Powered By Blogger

Kamis, 12 April 2012

penari topeng


Suara musik bersahutan satu sama lainnya, membentuk irama, diikuti lengkingan lembut sinden melengkapi harmoni musik. Mengiringi seorang penari. Penarinya hanya seorang, tetapi alat musik pengiringnya begitu banyak dan menghasilkan ragam bunyi – bunyian yang banyak pula.
Alunan musik yang aku tak tahu sesuai dengan notasi nada yang resmi didunia internasional atau tidak, atau alat – alat musik yang mereka bilang tradisional ini memang tidak memiliki kunci – kunci untuk mengeluarkan bunyi notasi resmi. Aku tak tahu, tapi aku lebih penasaran dengan sosok penari yang misterius itu. Penari wanita yang mengenakan topeng berwarna emas disetiap petunjukannya, dia pemalu atau memang dia hanya ingin menarikan tarian topeng.
Tapi dengar – dengar dari sanak keluarga atau orang dekat tuan rumah yang menanggap penari itu untuk menari di acara pestanya, penari itu sudah memakai topeng begitu sampai dirumah orang yang menanggapnya. Apa dia memakai topeng dari rumahnya, sepanjang jalan dari rumah menuju lokasi menarinya? Hah omong kosong sepertinya, kecuali dia mau jadi pusat perhatian orang disepanjang jalan yang dilaluinya. Ada juga yang mengatakan, pernah diantara mereka melihat dia muncul begitu saja dari balik pohon besar dihalaman rumah orang yang memanggilnya dan sudah mengenakan topeng dan lengkap dengan seragam tarinya berupa pakaian tradisional jawa yang sering kulihat dipertunjukan ketoprak atau wayang orang.  Satu lagi, wangi wanita itu sungguh khas dan menyegarkan, seperti ada ditaman bunga setiap aku menonton pertunjukan tarinya dan tak ketinggalan tubuh wanita itu seperti mengeluarkan binar cahaya, tepatnya dibagian tubuh yang tak tertutupi oleh baju tarinya, disepanjang lengan, separuh dada bagian atas sampai leher dan sebagian punggungnya.
Jenis tarian yang dibawakannya pun tak kukenal, aku memang tak tahu menahu tentang dunia seni tari. Tapi dari beberapa orang yang akrab dengan dunia tari pun tidak mengenal tarian yang dibawakan si penari misterius itu. Mereka hanya mengira – ngira dengan menyebut tarian topeng tapi itupun karena si penari menggunakan topeng, ya atas dasar itu saja. Mereka menerka sampai akhirnya menebak sekenanya, bahkan mereka pun tidak puas dengan jawaban mereka sendiri, kalau sudah begitu bagaimana aku mau percaya jawaban mereka.
Sungguh misterius wanita penari itu. Untuk memanggil penari itupun tak bisa sembarangan, harus melalui perantara atau bisa dibilang manajernya, seorang wanita paruh baya yang selalu berada dibarisan paling depan setiap penari itu tampil. Hanya wanita itu sepertinya orang yang dekat dengan si penari misterius itu, mungkin hanya dengan dia si penari misterius itu berbicara, padahal kalau dia mau mungkin semua lelaki di desa ini pun dengan senang hati mau berbicara atau sekedar ngobrol dengannya. Bahkan dengan membayar tarif untuk sekedar ngobrol saja dan melepas topeng emas yang menghalangi wajahnya, pasti mereka tak keberatan.
Begitu misteriusnya wanita penari itu, tapi itu yang membuatnya spesial dan menjadi daya tariknya tersendiri, entah itu hanya trik dagangnya untuk semakin banyak menarik penggemar dan semakin difantasikan para lelaki yang rajin melihat pertunjukannya.
Ada juga desas – desus yang mengatakan kalau topeng itu adalah syarat magisnya agar tetap laku dan digemari banyak orang, sehingga banyak yang menanggapnya. Entah benar atau tidak, tapi menurut insting laki – lakiku, dibalik topeng berwarna emas itu tersembunyi paras cantik wajah si penari. Tapi apa gunanya wajah cantik kalau tidak untuk diperlihatkan kepada orang banyak, begitu banyak wanita diluar sana yang mati – matian mempercantik wajahnya untuk dipamerkan kepada setiap orang yang dijumpainya, laki – laki khususnya. Atau mungkin dia hanya ingin menutupi identitasnya, sebenarnya dia juga warga desa ini yang sebenarnya sudah kami kenali. Tapi siapa? Banyak wanita didesa ini, begitu juga yang cantik. Tapi kharismanya tidak ada yang sama dengan penari itu. Atau mungkin kharisma itu datang dari topengnya yang mempunyai magis? Yang sebenarnya jika dia tanpa topeng, dia akan sama saja dengan gadis desa lainnya, malahan dia salah satu dari gadis desa itu sendiri.
Aku mencoba memperluas rasa penasaranku tentang penari itu, dan perhatianku tertuju pada wanita tua yang selalu bersamanya. Tak juga ada orang yang begitu mengenalnya, asalnya juga bukan dari desa ini. Mereka hanya memanggil dengan sebutan Nyai Tua. Dengan dua potong kata Nyai Tua saja, semua penduduk desa sudah langsung tahu kalau orang yang dimaksud adalah Nyai asisten, manajer atau orang kepercayaan si penari misterius bertopeng emas itu. Nyai Tua juga bukan orang yang terlalu ramah, dia hanya berbicara seperlunya. Dia lebih banyak diam saat menemani si penari misterius menari. Banyak juga yang mengajaknya berbicara, dengan maksud mengetahui tentang si penari misterius tentunya, dia hanya diam saja tanpa memandang wajah orang yang mengajaknya berbicara bahkan. Dia hanya tertarik untuk berbicara jika ada juragan – juragan desa yang ingin menanggap si penari,mengajukan tawaran, menyetujui harga, tempat dan waktu pertunjukan. Keramahannya sepertinya sudah tidak bisa lagi diharapkan, mungkin yang ada dipikirannya hanya uang bayaran dari si penari misterius. Kabar burung mengatakan dia ibu dari si penari misterius dan dia juga guru yang mengajari si penari misterius menari. Tapi dilihat dari bentuk tubuhnya yang sudah bertumpuk lemak disana – sini, sepertinya dia sudah lama tidak menggerakan tubuhnya untuk menari. Ya, pasti sudah lama sekali dan dia pun sudah tidak kuat menggerakan tubuhnya yang semakin berat untuk menari. Di usia yang sudah renta, dia memang perlu menghemat nafasnya.
Lalu masih ada lagi orang terakhir yang cukup dekat dengan si penari misterius, dialah kusir dokar. Akhir – akhir ini, si penari misterius dan Nyai Tua beberapa kali diantar – jemput menggunakan dokar. Tapi lagi – lagi, orang  yang kuanggap cukup dekat dengan penari dan bisa digali informasinya, ternyata tak bisa diharapkan. Kusir dokar itu bisu. Beberapa orang yang mencoba berkomunikasi dengannya hanya mendapatkan kebingungan sambil garuk – garuk kepala karena tak mengerti bahasa isyarat. Akhirnya kusir itu tak menanggapi tegur sapa orang – orang, karena dia menganggapnya percuma saja. Dia hanya melemparkan tatapan dingin dengan ekspresi wajah yang minim.
Begitulah jawaban rasa penasaranku, tak terjawab ternyata. Karena mereka seperti ditakdirkan untuk menyimpan rahasia mengenai si penari misterius.
Banyak orang – orang yang tergila – gila dengan kemolekan tubuh si penari dan keindahan gerak gemulai si penari saat sedang menari, mulai dari kalangan bawah seperti pekerja perkebunan, pengangguran yang kerjanya hanya berjudi sabung ayam, sampai juragan – juragan tuan tanah didesa ini. Meski begitupun masih saja ada yang mau mencelakai si penari misterius, salah satunya adalah istri dari salah seorang juragan yang sering menanggap si penari misterius. Dia cemburu dengan si penari misterius, karena dia pernah mendengar gosip yang mengatakan suaminya mencoba melamar si penari misterius melalui Nyai Tua, dengan iming – iming limpahan harta dan surat wasiat yang berisi penyerahan semua warisan atas nama si penari misterius. Tanpa pikir panjang Nyai Tua menolak mentah –mentah lamaran itu, tak putus asa sang juragan pun terus menggoda Nyai Tua dan penari misterius itu dengan iming – iming harta.
Sampai akhirnya sang juragan tewas tertembus peluru senapan angin tepat di dadanya saat menonton pertunjukan si penari misterius di halaman rumahnya sendiri. Konon peluru senapan angin itu berasal dari penembak jitu yang tak lain pembunuh bayaran yang disewa istri sang juragan sendiri. Peluru meleset dari sasaran yang tak lain si penari yang terus bergerak dengan gemulai, sampai menembus jantung sang juragan yang duduk menghadap arah peluru datang.
Istri sang juragan histeris melihat dada suaminya merembeskan darah, penonton yang hadir pun panik berhamburan meninggalkan lokasi pertunjukan. Kaki – tangan sang juragan sibuk memburu pembunuh majikannya meski hasilnya nihil dan penacrian tak dilanjutkan, karena istri sang juragan tahu itu orang suruhannya yang target sebenarnya adalah si penari misterius.
Ditengah suasana panik seperti itupun si penari misterius tetap menari, meski pemain musik pengiringnya sudah berhamburan entah kemana dan meninggalkan alat musik tanpa tuan. Sampai akhirnya istri sang juragan menyuruhnya berhenti menari melalui Nyai Tua. Setelah kejadian itu beberapa kaki – tangan yang konon orang suruhan istri sang majikan membuntuti si penari misterius, Nyai Tua dan dokar yang membawa mereka. Mereka tak lain adalah pembunuh bayaran yang dibayar istri sang juragan untuk menyelesaikan tugasnya. Tapi hasilnya nihil, dari beberapa orang yang membuntuti dokar si penari misterius, hanya dua orang yang berhasil kembali. Sisanya seperti lenyap ditelan lebatnya hutan dimalam hari.
****
Aku masih terjaga, jam sudah menunjukan satu tiga puluh lima dinihari. Samar – samar kudengar gemerincing lonceng yang biasa dipasang di dokar, lalu kemudian suara derap kaki kuda mendekat. Kupandangi jalan disekitar rumah yang tak begitu terang, hanya cahaya bulan sekedarnya yang sudi menerangi jalan di desa ini saat malam hari.
Aku sebar pandangan dari sudut paling kiri semaksimal jarak pandangku  sampai sudut kanan, melewati gapura perbatasan desa. Ya, rumahku dekat dengan perbatasan desa ini ke desa lain yang lebih terpencil dan lebih sedikit dihuni orang. Suara derap kaki dan gemerincing lonceng semakin mendekat, dari arah kiri. Akhirnya mataku menangkap siluet kuda lengkap dengan keretanya dari kegelapan. Melintas didepan rumahku, aku mengenal dokar itu, dokar si penari misterius bertopeng emas. Rasa penasaran akan tujuan hendak kemana dokar itu, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan jalan yang dilalui dokar itu. Terlihat sedikit lebih terang dan merefleksikan bayangan dokar yang tegas, ternyata ada pemandangan aneh dilangit. Awan seperti bergerak menyingkir, membelah seperti jalan yang dilalui dokar, hingga membiarkan cahaya bulan langsung menyorot menerangi dokar, bintang pun berkelip disepanjang jalan yang dilalui dokar si penari misterius itu.
Untuk memenuhi rasa penasaran yang sudah tak bisa lagi dibendung, aku memutuskan membuntuti dokar, dengan terus mengamati langit untuk membaca jalur dokar dengan mengikuti belahan awan dan bintang yang berkelip. Hutan gelap kutembus, suara binatang malam dan gesekan daun yang ditiup angin terdengar samar - samar dan ini sudah beberapa ratus meter dari gapura perbatasan. Ini sudah mendekat kearah kaki gunung, aku bisa merasakan kabutnya.
Bau busuk tercium, tapi kaki ini tak gentar terus melangkah, sudah sejauh ini dan tak mungkin aku kembali jika tak terlihat lagi petunjuk dilangit, aku bisa tersesat dihutan yang gelap dan berputar – putar sampai matahari terbit. Itu masih belum seberapa, bagaimana kalau aku sampai bertemu macan kumbang, serigala atau penghuni hutan lainnya.
Bau busuk semakin jelas tercium aku tersentak, kaki ku menabrak sesuatu. Bukan main terkejutnya, kaki ini tersandung oleh kaki lain yang jelas – jelas bukan kaki ku. Aku amati kaki yang menyandung kaki ku. Ternyata potogan kaki yang tak lagi utuh, berlumur darah yang sudah mengering, tulang yang tak lagi terbungkus daging dan kulit yang tercabik oleh bekas gigitan gigi yang tajam. Disekitar potongan kaki, berserakan jeroan tubuh manusia yang tercerai berai antara satu dengan yang lainnya, begitupun dengan sobekan kain yang tadinya berbentuk pakaian manusia yang kini sudah tak keruan bentuknya. Sejenak aku teringat akan orang suruhan istri sang juragan yang tewas tertembak, mereka yang berhasil keluar dari hutan hanya dua orang sisanya tidak jelas kabarnya. Tapi kini sudah cukup jelas bagiku mengenai nasib mereka, tewas terbunuh dengan sangat mengenaskan. Mungkin sisa anggota tubuh yang lain sedang diproses oleh asam lambung hewan – hewan karnivora.
Nyali sudah mengkerut akibat melihat pemandangan barusan, kusandarkan punggung dibatang pohon sambil menahan kaki yang mulai gemetar. Kembali kedesa atau meneruskan perjalanan membuntuti si penari misterius sudah sama saja resikonya untuk saat ini. Ini bukan daerah pinggiran hutan lagi, tapi sudah ditengah hutan, bahkan sudah mendekati kaki gunung.
Sebaiknya aku bergegas dan melangkah dengan hati – hati agar tak berakhir seperti bangkai yang barusan kutemui. Sebelum pertanda di langit  menghilang.
Gundukan batu besar, diapit beberapa pohon, diseberangnya beberapa meter bagian hutan tak ditumbuhi pohon, hanya rumputan yang tumbuh pendek – pendek. Aku putuskan berhenti dan mengamati keadaan dari balik batu besar yang dikelilingi pohon dan semak – semak. Aku teringat dengan pertanda dilangit, kali ini langit terlihat bersih dari awan dan bulan purnama yang terlihat sangat bulat berada tepat diatas padang rumput yang tidak begitu besar. Bintang – bintang pun berkelip menemani bulan yang bersinar seperti melimpahkan sinarnya dipadang rumput. Lolongan serigala menyalak memecah heningnya malam, diikuti kelebatan kepak sayap kelelawar yang terbang bergerombol. Dari kegelapan hutan disisi seberang tempatku bersembunyi, sepasang bola cahaya yang tak lain sepasang mata, mata binatang penghuni hutan. Kemudian semakin banyak, semakin banyak seperti serentak menyorot kearah padang rumput yang disiram cahaya purnama. Aku palingkan mata kearah belakangku, dan benar saja beberapa pasang matapun juga tampak dari kegelapan. Saat mataku kembali kearah padang rumput, aku melihatnya, dia sudah berdiri menengadah keatas  kearah bulan purnama. Penari misterius itu, lengkap dengan topeng emas dan pakaian tarinya. Dia mulai menggerakan tangannya dengan gemulai diikuti langkah kakinya, dia menari. Tubuhnya bermandikan cahaya bulan, tubuhnya berkilauan saat disentuh cahaya bulan. Dia menari dengan indahnya, tanpa iringan musik, tapi alunan musik tergantikan dengan dengan beribu – ribu kali lebih indah oleh cahaya bulan. Penari itupun seperti merasakan irama yang merdu yang berasal dari cahaya bulan, dia terus menari. Beribu pertanyaan menyeruak dalam hati, mengiringi kekaguman yang sudah sedari tadi muncul. Siapa dia? Tarian apa itu?
“ Dia Dewi Bulan, dan tarian itu tarian bulan”. Suara asing muncul tiba – tiba dari sebelahku, ternyata dia, Nyai Tua.
Aku terkejut akan kehadirannya yang begitu tiba – tiba ada disebelahku.
“ Mengapa dia menari ditengah hutan seperti ini?” aku memberanikan diri bertanya kepada Nyai Tua.
“ Ini bukan sembarang hutan, perhatikan, itu panggung alaminya. Dia menari sebagai persembahannya untuk bulan dan segala keagungan sinarnya”, dia berkata sambil menunjuk kearah padang rumput dan sang Dewi Bulan.
“ Dia bukan manusia biasa seperti kita, dia Dewi Bulan. Makhluk yang berasal dari cahaya bulan. Suatu saat dia akan kembali keasalnya, wujud aslinya”.
“Dewi Bulan, berasal dari cahaya bulan?”
Aku masih terheran – heran dengan penjelasan Nyai Tua dan berusaha memahaminya sambil tak kulepaskan pandangan dari penari misterius itu, yang sekarang kuketahui sebagai Dewi Bulan. Dewi Bulan terus menari, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya atau dia hanya membiaskan cahaya bulan. Topeng emasnya bersinar dan terpecah menyebar menjelma cahaya. Wajahnya terlihat sekarang, tak ada lagi topeng yang menghalangi. Benar saja naluriku sebelumnya, wajahnya begitu cantik. Matanya terpejam, dia seperti pasrah saja mengikuti irama yang berasal dari cahaya bulan.
“ Ini sudah saatnya”, aku penasaran dengan maksud ucapan Nyai Tua, saatnya untuk apa maksudnya.
“ Dia akan kembali ke asalnya”,
“ apa maksudnya? “.
“ Dia akan menjelma cahaya, terbang begitu saja dan menyatu dengan cahaya cahaya bulan yang menerangi bulan”.
Dewi Bulan masih terus menari, tubuhnya semakin menyebarkan cahaya. Selendangnya berkilau menyilaukan, pecah begitu saja dan kepingannya menjelma cahaya, mengambang seperti kunang – kunang.
Dewi Bulan terus menari menghiraukan apa yang terjadi disekitarnya, matanya tetap terpejam. Sinar berkilauan dari kain dan pakaian tarinya, semakin berkilau menyilaukan dan akhirnya berakhir seperti selendangnya, pecah begitu saja dan kepingannya menjelma cahaya. Dewi Bulan masih terus menari, kini tubuhnya polos tak ada selembar benangpun. Hanya cahaya, cahaya yang membalut tubuhnya. Tubuhnya terus berkilauan sangat silau, dia berpijar, matanya terbuka, aku teringat akan mitos tentang legenda medusa, tentang tatapannya yang mengandung kutukan bagi siapa saja orang yang menatap matanya. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya, mengaburkan ketakutan.
Tak ada bola mata, hanya cahaya yang memenuhi mata dan bersinar dengan ekspresi wajah yang sungguh tenang. Semakin berkilau, semakin berkulau, aku tak bisa lagi melihat tubuhnya dengan jelas. Garis – garis cahaya serupa jarum berjatuhan dari langit menghujam tubuh Dewi Bulan. Cahaya – cahaya itu turun seperti menjemput Dewi Bulan. Apa yang akan terjadi, apakah ledakan seperti ledakan meteor? Yang menghasilkan supernova? Aku bisa melihat kilauan aurora dilangit, seperti didaerah kutub.  
“ Pejamkan matamu nak”, Nyai Tua menyuruhku menutup mata seperti yang dia lakukan.
“ Pejamkan matamu jika kau masih ingin dapat melihat”, Nyai Tua memperingatkanku dengan nada yang agak meninggi.
Aku memejamkan mata sesuai perintah Nyai Tua.
Mata terbuka perlahan, seberkas sinar hangat kurasakan. Sinar mentari. Aku masih belum melihat apapun, semua gelap. Tubuhku terbaring direrumputan tengah hutan, suara burung berkicauan dari atas pohon menyambut pagi hari. Apa yang terjadi, aku tak ingat apapun. Aku tak bisa melihat, semua gelap. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar