagai karmanya”. Legi terkejut mendengar
ucapan anak asing yang baru dia lihat bersamaan dengan baru dilihatnya capung
jarum yang aneh sekaligus menyeramkan baginya.
Dia berlari
meninggalkan anak misterius itu dan capung jarum yang tadi ingin ditangkapnya.
Beberapa langkah dia berlari sambil menoleh kebelakang, dia tidak melihat anak
misterius itu lagi. Dia bertanya – tanya kemana anak itu, kenapa dia bisa
menghilang begitu cepat. Dia terjatuh tersandung akar tumbuhan yang menghalangi
langkahnya, tapi kali ini rasa takutnya lebih besar dari rasa penasarannya. Dia
cepat bangun dan melanjutkan larinya dibawah langit sore.
Legi mendapati luka
memar merah, bukan didengkulnya yang tadi menghantam tanah lapang ditaman
capung. Dia melihat di pipi kiri ibunya, sama seperti yang biasa dia lihat
ditangannya jika ayahnya marah. Legi tahu benar penyebab memar merah itu.
Amarahnya seperti ingin meledak, tapi tertahan oleh tubuh kecil dan rasa takut
akan ayahnya.
Legi belum bisa
memejamkan matanya sambil merangkum dan mengingat kembali kejadian sepanjang
hari ini, tentang ayahnya, ibunya, capung jarum dan anak laki – laki misterius
ditaman capung. Tapi dia paling tertarik mengingat tentang capung jarum dan
mitosnya.
Suara pintu terbuka
menghantam tembok rumahnya dengan keras, diiringi suara teriakan sumpah serapah
lelaki yang tak asing lagi baginya. Bau alkohol menyeruak. Dia mengintip dari
pintu yang terbuka sedikit. Dia tidak ingin melihat lanjutan pemandangan di
ruang tamu rumah kecilnya. Dipejamkannya mata dan naik ke atas kasur.
Legi terjaga dari
tidurnya, matanya terbuka perlahan agak berat. Dia melihat siluet sosok
manusia, belum sempat dia bersuara, mulutnya telah disumpal kain. Tubuh
kecilnya meronta – ronta ditindih tubuh yang dua kali, bahkan mungkin tiga kali
lebih besar dari tubuhnya. Dia sudah kehabisan daya, tubuhnya dingin
berkeringat bercampur dengan keringat asing yang bukan keluar dari pori – pori
kullitnya. Dia hafal aroma tubuh itu meski tersamar bau alkohol, lelaki satu –
satunya dirumah ini yang sudah bosan dengan tubuh ibunya. Legi merasakan rasa
sakit yang luar biasa yang berawal dari satu titik yang kemudian menjalar naik
ke dada dan menjalar berputar – putar dikepala. Dia tidak tahu apa yang
sebenarnya terjadi, yang dirasakannya hanya sakit luar biasa dan rasa lelah
yang hebat. Dia tak tahu sekeras apa tangis dan teriakannya jika mulutnya tak
tersumbat baju tidurnya. Air matanya mengalir pelan dari sudut matanya dan
merembes di seprai kasur. Lelaki itu tak peduli apapun, paling tidak dia tak
perlu melihat ekspresi wajah anaknya karena remang temaram kamar yang hanya
samar – samar ditembus sinar bulan dari jendela yang dilapis gorden tipis. Napasnya
terengah – engah seperti kuda pacu dibalas air mata yang mulai mengalir jarang
– jarang, Legi sudah mati rasa dibuatnya. Setelah puas bergumul dengan nafsu,
lelaki itu meninggalkan Legi yang sudah terkulai tak berdaya tak sadarkan diri.
Baju tidur yang tadi menyumpal mulutnya sudah terpasang kembali dibadannya
meski tidak begitu rapih.
Matahari pukul 11
menembus jendela kamar menerobos begitu saja gorden yang bersembunyi dibalik
kaca jendela, memaksa sepasang mata untuk terbuka. Legi tidak tahu apa yang
terjadi dinihari tadi, yang dia rasakan hanya sakit. Dia hanya menganggap itu
sama seperti siksaan – siksaan sebelumnya, tapi siksaan ini lebih terasa dan
membekas sakitnya. Telapak tangan ayahnya biasa mendarat keras ditubuhnya, pun
dengan kejadian dinihari tadi. Dia hanya menganggap sepeti itu, hanya saja
dengan bagian tubuh lain dan menusuk pada bagian tubuh yang tak biasanya
dihinggapi tangan setan ayahnya. Ayahnya tahu benar kepolosan Legi seperti itu,
paling tidak dia tidak perlu khawatir dan harus repot – repot membungkam Legi.
Dan paling tidak dia tidak harus membayar seperti biasanya saat melampiaskan
nafsunya dengan pelacur yang biasa dia temui di warung remang – remang. Satu
lagi yang membuat makhluk bejat ini merasa tak berdosa dan bisa bernafas lega,
Legi paling pintar menyimpan dan menahan rasa sakitnya sendiri. Dia tahu benar
akan hal itu dan memang demikian adanya.
Sepasang kaki kecil
melangkah perlahan, rasa nyeri masih terasa di celah antara kakinya, menahan
kakinya berjalan perlahan. Kali ini tak ditemani senyum diwajah legi. Debar
jantung berlomba dengan langkah kaki, was – was canggung
gelisah menggantikan rasa riang
di potongan hatinya.
Tiba di taman
capung masih tak tampak wajah sumringah
bahagia seperti biasanya. Legi mendongakkan wajahnya kelangit, kearah
gerombolan capung yang terbang tenang seperti mengambang. Dia melepas sendal
dari kaki sebelah kanannya, melangkah pelan diatas rumput hijau yang beberapa
bagiannya sudah menguning kering. Dia seperti mencari sesuatu, pandangannya
awas menyisir ujung – ujung ilalang sambil sesekali memandang keatas. Dia
terdiam terpaku pada suatu objek, didekatinya dengan langkah perlahan lebih
senyap dari desis ular yang melata, digenggamnya dengan kuat sendal di tangan
kanannya keringat merembes keluar dari
dahinya, debar jantung menggoyangkan niat jahatnya. Legi menarik nafas panjang
dan menghembuskannya pelan – pelan, dia
urungkan niatnya sambil duduk diatas rumput. Direbahkan tubuhnya matanya pun terpejam. Legi melihat capung
jarum yang terbang, semakin tinggi
semakin tinggi semakin tinggi sampai mendekati awan, tapi dia masih bisa
melihatnya dengan jelas. Warnanya biru tua, sayapnya yang bening terlihat
rapuh. Capung jarum itu seperti menggodanya, terbang mendekat kemudian menjauh,
mendekat dan menjauh lagi sampai
kemudian capung jarum itu menjauh, tapi Legi masih bisa melihatnya hingga gelegar petir menyambar membelah
tubuh capung jarum yang rapuh tepat ditengah capung itu dan memisahkan kedua
pasang sayap beningnya.
Legi tersentak kembali
kedunia nyata diatas rumput hijau tempatnya merebahkan badan. Dilihatnya
kesebelah kiri, tubuhnya merangkak pelan
hati – hati, dihantamkannya sendal sekuat – kuatnya. Diambilnya kemudian
sendal yang tadi dihempaskannya ke sebatang ilalang, dia tidak menemukan apa –
apa, yang dilihat hanya beberapa batang ilalang yang rebah karena hantaman
sendal jepitnya. Dia melihat bagian bawah sendal, didapatinya bangkai capung
jarum menempel dibagian bawah sendal jepitnya, dengan bentuk yang sudah tidak
terlihat seperti capung lagi. Dia gemetar melihat bangkai capung jarum itu,
tapi sedikit lega karena dia hanya
membunuh satu dari sepasang capung jarum yang hinggap di ilalang tadi.
Perasaannya tak keruan, memandangi bangkai capung jarum yang sudah gepeng dan
menempel disendal. Apa mitos tentang capung jarum itu benar adanya, apa dia
hanya membunuh capung jarum yang tak berdosa ini atau dia juga membunuh? Beribu pertanyaan
memadati kepalanya yang tidak seberapa besar. Legi merasa lemas dan tubuhnya
ambruk begitu saja, sejenak dia hanya melihat ruang hitam yang kosong. Saat
matanya terbuka, langit sore telah berubah gelap dia bangkit dan berjalan pelan pulang.
Legi mendapati rumahnya
sudah ramai oleh tetangga sekitar rumahnya. Dia bertanya – tanya apa yang
terjadi? Dia melangkah cemas.
“ sabar nak, ikhlaskan saja takdir ini “,
salah seorang menepuk punggungnya dengan ekspresi muka melas penuh iba.
Apakah ini benar terjadi, mitos itu? Tanyanya
dalam hati. Dia mencari ibunya, tapi tak ditemui ibunya. Legi berdiri didepan
pintu kamar ibunya yang terbuka, dia terdiam mematung. Dilihatnya ayahnya yang
terduduk mengurai air mata, disebelah sesosok tubuh manusia yang terbujur
tertutup kain putih dari ujung kaki sampai kepala, meski begitu dia merasa
mengenali tubuh yang terbujur kaku yang tersembunyi dibalik kain putih itu. Ayahnya
menoleh kearahnya, mata kedua anak – ayah itu saling bertemu, yang satu menyorot
tajam seperti karnivora yang melihat mangsanya, sedangkan lawannya membalas
dengan tatapan kosong penuh kebingungan. Ayahnya menghampiri legi dengan penuh
amarah dan berniat menjadikan anaknya pelampiasan marahnya, Legi menepis tangan
ayahnya menerobos tubuh ayahnya yang
berkali – kali lebih besar darinya
mendekati tubuh yang terbaring tak bergerak dibalik kain putih. Air
matanya tak tertahan setelah dia menyingkap kain yang menutupi wajah sang
mayat. Apa yang kulakukan, apa aku yang membunuhnya. Legi hanya berani
berteriak dan bertanya dalam hati.
“ Ini salahmu, kau
membunuhnya. Dasar anak tak berguna”, hardik ayah Legi yang sedari tadi ingin
melampiaskan kemarahan dan kesedihan kepadanya.
Legi teringat tentang capung jarum ditaman
yang meregang nyawa akibat tebasan sendal jepitnya, dia membunuh capung jarum
itu. Legi teringat tentang karma atau kutukan yang dia dengar dari anak
misterius ditaman sehari sebelumnya. Aku membunuh nya, aku membunuh capung
jarum itu. Secara tak langsung aku juga membunuh ibu, karena kutukan capung
jarum itu benar adanya. Terjadi.
Tangan ayahnya
mendorong tubuh Legi menjauh dari jasad ibunya,
“ dia pasti terkena
serangan jantung karena setiap hari sibuk memikirkan kelakuanmu yang semakin
liar saja “.
Ayahnya mengeluarkan
hardikan sejadi – jadinya tanpa mempedulikan suasana sekitar, kerabatnya hanya
bisa menahannya agar tenang dan berhenti menyalahkan dan memukul legi.
Tak ada laporan untuk
kepolisian, tak ada istilah otopsi, tak ada kecurigaan, tak ada hal yang ganjil
dalam pandangan setiap orang yang mengetahui kematian ibunya. Gagal jantung,
nyeri dada, sesak napas, kolaps dan mati begitu saja. Semua percaya cerita yang
dikisahkan ayah Legi. Sementara Legi punya pandangan lain, ibunya mati oleh
kutukan capung yang dibunuhnya. Atau lelaki yang menyiksanya selama ini. Siapa
pembunuh diantara mereka?
Tanah merah kuburan
ibunya belum juga kering, legi sudah berjalan gontai ke taman capung sambil
memikirkan tentang luka memar dan lebam dijasad ibunya yang terlihat lebih
banyak dan masih segar. Dalam hatinya meracau tak keruan, sakit jantung! Sakit
jantung! Sakit jantung! Aku yang membunuhnya? Atau lelaki itu membunuhnya,
hanya ada dua kemungkinan itu.
Legi merebahkan diri
ditaman capung sambil memikirkan kelanjutan hidupnya dirumah yang lebih mirip
seperti neraka baginya sekarang. Apakah dia akan mengalami nasib seperti anak –
anak perempuan dalam berita kriminal yang dia lihat di televisi, jadi korban
kekerasan ayahnya, pelampiasan amarah bahkan seks? Yang semuanya sebenarnya
tanpa sadar telah diterimanya. Atau dia akan mendapat tambahan siksaan dari ibu
tirinya kelak? Sempat terlintas dibenaknya untuk menetap ditaman capung bersama
teman – teman capungnya, atau dia akan bertemu kembali dengan anak laki misterius
kemarin dan menjadi teman, mungkin.
Hari semakin gelap matahari pun sudah berpindah menyinari
belahan bumi lain, Legi masih bertahan ditaman capung. Dilihatnya capung jarum,
meski semua capung jarum terlihat sama tapi dia merasa mengenali wujud capung
jarum yang satu ini. Dia teringat tentang capung jarum yang dibunuhnya kemarin,
ini pasangannya. Legi mengibas – kibaskan tangannya ke arah capung jarum itu untuk
mengusirnya, capung jarum itu tak beranjak menghindar bahkan seperti mempersilahkan legi membunuhya
seperti yang dilakukannya kepada pasangannya. Legi bingung dengan tingkah
capung jarum itu, dia merasa bersalah dan meminta maaf kepada capung jarum itu,
“ Kemarin aku membunuh
pasanganmu, kemudian ibuku meninggal sebagai karmanya”.
Legi tahu capung jarum
itu tak akan mengerti apa yang diucapkannya, tapi paling tidak dia lega
mengungkapkan isi hatinya dan meminta maaf kepada capung jarum itu.
“ Kita sudah impas
bukan? Aku hidup sendiri tanpa ibuku dan kau tanpa pasanganmu”.
Legi melihat kilat dilangit
gelap, dia teringat petir yang membelah tubuh capung kemarin. Dia menoleh
kesebelah kirinya, dia masih mendapati capung jarum yang sama. Legi memandangi
capung jarum itu, dia seperti melihat air mata dikeluarkan capung jarum itu.
Legi terus memandangi capung jarum itu,
“ bunuhlah aku, maka
aku akan bertemu kembali dengan pasanganku dan kau akan terbebas dari ayahmu “.
Suara itu mengagetkan
legi, apa capung jarum yang dilihatnya seperti mengeluarkan air mata, sekarang
malah berbicara bahasa yang bisa dimengertinya? Suara itu terus berulang –
ulang sampai memekakan kupingnya, apa yang harus kulakukan? Tanyanya dalam hati.
Ditengah kebingungannya, dia seperti tak punya pilihan untuk meredam seruan itu
yang mulai mengganggunya. Paling tidak kali ini dia punya kesempatan untuk
mengetahui tentang kebenaran kutukan yang menimpa ibunya dan dia juga ingin
membuktikan apakah dia pembunuh ibunya atau bukan.
Legi berjalan
meninggalkan taman capung, dia berhenti dan menoleh kebelakang. Dilihatnya anak
laki misterius yang beberapa hari lalu melarangnya membunuh capung jarum. Legi
memandang anak itu, anak laki itu membalasnya dengan senyuman. Legi berlari
kearah rumahnya. Dia agak melambatkan langkahnya ketika dia sudah mendekati
rumahnya, kali ini tidak seperti kemarin, tidak ada keramaian tetangganya atau
kerabatnya dengan muka sedih. Rumahnya hanya rumah sepi seperti tak
berpenghuni, dia mengendap – endap mendekati jendela rumahnya. Dia melihat samar – samar seperti
bentuk kaki manusia, selebihnya terhalang sekat pembatas rumahnya. Keringatnya merembes didahinya, jantungnya
berdebar lebih keras. Tapi sebentar perasaan itu hilang berganti senyum kecil,
dia meraih ranting kayu dan memukulkannya ketangan kanannya. Tangan yang dua
kali digunakannya untuk membunuh.
****
Legi merasa nyaman
sekarang, disebelah neneknya. Luka ditangan kanannya pun dibasuh dengan air
hangat dan handuk, sesekali terasa sakit, sekaligus ada rasa kepuasan dan
ketenangan dihatinya.
“ Ayah tirimu memang
keterlaluan, beraninya dia memukul anak kecil sampai memar seperti ini”.
Legi hanya tersenyum
sambil menahan sakit ditangannya. Dia tidak membenarkan tudingan neneknya tapi
tidak menyangkalnya juga. Dia hanya menyesal membunuh capung jarum yang
menyebabkan kutukan terhadap ibunya, tapi dia menolak menyesal membunuh capung
jarum yang satunya lagi.
Dia tidak bodoh, dia
bisa membedakan hal yang benar dan yang salah. Ibunya mengajarinya dengan baik
tentang hal itu. Dia hanya belum mau melakukan hal yang benar, karena ayahnya
dengan sangat baik juga mengajari tentang hal itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar