Powered By Blogger

Kamis, 26 April 2012

Panglima vs Pimpinan

“Turun – turun!” Teriakan membahana didepan gedung dewan. Memanaskan suasana yang sudah panas oleh terik matahari. Tapi wajah di poster yang diusung – usung masa tetap saja tersenyum. Aksi teatrikal pun tak mengubah ekspresi potret wajah pimpinan, tetap tersenyum anggun penuh wibawa.
“Kami tak bodoh. Ini rezim korup tersukses.” Tomo berorasi penuh emosi.
Bukan amarah. Jiwanya bersatu dalam gestur dan kalimat yang keluar dari corong pengeras suara. Sepenuh hati.
Suasana masih kondusif, ribuan pasang mata aparat mengintip dari balik tameng besi. Agak lucu memang, mengingat lawan yang mereka hadapi tidak bersenjata. Jumlah mereka sepadan untuk menyaingi jumlah masa yang berkelir warna – warni. Aparat hanya memakai satu warna. Itupun warna yang kelam dan terkesan murung.
Mereka seperti berada di medan perang, terpisah oleh pagar. Ya, pagar tinggi nan kokoh layaknya benteng yang berdiri beberapa ratus meter dari gedung dewan. Kenapa harus ada pagar yang berdiri begitu sombong di tempat yang berjuluk rumah rakyat? Itulah, harus ada jarak, mereka berbeda. Mereka bagian pemikir segala kebijakan, peraturan dan sistem. Kemudian rakyatnya yang menjalaninya, yang mempraktekannya. Itulah mengapa mereka mudah saja membuat keputusan, peraturan dan segala macam kebijakan. Mereka tidak terbeban dengan semua yang mereka buat. Karena yang menjalaninya rakyat.
****
“Bagaimana dengan gerakan serangga – serangga itu, sudah sejauh mana?” Pimpinan bertanya kepada ajudannya.
Pimpinan beserta ajudan, penasihat dan eksekutor lapangan membentuk kelompok kecil mereka sendiri. Kelompok yang lebih eksekutif dari pada kabinet negeri bentukannya. Pimpinan menamai kelompok eksekutif itu dengan sebutan fantastic four, merujuk adanya empat orang yang menjadi kelompok itu, salah satunya pimpinan itu sendiri. Bukan hanya berdasarkan anggotanya empat orang pimpinan menamai fantastic four. Tapi juga karena mereka mempunyai semacam kekuatan fantastis dalam pemerintahannya, meski dengan cara apapun. Termasuk yang tidak halal dan termasuk konspirasi – konspirasi kontroversial yang membodohi rakyat dan hanya untuk kepentingan golongannya.
“Masih seperti kemarin pimpinan.” Ajudan menjawab pertanyaan sang pimpinan.
“Jadi sebaiknya apa yang saya lakukan?” Pimpinan bertanya kepada penasihatnya.
“Kita sebaiknya menunggu pergerakan mereka,” penasihat memberi pandangannya ke  sang pimpinan.
“Semakin mereka para serangga – serangga pengganggu terprovokasi, semakin bagus.” Lanjut penasihat.
“Ya, itu bisa mengurangi simpati rakyat. Apalagi sampai bentrokan pecah.” Ajudan menambahkan.
“Kenapa tidak buat demikian?” Pimpinan mencetuskan idenya.
“Ya, kita buat para serangga terprovokasi.” Pimpinan menjelaskan idenya kepada anggota perkumpulan eksekutif fantastic four lainnya.
Anggota fantastic four pun mengangguk tanda setuju. Rapat rahasia fantastic four hari ini pun ditutup.
****
Dibawah langit sore yang meredup, matahari sudah separuh bersembunyi. Seorang pemuda berdiri diatas podium. Podium khayalannya yang tak lain hanya sebuah mobil box sitaan yang dicegatnya saat demonstrasi mulai pecah dan memanas tengah hari tadi.
Pemuda itu tidak berbalutkan seragam almamater berwarna seperti yang lainnya. Dia hanya mengenakan kemeja batik dan celana denim lusuh. Dia buka golongan pelajar tingkat tinggi yang biasa disebut mahasiswa, seperti rekan – rekannya yang ada dibawah komandonya.
Hartomo Jagat Pelita, itulah nama pemuda itu. Tapi kebanyakan rekan- rekannya memanggilnya Tomo. Itu karena mereka menganggap semangatnya membara dan meledak – ledak teritama saat berorasi dan menggerakan masa. Konon mengingatkan mereka akan sosok bung Tomo sang pahlawan bangsa dari Surabaya.
Tomo memang pemuda seperempat abad biasa, bukan mahasiswa dan tak pernah mengklaim dirinya aktivis. Dia hanya menolak apatis, skeptis terhadap keadaan negeri ini. Tanah tumpah darahnya. Ya, negeri yang dicintainya tapi dia tidak puas dengan sistem yang ada. Rezim yang korup. Dia menyebut rezim ini sebagai rezim korup tersukses melebihi era orde baru. Karena korupsi saat ini sudah semakin rapih terorganisir dan tertutup dengan baiknya oleh sistem – sistem pemerintahan. Semua gerak – gerik kalangan eksekutif, yudikatif dan legislatif tak lebih hanya drama dimatanya.
****
Media memberitakan lusa akan ada gerakan masa besar – besaran dibawa komando Tomo. Media menyebut Tomo dengan sebutan panglima demonstran. Dia memang orator ulung yang seperti mempunyai kekuatan untuk menggerakan masa.
Tak ayal belakangan ini, seiring demonstrasi besar – besaran, namanya sering disebut berbagai media. Beberapa media bahkan mengutip pernyataan – pernyataan pengamat politik negeri yang menyebut, “rezim pimpinan akan runtuh jika Tomo terus menggerakan masa.” Kutipan itu menjadi headline di beberapa media. Selain itu ada pula yang menulis “Panglima vs Pimpinan”, sebagai headline surat kabarnya. Ya, Tomo sang “panglima” demonstran melawan sang pimpinan negeri.
****
“Lihat pak, anakmu sedang menantang maut.” Ujar Kartini kepada Hatta suaminya.
“Tak apa, dia mengikuti nuraninya. Biarkan saja begitu, paling tidak dia masih punya nurani. Tidak seperti pimpinan.” Balas Hatta dengan suara datar.
“Tapi kita sudah terbiasa hidup diatas kaki kita sendiri, tidak perlu belas kasih pimpinan. Dan kita dirumah ini sudah seperti negara kita sendiri. Tak ada campur tangan pimpinan.” Kartini bersuara pelan.
“Memang. Tapi aku setengah mati mencari uang sebagai buruh pabrik sambil berharap kenaikan UMR dan belum tenang dengan ikatan perjanjian pekerja kontrak.” Hatta meninggikan suaranya.
Suasana rumah sederhana itu hening sebentar, hanya terdengar suara televisi yang tak terlalu kencang.
“Mereka hidup mewah memakan anggaran, kita setengah mati hidup sederhana. Adilkah?” Hatta menutup perbincangan dengan istrinya.
Di televisi muncul tersiar gambar sang pimpinan yang disiarkan langsung dari istana untuk keperluan konferensi pers mengenai suasan negeri yang sedang dilanda krisis dan sedang marak demonstrasi besar – besaran.
“Saya prihatin dengan krisis yang melanda negeri ini dan demonstrasi besar yang sedang terjadi di negeri ini.” Begitu kalimat pembuka sang pemimpin.
“Persetan. Tak usah mengumbar kata prihatin dengan wajah melas. Kami bukan pengemis yang mengharap belas kasihan.” Hatta meracau sambil menekan tombol power televisi.
****
Dua hari berselang, masa turun kejalan. Semua akses jalan di sekitar gedung dewan di kelilingi masa yang penuh emosi. Dari kubu berlawanan aparat sudah siap dengan persenjataanya; tameng, gas air mata dan tembakan berisi peluru karet.
Bentrokan tak bisa dhindarkan. Kedua kubu saling provokasi dan saling mengumbar emosi. Tak ada beda. Mereka penuh amarah, tapi sebenarnya bukan salah mereka. Mereka hanya terjebak dan seperti sengaja diadu, oleh siapa? Mungkin Tuhan dan sang pimpinan yang tahu jawabannya.
****
Fantastic four mengamati siaran langsung bentrokan melalui televisi. Ada yang berwajah serius, ada yang sambil berpikir dan ada yang menahan tawa.
“Bila ada penganggu dan merubah suasana menjadi kondusif, cepat bergerak. Korbankan ketua serangga dan salah satu aparat.” Pimpinan memberi instruksi yang langsung dipahami anggota lainnya.
****
“Hentikan!” Tomo berseru dengan pengeras suaranya.
Dia tiba – tiba sudah ada diatas truk kompi aparat. Berdiri disana. Tapi teriakannya tak didengar masa yang sudah beringas.
Tomo terus berteriak dan menembakkan kembang api yang tadi disulutnya kearah langit. Semua mata dan perhatian teralihkan. Tomo kembali memegang komando masa demonstran.
“Hentikan ini, bentrokan ini, kekerasan dan pengrusakan ini,” Tomo berseru dengan nafas terengah – engah.
“Ini bukan mau kami, dan juga mau kalian aparat keamanan. Kita hanya terjebak atau dijebak disini dan dipaksa saling serang. Untuk menyamarkan borok dan kebusukan rezim ini.”
Semua diam dan menatap Tomo.
“Damailah kalian, kita melawan musuh yang sama.”
Letusan tembakan menghentikan orasi Tomo. Tembakan yang juga menghentikan nafasnya. Tembakan yang memuntahkan peluru tajam ke dahinya. Masa terperangah, begitupun aparat. Masa berlari behamburan mundur. Beberapa orang menggotong tubuh Tomo yang terkulai tak berdaya dengan darah mengucur dari dahinya. Aparat hanya saling memandang satu sama lain, seperti tak percaya apa yang baru saja dilihat mereka.
****
Dari sebuah ruangan di dalam istana, suara pimpinan dan anggota fantastic four yang lain terdengar riuh, seperti merayakan kemenangan.
“cheers,”
 “Selamat, anda aman pimpinan.                                
Gelak tawa yang bisu menutup rapat khusus tim fantastic four. Seiring dengan es batu yang lumer dalam gelas anggur, bersamaan itu, darah dari dahi Tomo belum berhenti mengalir.
****
Suasana dipersidangan tegang. Masa pendukung dan rekan – rekan Tomo memenuhi ruang sidang. Mereka menunggu vonis hakim sambil sesekali berseru, “pembunuh.”
“Saya tidak tahu yang mulia, setahu saya senjata itu berisi peluru karet,” ujar seorang aparat yang duduk dikursi panas sebagai terdakwa. Tubuhnya berkeringat dan terlihat gelisah.
“Saya diberi senjata itu dan....”
Keringat mengucur deras dari tubuhnya, pandangannya kabur, tubuhnya mengigil kedinginan, mulutnya memuntahkan lendir. Dia kolaps dipersidangan tanpa vonis hakim dan tanpa menyebut nama si aktor utama pembunuhan Tomo. Ajal menjemput aparat itu sama seperti Tomo.
Ditelevisi tersiar sang pimpinan menggelar konferensi pers,
“Saya prihatin atas kematian salah satu demonstran dan juga aparat yang tewas dipersidangan.” Sang pemimpin berbicara dengan gaya khasnya muka yang melas dan kata prihatin.
“Persetan!!” dhuarr. Hatta melempar layar televisinya dengan batu yang diambilnya disekitar makam Tomo.
Ada duka tapi tanpa air mata, amarahnya dipendam dan dibiarkan terkubur bersama jasad anaknya. Sebagian orang menganggap Tomo gugur dalam medan perang sebagai pahlawan. Ya, pahlawan yang benar – benar tanpa tanda jasa, tanpa liang di kalibata. Kasus pembunuhannya pun berhenti begitu saja. Pimpinan dan kroninya selalu tak tersentuh. Mereka fantastis, manusia setengah dewa. Fantastic four.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar