“Turun
– turun!” Teriakan membahana didepan gedung dewan. Memanaskan suasana yang
sudah panas oleh terik matahari. Tapi wajah di poster yang diusung – usung masa
tetap saja tersenyum. Aksi teatrikal pun tak mengubah ekspresi potret wajah
pimpinan, tetap tersenyum anggun penuh wibawa.
“Kami
tak bodoh. Ini rezim korup tersukses.” Tomo berorasi penuh emosi.
Bukan
amarah. Jiwanya bersatu dalam gestur dan kalimat yang keluar dari corong
pengeras suara. Sepenuh hati.
Suasana
masih kondusif, ribuan pasang mata aparat mengintip dari balik tameng besi.
Agak lucu memang, mengingat lawan yang mereka hadapi tidak bersenjata. Jumlah
mereka sepadan untuk menyaingi jumlah masa yang berkelir warna – warni. Aparat
hanya memakai satu warna. Itupun warna yang kelam dan terkesan murung.
Mereka
seperti berada di medan perang, terpisah oleh pagar. Ya, pagar tinggi nan kokoh
layaknya benteng yang berdiri beberapa ratus meter dari gedung dewan. Kenapa
harus ada pagar yang berdiri begitu sombong di tempat yang berjuluk rumah rakyat?
Itulah, harus ada jarak, mereka berbeda. Mereka bagian pemikir segala
kebijakan, peraturan dan sistem. Kemudian rakyatnya yang menjalaninya, yang
mempraktekannya. Itulah mengapa mereka mudah saja membuat keputusan, peraturan
dan segala macam kebijakan. Mereka tidak terbeban dengan semua yang mereka
buat. Karena yang menjalaninya rakyat.
****
“Bagaimana
dengan gerakan serangga – serangga itu, sudah sejauh mana?” Pimpinan bertanya
kepada ajudannya.
Pimpinan
beserta ajudan, penasihat dan eksekutor lapangan membentuk kelompok kecil
mereka sendiri. Kelompok yang lebih eksekutif dari pada kabinet negeri
bentukannya. Pimpinan menamai kelompok eksekutif itu dengan sebutan fantastic four, merujuk adanya empat
orang yang menjadi kelompok itu, salah satunya pimpinan itu sendiri. Bukan
hanya berdasarkan anggotanya empat orang pimpinan menamai fantastic four. Tapi juga karena mereka mempunyai semacam kekuatan
fantastis dalam pemerintahannya, meski dengan cara apapun. Termasuk yang tidak
halal dan termasuk konspirasi – konspirasi kontroversial yang membodohi rakyat
dan hanya untuk kepentingan golongannya.
“Masih
seperti kemarin pimpinan.” Ajudan menjawab pertanyaan sang pimpinan.
“Jadi
sebaiknya apa yang saya lakukan?” Pimpinan bertanya kepada penasihatnya.
“Kita
sebaiknya menunggu pergerakan mereka,” penasihat memberi pandangannya ke sang pimpinan.
“Semakin
mereka para serangga – serangga pengganggu terprovokasi, semakin bagus.” Lanjut
penasihat.
“Ya,
itu bisa mengurangi simpati rakyat. Apalagi sampai bentrokan pecah.” Ajudan
menambahkan.
“Kenapa
tidak buat demikian?” Pimpinan mencetuskan idenya.
“Ya,
kita buat para serangga terprovokasi.” Pimpinan menjelaskan idenya kepada
anggota perkumpulan eksekutif fantastic
four lainnya.
Anggota
fantastic four pun mengangguk tanda
setuju. Rapat rahasia fantastic four
hari ini pun ditutup.
****
Dibawah
langit sore yang meredup, matahari sudah separuh bersembunyi. Seorang pemuda
berdiri diatas podium. Podium khayalannya yang tak lain hanya sebuah mobil box
sitaan yang dicegatnya saat demonstrasi mulai pecah dan memanas tengah hari
tadi.
Pemuda
itu tidak berbalutkan seragam almamater berwarna seperti yang lainnya. Dia
hanya mengenakan kemeja batik dan celana denim lusuh. Dia buka golongan pelajar
tingkat tinggi yang biasa disebut mahasiswa, seperti rekan – rekannya yang ada
dibawah komandonya.
Hartomo
Jagat Pelita, itulah nama pemuda itu. Tapi kebanyakan rekan- rekannya
memanggilnya Tomo. Itu karena mereka menganggap semangatnya membara dan meledak
– ledak teritama saat berorasi dan menggerakan masa. Konon mengingatkan mereka
akan sosok bung Tomo sang pahlawan bangsa dari Surabaya.
Tomo
memang pemuda seperempat abad biasa, bukan mahasiswa dan tak pernah mengklaim
dirinya aktivis. Dia hanya menolak apatis, skeptis terhadap keadaan negeri ini.
Tanah tumpah darahnya. Ya, negeri yang dicintainya tapi dia tidak puas dengan
sistem yang ada. Rezim yang korup. Dia menyebut rezim ini sebagai rezim korup
tersukses melebihi era orde baru. Karena korupsi saat ini sudah semakin rapih
terorganisir dan tertutup dengan baiknya oleh sistem – sistem pemerintahan.
Semua gerak – gerik kalangan eksekutif, yudikatif dan legislatif tak lebih
hanya drama dimatanya.
****
Media
memberitakan lusa akan ada gerakan masa besar – besaran dibawa komando Tomo.
Media menyebut Tomo dengan sebutan panglima demonstran. Dia memang orator ulung
yang seperti mempunyai kekuatan untuk menggerakan masa.
Tak
ayal belakangan ini, seiring demonstrasi besar – besaran, namanya sering
disebut berbagai media. Beberapa media bahkan mengutip pernyataan – pernyataan
pengamat politik negeri yang menyebut, “rezim pimpinan akan runtuh jika Tomo
terus menggerakan masa.” Kutipan itu menjadi headline di beberapa media. Selain
itu ada pula yang menulis “Panglima vs Pimpinan”, sebagai headline surat
kabarnya. Ya, Tomo sang “panglima” demonstran melawan sang pimpinan negeri.
****
“Lihat
pak, anakmu sedang menantang maut.” Ujar Kartini kepada Hatta suaminya.
“Tak
apa, dia mengikuti nuraninya. Biarkan saja begitu, paling tidak dia masih punya
nurani. Tidak seperti pimpinan.” Balas Hatta dengan suara datar.
“Tapi
kita sudah terbiasa hidup diatas kaki kita sendiri, tidak perlu belas kasih
pimpinan. Dan kita dirumah ini sudah seperti negara kita sendiri. Tak ada
campur tangan pimpinan.” Kartini bersuara pelan.
“Memang.
Tapi aku setengah mati mencari uang sebagai buruh pabrik sambil berharap
kenaikan UMR dan belum tenang dengan ikatan perjanjian pekerja kontrak.” Hatta
meninggikan suaranya.
Suasana
rumah sederhana itu hening sebentar, hanya terdengar suara televisi yang tak
terlalu kencang.
“Mereka
hidup mewah memakan anggaran, kita setengah mati hidup sederhana. Adilkah?”
Hatta menutup perbincangan dengan istrinya.
Di
televisi muncul tersiar gambar sang pimpinan yang disiarkan langsung dari
istana untuk keperluan konferensi pers mengenai suasan negeri yang sedang
dilanda krisis dan sedang marak demonstrasi besar – besaran.
“Saya
prihatin dengan krisis yang melanda negeri ini dan demonstrasi besar yang
sedang terjadi di negeri ini.” Begitu kalimat pembuka sang pemimpin.
“Persetan.
Tak usah mengumbar kata prihatin dengan wajah melas. Kami bukan pengemis yang
mengharap belas kasihan.” Hatta meracau sambil menekan tombol power televisi.
****
Dua
hari berselang, masa turun kejalan. Semua akses jalan di sekitar gedung dewan
di kelilingi masa yang penuh emosi. Dari kubu berlawanan aparat sudah siap
dengan persenjataanya; tameng, gas air mata dan tembakan berisi peluru karet.
Bentrokan
tak bisa dhindarkan. Kedua kubu saling provokasi dan saling mengumbar emosi.
Tak ada beda. Mereka penuh amarah, tapi sebenarnya bukan salah mereka. Mereka
hanya terjebak dan seperti sengaja diadu, oleh siapa? Mungkin Tuhan dan sang
pimpinan yang tahu jawabannya.
****
Fantastic four mengamati
siaran langsung bentrokan melalui televisi. Ada yang berwajah serius, ada yang
sambil berpikir dan ada yang menahan tawa.
“Bila
ada penganggu dan merubah suasana menjadi kondusif, cepat bergerak. Korbankan
ketua serangga dan salah satu aparat.” Pimpinan memberi instruksi yang langsung
dipahami anggota lainnya.
****
“Hentikan!”
Tomo berseru dengan pengeras suaranya.
Dia
tiba – tiba sudah ada diatas truk kompi aparat. Berdiri disana. Tapi
teriakannya tak didengar masa yang sudah beringas.
Tomo
terus berteriak dan menembakkan kembang api yang tadi disulutnya kearah langit.
Semua mata dan perhatian teralihkan. Tomo kembali memegang komando masa
demonstran.
“Hentikan
ini, bentrokan ini, kekerasan dan pengrusakan ini,” Tomo berseru dengan nafas
terengah – engah.
“Ini
bukan mau kami, dan juga mau kalian aparat keamanan. Kita hanya terjebak atau
dijebak disini dan dipaksa saling serang. Untuk menyamarkan borok dan kebusukan
rezim ini.”
Semua
diam dan menatap Tomo.
“Damailah
kalian, kita melawan musuh yang sama.”
Letusan
tembakan menghentikan orasi Tomo. Tembakan yang juga menghentikan nafasnya.
Tembakan yang memuntahkan peluru tajam ke dahinya. Masa terperangah, begitupun
aparat. Masa berlari behamburan mundur. Beberapa orang menggotong tubuh Tomo
yang terkulai tak berdaya dengan darah mengucur dari dahinya. Aparat hanya
saling memandang satu sama lain, seperti tak percaya apa yang baru saja dilihat
mereka.
****
Dari
sebuah ruangan di dalam istana, suara pimpinan dan anggota fantastic four yang lain terdengar riuh, seperti merayakan
kemenangan.
“cheers,”
“Selamat, anda aman pimpinan.
Gelak
tawa yang bisu menutup rapat khusus tim fantastic
four. Seiring dengan es batu yang lumer dalam gelas anggur, bersamaan itu,
darah dari dahi Tomo belum berhenti mengalir.
****
Suasana
dipersidangan tegang. Masa pendukung dan rekan – rekan Tomo memenuhi ruang
sidang. Mereka menunggu vonis hakim sambil sesekali berseru, “pembunuh.”
“Saya
tidak tahu yang mulia, setahu saya senjata itu berisi peluru karet,” ujar
seorang aparat yang duduk dikursi panas sebagai terdakwa. Tubuhnya berkeringat
dan terlihat gelisah.
“Saya
diberi senjata itu dan....”
Keringat
mengucur deras dari tubuhnya, pandangannya kabur, tubuhnya mengigil kedinginan,
mulutnya memuntahkan lendir. Dia kolaps dipersidangan tanpa vonis hakim dan
tanpa menyebut nama si aktor utama pembunuhan Tomo. Ajal menjemput aparat itu
sama seperti Tomo.
Ditelevisi
tersiar sang pimpinan menggelar konferensi pers,
“Saya
prihatin atas kematian salah satu demonstran dan juga aparat yang tewas
dipersidangan.” Sang pemimpin berbicara dengan gaya khasnya muka yang melas dan
kata prihatin.
“Persetan!!”
dhuarr. Hatta melempar layar televisinya dengan batu yang diambilnya disekitar
makam Tomo.
Ada
duka tapi tanpa air mata, amarahnya dipendam dan dibiarkan terkubur bersama
jasad anaknya. Sebagian orang menganggap Tomo gugur dalam medan perang sebagai
pahlawan. Ya, pahlawan yang benar – benar tanpa tanda jasa, tanpa liang di kalibata.
Kasus pembunuhannya pun berhenti begitu saja. Pimpinan dan kroninya selalu tak
tersentuh. Mereka fantastis, manusia setengah dewa. Fantastic four.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar