Suara musik bersahutan
satu sama lainnya, membentuk irama, diikuti lengkingan lembut sinden melengkapi
harmoni musik. Mengiringi seorang penari. Penarinya hanya seorang, tetapi alat
musik pengiringnya begitu banyak dan menghasilkan ragam bunyi – bunyian yang banyak
pula.
Alunan musik yang aku
tak tahu sesuai dengan notasi nada yang resmi didunia internasional atau tidak,
atau alat – alat musik yang mereka bilang tradisional ini memang tidak memiliki
kunci – kunci untuk mengeluarkan bunyi notasi resmi. Aku tak tahu, tapi aku
lebih penasaran dengan sosok penari yang misterius itu. Penari wanita yang
mengenakan topeng berwarna emas disetiap petunjukannya, dia pemalu atau memang
dia hanya ingin menarikan tarian topeng.
Tapi dengar – dengar
dari sanak keluarga atau orang dekat tuan rumah yang menanggap penari itu untuk
menari di acara pestanya, penari itu sudah memakai topeng begitu sampai dirumah
orang yang menanggapnya. Apa dia memakai topeng dari rumahnya, sepanjang jalan
dari rumah menuju lokasi menarinya? Hah omong kosong sepertinya, kecuali dia
mau jadi pusat perhatian orang disepanjang jalan yang dilaluinya. Ada juga yang
mengatakan, pernah diantara mereka melihat dia muncul begitu saja dari balik
pohon besar dihalaman rumah orang yang memanggilnya dan sudah mengenakan topeng
dan lengkap dengan seragam tarinya berupa pakaian tradisional jawa yang sering
kulihat dipertunjukan ketoprak atau wayang orang. Satu lagi, wangi wanita itu sungguh khas dan
menyegarkan, seperti ada ditaman bunga setiap aku menonton pertunjukan tarinya
dan tak ketinggalan tubuh wanita itu seperti mengeluarkan binar cahaya,
tepatnya dibagian tubuh yang tak tertutupi oleh baju tarinya, disepanjang
lengan, separuh dada bagian atas sampai leher dan sebagian punggungnya.
Jenis tarian yang
dibawakannya pun tak kukenal, aku memang tak tahu menahu tentang dunia seni
tari. Tapi dari beberapa orang yang akrab dengan dunia tari pun tidak mengenal
tarian yang dibawakan si penari misterius itu. Mereka hanya mengira – ngira
dengan menyebut tarian topeng tapi itupun karena si penari menggunakan topeng,
ya atas dasar itu saja. Mereka menerka sampai akhirnya menebak sekenanya,
bahkan mereka pun tidak puas dengan jawaban mereka sendiri, kalau sudah begitu
bagaimana aku mau percaya jawaban mereka.
Sungguh misterius
wanita penari itu. Untuk memanggil penari itupun tak bisa sembarangan, harus
melalui perantara atau bisa dibilang manajernya, seorang wanita paruh baya yang
selalu berada dibarisan paling depan setiap penari itu tampil. Hanya wanita itu
sepertinya orang yang dekat dengan si penari misterius itu, mungkin hanya
dengan dia si penari misterius itu berbicara, padahal kalau dia mau mungkin
semua lelaki di desa ini pun dengan senang hati mau berbicara atau sekedar
ngobrol dengannya. Bahkan dengan membayar tarif untuk sekedar ngobrol saja dan
melepas topeng emas yang menghalangi wajahnya, pasti mereka tak keberatan.
Begitu misteriusnya
wanita penari itu, tapi itu yang membuatnya spesial dan menjadi daya tariknya
tersendiri, entah itu hanya trik dagangnya untuk semakin banyak menarik
penggemar dan semakin difantasikan para lelaki yang rajin melihat
pertunjukannya.
Ada juga desas – desus
yang mengatakan kalau topeng itu adalah syarat magisnya agar tetap laku dan
digemari banyak orang, sehingga banyak yang menanggapnya. Entah benar atau
tidak, tapi menurut insting laki – lakiku, dibalik topeng berwarna emas itu
tersembunyi paras cantik wajah si penari. Tapi apa gunanya wajah cantik kalau
tidak untuk diperlihatkan kepada orang banyak, begitu banyak wanita diluar sana
yang mati – matian mempercantik wajahnya untuk dipamerkan kepada setiap orang
yang dijumpainya, laki – laki khususnya. Atau mungkin dia hanya ingin menutupi
identitasnya, sebenarnya dia juga warga desa ini yang sebenarnya sudah kami
kenali. Tapi siapa? Banyak wanita didesa ini, begitu juga yang cantik. Tapi
kharismanya tidak ada yang sama dengan penari itu. Atau mungkin kharisma itu
datang dari topengnya yang mempunyai magis? Yang sebenarnya jika dia tanpa
topeng, dia akan sama saja dengan gadis desa lainnya, malahan dia salah satu
dari gadis desa itu sendiri.
Aku mencoba memperluas
rasa penasaranku tentang penari itu, dan perhatianku tertuju pada wanita tua
yang selalu bersamanya. Tak juga ada orang yang begitu mengenalnya, asalnya
juga bukan dari desa ini. Mereka hanya memanggil dengan sebutan Nyai Tua.
Dengan dua potong kata Nyai Tua saja, semua penduduk desa sudah langsung tahu
kalau orang yang dimaksud adalah Nyai asisten, manajer atau orang kepercayaan
si penari misterius bertopeng emas itu. Nyai Tua juga bukan orang yang terlalu
ramah, dia hanya berbicara seperlunya. Dia lebih banyak diam saat menemani si
penari misterius menari. Banyak juga yang mengajaknya berbicara, dengan maksud
mengetahui tentang si penari misterius tentunya, dia hanya diam saja tanpa
memandang wajah orang yang mengajaknya berbicara bahkan. Dia hanya tertarik
untuk berbicara jika ada juragan – juragan desa yang ingin menanggap si penari,mengajukan
tawaran, menyetujui harga, tempat dan waktu pertunjukan. Keramahannya
sepertinya sudah tidak bisa lagi diharapkan, mungkin yang ada dipikirannya
hanya uang bayaran dari si penari misterius. Kabar burung mengatakan dia ibu
dari si penari misterius dan dia juga guru yang mengajari si penari misterius
menari. Tapi dilihat dari bentuk tubuhnya yang sudah bertumpuk lemak disana –
sini, sepertinya dia sudah lama tidak menggerakan tubuhnya untuk menari. Ya,
pasti sudah lama sekali dan dia pun sudah tidak kuat menggerakan tubuhnya yang
semakin berat untuk menari. Di usia yang sudah renta, dia memang perlu
menghemat nafasnya.
Lalu masih ada lagi
orang terakhir yang cukup dekat dengan si penari misterius, dialah kusir dokar.
Akhir – akhir ini, si penari misterius dan Nyai Tua beberapa kali diantar –
jemput menggunakan dokar. Tapi lagi – lagi, orang yang kuanggap cukup dekat dengan penari dan
bisa digali informasinya, ternyata tak bisa diharapkan. Kusir dokar itu bisu.
Beberapa orang yang mencoba berkomunikasi dengannya hanya mendapatkan
kebingungan sambil garuk – garuk kepala karena tak mengerti bahasa isyarat.
Akhirnya kusir itu tak menanggapi tegur sapa orang – orang, karena dia
menganggapnya percuma saja. Dia hanya melemparkan tatapan dingin dengan
ekspresi wajah yang minim.
Begitulah jawaban rasa
penasaranku, tak terjawab ternyata. Karena mereka seperti ditakdirkan untuk
menyimpan rahasia mengenai si penari misterius.
Banyak orang – orang
yang tergila – gila dengan kemolekan tubuh si penari dan keindahan gerak
gemulai si penari saat sedang menari, mulai dari kalangan bawah seperti pekerja
perkebunan, pengangguran yang kerjanya hanya berjudi sabung ayam, sampai
juragan – juragan tuan tanah didesa ini. Meski begitupun masih saja ada yang
mau mencelakai si penari misterius, salah satunya adalah istri dari salah
seorang juragan yang sering menanggap si penari misterius. Dia cemburu dengan
si penari misterius, karena dia pernah mendengar gosip yang mengatakan suaminya
mencoba melamar si penari misterius melalui Nyai Tua, dengan iming – iming
limpahan harta dan surat wasiat yang berisi penyerahan semua warisan atas nama
si penari misterius. Tanpa pikir panjang Nyai Tua menolak mentah –mentah
lamaran itu, tak putus asa sang juragan pun terus menggoda Nyai Tua dan penari
misterius itu dengan iming – iming harta.
Sampai akhirnya sang
juragan tewas tertembus peluru senapan angin tepat di dadanya saat menonton
pertunjukan si penari misterius di halaman rumahnya sendiri. Konon peluru
senapan angin itu berasal dari penembak jitu yang tak lain pembunuh bayaran
yang disewa istri sang juragan sendiri. Peluru meleset dari sasaran yang tak
lain si penari yang terus bergerak dengan gemulai, sampai menembus jantung sang
juragan yang duduk menghadap arah peluru datang.
Istri sang juragan
histeris melihat dada suaminya merembeskan darah, penonton yang hadir pun panik
berhamburan meninggalkan lokasi pertunjukan. Kaki – tangan sang juragan sibuk
memburu pembunuh majikannya meski hasilnya nihil dan penacrian tak dilanjutkan,
karena istri sang juragan tahu itu orang suruhannya yang target sebenarnya
adalah si penari misterius.
Ditengah suasana panik
seperti itupun si penari misterius tetap menari, meski pemain musik
pengiringnya sudah berhamburan entah kemana dan meninggalkan alat musik tanpa
tuan. Sampai akhirnya istri sang juragan menyuruhnya berhenti menari melalui
Nyai Tua. Setelah kejadian itu beberapa kaki – tangan yang konon orang suruhan
istri sang majikan membuntuti si penari misterius, Nyai Tua dan dokar yang
membawa mereka. Mereka tak lain adalah pembunuh bayaran yang dibayar istri sang
juragan untuk menyelesaikan tugasnya. Tapi hasilnya nihil, dari beberapa orang
yang membuntuti dokar si penari misterius, hanya dua orang yang berhasil
kembali. Sisanya seperti lenyap ditelan lebatnya hutan dimalam hari.
****
Aku masih terjaga, jam
sudah menunjukan satu tiga puluh lima dinihari. Samar – samar kudengar
gemerincing lonceng yang biasa dipasang di dokar, lalu kemudian suara derap
kaki kuda mendekat. Kupandangi jalan disekitar rumah yang tak begitu terang,
hanya cahaya bulan sekedarnya yang sudi menerangi jalan di desa ini saat malam
hari.
Aku sebar pandangan
dari sudut paling kiri semaksimal jarak pandangku sampai sudut kanan, melewati gapura
perbatasan desa. Ya, rumahku dekat dengan perbatasan desa ini ke desa lain yang
lebih terpencil dan lebih sedikit dihuni orang. Suara derap kaki dan
gemerincing lonceng semakin mendekat, dari arah kiri. Akhirnya mataku menangkap
siluet kuda lengkap dengan keretanya dari kegelapan. Melintas didepan rumahku,
aku mengenal dokar itu, dokar si penari misterius bertopeng emas. Rasa
penasaran akan tujuan hendak kemana dokar itu, aku merasa ada sesuatu yang aneh
dengan jalan yang dilalui dokar itu. Terlihat sedikit lebih terang dan
merefleksikan bayangan dokar yang tegas, ternyata ada pemandangan aneh
dilangit. Awan seperti bergerak menyingkir, membelah seperti jalan yang dilalui
dokar, hingga membiarkan cahaya bulan langsung menyorot menerangi dokar,
bintang pun berkelip disepanjang jalan yang dilalui dokar si penari misterius
itu.
Untuk memenuhi rasa
penasaran yang sudah tak bisa lagi dibendung, aku memutuskan membuntuti dokar,
dengan terus mengamati langit untuk membaca jalur dokar dengan mengikuti
belahan awan dan bintang yang berkelip. Hutan gelap kutembus, suara binatang
malam dan gesekan daun yang ditiup angin terdengar samar - samar dan ini sudah
beberapa ratus meter dari gapura perbatasan. Ini sudah mendekat kearah kaki
gunung, aku bisa merasakan kabutnya.
Bau busuk tercium, tapi
kaki ini tak gentar terus melangkah, sudah sejauh ini dan tak mungkin aku
kembali jika tak terlihat lagi petunjuk dilangit, aku bisa tersesat dihutan
yang gelap dan berputar – putar sampai matahari terbit. Itu masih belum
seberapa, bagaimana kalau aku sampai bertemu macan kumbang, serigala atau
penghuni hutan lainnya.
Bau busuk semakin jelas
tercium aku tersentak, kaki ku menabrak sesuatu. Bukan main terkejutnya, kaki
ini tersandung oleh kaki lain yang jelas – jelas bukan kaki ku. Aku amati kaki
yang menyandung kaki ku. Ternyata potogan kaki yang tak lagi utuh, berlumur
darah yang sudah mengering, tulang yang tak lagi terbungkus daging dan kulit
yang tercabik oleh bekas gigitan gigi yang tajam. Disekitar potongan kaki,
berserakan jeroan tubuh manusia yang tercerai berai antara satu dengan yang
lainnya, begitupun dengan sobekan kain yang tadinya berbentuk pakaian manusia
yang kini sudah tak keruan bentuknya. Sejenak aku teringat akan orang suruhan
istri sang juragan yang tewas tertembak, mereka yang berhasil keluar dari hutan
hanya dua orang sisanya tidak jelas kabarnya. Tapi kini sudah cukup jelas
bagiku mengenai nasib mereka, tewas terbunuh dengan sangat mengenaskan. Mungkin
sisa anggota tubuh yang lain sedang diproses oleh asam lambung hewan – hewan
karnivora.
Nyali sudah mengkerut
akibat melihat pemandangan barusan, kusandarkan punggung dibatang pohon sambil
menahan kaki yang mulai gemetar. Kembali kedesa atau meneruskan perjalanan
membuntuti si penari misterius sudah sama saja resikonya untuk saat ini. Ini
bukan daerah pinggiran hutan lagi, tapi sudah ditengah hutan, bahkan sudah
mendekati kaki gunung.
Sebaiknya aku bergegas
dan melangkah dengan hati – hati agar tak berakhir seperti bangkai yang barusan
kutemui. Sebelum pertanda di langit
menghilang.
Gundukan batu besar,
diapit beberapa pohon, diseberangnya beberapa meter bagian hutan tak ditumbuhi
pohon, hanya rumputan yang tumbuh pendek – pendek. Aku putuskan berhenti dan
mengamati keadaan dari balik batu besar yang dikelilingi pohon dan semak –
semak. Aku teringat dengan pertanda dilangit, kali ini langit terlihat bersih
dari awan dan bulan purnama yang terlihat sangat bulat berada tepat diatas
padang rumput yang tidak begitu besar. Bintang – bintang pun berkelip menemani
bulan yang bersinar seperti melimpahkan sinarnya dipadang rumput. Lolongan
serigala menyalak memecah heningnya malam, diikuti kelebatan kepak sayap
kelelawar yang terbang bergerombol. Dari kegelapan hutan disisi seberang
tempatku bersembunyi, sepasang bola cahaya yang tak lain sepasang mata, mata
binatang penghuni hutan. Kemudian semakin banyak, semakin banyak seperti
serentak menyorot kearah padang rumput yang disiram cahaya purnama. Aku
palingkan mata kearah belakangku, dan benar saja beberapa pasang matapun juga
tampak dari kegelapan. Saat mataku kembali kearah padang rumput, aku
melihatnya, dia sudah berdiri menengadah keatas kearah bulan purnama. Penari misterius itu,
lengkap dengan topeng emas dan pakaian tarinya. Dia mulai menggerakan tangannya
dengan gemulai diikuti langkah kakinya, dia menari. Tubuhnya bermandikan cahaya
bulan, tubuhnya berkilauan saat disentuh cahaya bulan. Dia menari dengan
indahnya, tanpa iringan musik, tapi alunan musik tergantikan dengan dengan
beribu – ribu kali lebih indah oleh cahaya bulan. Penari itupun seperti
merasakan irama yang merdu yang berasal dari cahaya bulan, dia terus menari.
Beribu pertanyaan menyeruak dalam hati, mengiringi kekaguman yang sudah sedari
tadi muncul. Siapa dia? Tarian apa itu?
“ Dia Dewi Bulan, dan
tarian itu tarian bulan”. Suara asing muncul tiba – tiba dari sebelahku,
ternyata dia, Nyai Tua.
Aku terkejut akan
kehadirannya yang begitu tiba – tiba ada disebelahku.
“ Mengapa dia menari
ditengah hutan seperti ini?” aku memberanikan diri bertanya kepada Nyai Tua.
“ Ini bukan sembarang
hutan, perhatikan, itu panggung alaminya. Dia menari sebagai persembahannya
untuk bulan dan segala keagungan sinarnya”, dia berkata sambil menunjuk kearah
padang rumput dan sang Dewi Bulan.
“ Dia bukan manusia
biasa seperti kita, dia Dewi Bulan. Makhluk yang berasal dari cahaya bulan.
Suatu saat dia akan kembali keasalnya, wujud aslinya”.
“Dewi Bulan, berasal
dari cahaya bulan?”
Aku masih terheran –
heran dengan penjelasan Nyai Tua dan berusaha memahaminya sambil tak kulepaskan
pandangan dari penari misterius itu, yang sekarang kuketahui sebagai Dewi
Bulan. Dewi Bulan terus menari, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya atau dia hanya
membiaskan cahaya bulan. Topeng emasnya bersinar dan terpecah menyebar menjelma
cahaya. Wajahnya terlihat sekarang, tak ada lagi topeng yang menghalangi. Benar
saja naluriku sebelumnya, wajahnya begitu cantik. Matanya terpejam, dia seperti
pasrah saja mengikuti irama yang berasal dari cahaya bulan.
“ Ini sudah saatnya”,
aku penasaran dengan maksud ucapan Nyai Tua, saatnya untuk apa maksudnya.
“ Dia akan kembali ke
asalnya”,
“ apa maksudnya? “.
“ Dia akan menjelma
cahaya, terbang begitu saja dan menyatu dengan cahaya cahaya bulan yang
menerangi bulan”.
Dewi Bulan masih terus
menari, tubuhnya semakin menyebarkan cahaya. Selendangnya berkilau menyilaukan,
pecah begitu saja dan kepingannya menjelma cahaya, mengambang seperti kunang –
kunang.
Dewi Bulan terus menari
menghiraukan apa yang terjadi disekitarnya, matanya tetap terpejam. Sinar
berkilauan dari kain dan pakaian tarinya, semakin berkilau menyilaukan dan
akhirnya berakhir seperti selendangnya, pecah begitu saja dan kepingannya
menjelma cahaya. Dewi Bulan masih terus menari, kini tubuhnya polos tak ada
selembar benangpun. Hanya cahaya, cahaya yang membalut tubuhnya. Tubuhnya terus
berkilauan sangat silau, dia berpijar, matanya terbuka, aku teringat akan mitos
tentang legenda medusa, tentang tatapannya yang mengandung kutukan bagi siapa
saja orang yang menatap matanya. Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya,
mengaburkan ketakutan.
Tak ada bola mata,
hanya cahaya yang memenuhi mata dan bersinar dengan ekspresi wajah yang sungguh
tenang. Semakin berkilau, semakin berkulau, aku tak bisa lagi melihat tubuhnya
dengan jelas. Garis – garis cahaya serupa jarum berjatuhan dari langit
menghujam tubuh Dewi Bulan. Cahaya – cahaya itu turun seperti menjemput Dewi
Bulan. Apa yang akan terjadi, apakah ledakan seperti ledakan meteor? Yang
menghasilkan supernova? Aku bisa melihat kilauan aurora dilangit, seperti
didaerah kutub.
“ Pejamkan matamu nak”,
Nyai Tua menyuruhku menutup mata seperti yang dia lakukan.
“ Pejamkan matamu jika
kau masih ingin dapat melihat”, Nyai Tua memperingatkanku dengan nada yang agak
meninggi.
Aku memejamkan mata
sesuai perintah Nyai Tua.
Mata terbuka perlahan,
seberkas sinar hangat kurasakan. Sinar mentari. Aku masih belum melihat apapun,
semua gelap. Tubuhku terbaring direrumputan tengah hutan, suara burung
berkicauan dari atas pohon menyambut pagi hari. Apa yang terjadi, aku tak ingat
apapun. Aku tak bisa melihat, semua gelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar