Powered By Blogger

Kamis, 26 Maret 2015

Nama



Tangannya gemetar, gigi bergidik,
Parang tergeletak, sisi tajamnya masih hangat darah,
Dia baru saja menang duel,
“Menang?”, “Menang?”,,”Hahahahaaa...”,,,
Setan dikanan kiri tertawa.

Sulit perankan penjahat dan pengecut sekaligus,
Dia bahkan takut membayangkan wajah ibunya,
Menyesal? Tubuhnya sudah terpojok, bersandar tembok,
Sebentar lagi juga dijemput.

Suara kecil dari balik tembok memanggil nama,
Nama yang dulu pernah dipakainya,
Nama yang terlalu bagus baginya,
“Abaikan, abaikan”,
Hatinya berbisik, tapi telinga terasa jauh dari dada.

Lembar – lembar halaman dibalik begitu cepat,
Tangan kanannya terlanjur mencabik – cabik tubuhnya,
Dia memperlambat bagian akhir,
Mengingat sebuah nama,
Tak ada bayangan, gelap.. sepi.. dingin...
“Nama!”..”Namaa!!”...Namaaa!!!”...
“Nama Tuhanmu!!!!...”

Selasa, 24 Maret 2015

Siklus


Dikerubungi keramain,
Sepasang telinga dibisik bergilir, “kanan , kiri, kanan, kiri….”
Tangan – tangan bersentuhan, menepuk, sekedar senggol, meraih, menghempas,
Tanda Tanya? Diikuti tanda Tanya? Beranak tanda Tanya ?
Bodohnya mimik wajah ini.

Tiap belokan punya arah tujuan,
Lalu – lalang mereka menjajal jalan,
Baik dan buruk semua orang juga tahu,
Sikap itu pilihan, Tuhan sudah memberi  akal,
Saat kau enggan membayangkan neraka, lagi malu – malu mendambakan surga,,,

Nama dipanggil berkali – kali,
Wajah celingukan menanti, “datangkah?”,
Bohong lagi atau ….(kau sedang membela dengan alasan imajinatif),
Mereka bisa datang – pergi, terserah kau peduli atau jadi benci,
Kemarin wajahnya menyapa, hari ini punggungnya saja, besok? Tinggal nama, Lusa? Ingin muntah mengingatnya…

Saat  mata manusia berubah cermin,
Mereka saling memantulkan wajah yang lainnya,
Dalam kepala diam – diam bertanya,
“Seburuk itukah?”, “Cantik nian..”,
“Bohong!”, “Benar!”,”Salah!”,”Tidaaakk!!” ,,
Buang ludah, jilat ludah.

Siklus akal terus berputar, Poros sumbunya sudah aus,
Polanya tak lagi lingkaran, tapi garis – garis liukan saling – silang,
“Wajarrr..” jadi mantra pemaaf, “Teruskan, teruskan”.. Kau sudah jinjit ditepi jurang,,
Akhirnya , Ayat – ayat berserakan bersama daun hijau yang gugur di-aspal.

Dia berlutut diatas mimbar, Berdo’a dengan bahasa isyarat,
Beberapa menghargai dengan lemparan koin receh, sisanya … Aku tak tega cerita.

Minggu, 15 Maret 2015

Bisu

Disini aku masih menggeleng kepala, tak berbicara,
Huruf – huruf kecil berbaris rapih, lebih sering berantakan,
Mereka pion – pion kecil, membawa pesan, mewakili lisan,
Mereka berjalan dengan kata, menyumpah, tertawa, apapun  yang tak diucap suara,,
Bagiku orang yang tak berani bicara dibelantara.

Apa – apa yang ditakuti mulut dibalaskan jemari, mereka memukul dengan caranya,
mereka mencipta huruf yang menjadi kata, menjadi kalimat, paragraf,
Lepaskan saja mereka, hidupkan, alirkan nyawa dari kepala atau dada,
Semua yang kupunya, yang kurasa,
Yang tak berani diungkap suara.

Dalam maya, dunia yang tak kenal nama,
Mereka (tulisan)  berbisik,
Tanyai  dirimu,  “Aku kah yang kau rasa?”,”Apa Aku adalah kau?”,
”Kau orang yang tak berani bicara”,”Kau orang yang bersembunyi dibalik cerita”..



Jumat, 06 Maret 2015

Dirajah

Gerakan naik turunnya sungguh menyiksa,
Hatiku tertahan diujung, hendak berhamburan keluar.

Jeritnya merogoh – rogoh telinga,
Kadang jadi lagu merdu, lebih sering serupa tawa puas setan.

Senyumannya,
Bibir itu bermakna ganda, hendak menikam juga mencumbu,
Terserah, keduanya bisa membunuh.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhggggggg.........

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhgggggggggggg.......

Negeri Meriah



Alkisah,
Kami fakir yang ramah, sumbang suara antar idola ke istana,
Dia bersinar disana, Sang Robot Perkasa (kalau tak mau disebut Boneka),
Layaknya pentas boneka, mereka hidupi panggung drama,
Lakon Cicak lawan Buaya,
Lakon Nyonya Tua dan Banteng merah marah,
Dar – Der – Dor pistol Bhayangkara, Singa yang dikuningan ompong taringnya,
Semua serba meriah, Merah, tak ada sisa putih dibendera.

Ini zaman Amarah!!
Tunjuk sana – sini pakai jari tengah,
Gebrak, Pukul, Gusur, Semua orang salah,
Maling dirampok, rampok dibegal, begal dibakar,
Maling teriak maling.

Akhirnya,
Jangan cari namanya sejarah, tengok saja TV sebelah,
Cermin keruh, Silahkan dibelah,,
Bukan Urusan Saya,
Saya kambing hitam tak punya nama,
Saya yang salah. Titik!



Kamis, 19 Februari 2015

Segelas Kopi Hitam

Tangannya dingin, tapi masih bernyawa,
Campur aduk rasa dalam genggaman Si Pria Hitam.
Segelas kopi hangat  dimeja, 
Gelas kopi hanya punya rasa, tak bernyawa, cuma sedikit gula,
Mereka sama – sama menghitam, larut dalam rasa masing –masing.

Segelas kopi hanya pelarian Si Pria Hitam,
Tak ditemukan hangat dalam tangan Si Kekasih,
Tak lagi manis kecup bibir Si Kekasih,
Segelas kopi hangat hanya pelarian.

Jadilah tiap sorenya dia ditemani segelas kopi hitam,
Si Pria Hitam yang larut dalam kopi hitam,
Si kopi hitam yang larut dalam Pria Hitam,
Mereka sama – sama larut dalam hitam,
Pahit – manis diaduk dalam satu pusaran.

Senin, 16 Februari 2015

Hitamm..

Dia lupa cara melangkah,
kakinya turuti kepala yang kebingungan,
Beku, mati rasa,
Hanya ada hitam yang memutari kepala,
Andai ada yang bisa disalahkan, 
Tangannya siap menghajar habis - habisan,
Tapi pada siapa? 
Paling mudah menjangkau diri sendiri,
Kalau saja tak ada rasa sakit, 
Takkan ragu dia menerjang peluru, bahkan maut.

Pintu beragam kelir,
Mereka ada dimana - mana,
Mengambang dalam gelap,
Dia benci memilih,
Kenapa Tuhan tak beri saja dua, Benar atau Salah,
Kakinya sudah hilang selera,
Semu, semua jadi semu,
Pintu - pintu itu, Ruang gelap, Kakinya bahkan Dirinya.

Dia memilih menunggu,
Membiarkan waktu gerogoti dirinya perlahan,
Detik demi detik..